01 April 2009

PENGELOLAAN LINGKUNGAN KOTA: KASUS SAMPAH

Oleh: Fikarwin Zuska

Pendahuluan

Pengelolaan sampah kota atau sampah di perkotaan sebenarnya memerlukan suatu penelitian sosial yang khusus di tiap-tiap kota. Alasannya tidak lain karena setiap kota, sebagai suatu komunitas sosial-politik, mempunyai permasalahan tersendiri dengan sampah yang harus dikelolanya. Apakah sampah mau ditangani oleh pemerintah kota atau tidak, atau cukup ditangani sendiri oleh masyarakat seperti di banyak wilayah pedesaan, itu pun sekarang memerlukan keputusan politik. Kalau ditangani pemerintah kota, haruskan oleh SKPD tertentu atau beberapa SKPD? Haruskan ditarik retribusi, dan siapa menariknya? Bolehkah diadakan kerjasama?

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Kota atau Kabupaten) ---salah satu tempat penting para politisi ‘pilihan rakyat’ mempengaruhi keputusan atau kebijakan Pemko/Pemkab--- ikut ambil bagian dalam menjawab hal-hal demikian itu. Pemko/pemkab tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena urusan sampah ini memiliki tali-temali dan implikasi sangat luas di dalam kehidupan masyarakat dan negara. Bisakah sampah plastik dikurangi dengan cara meminta produsen barang mengemas barangnya dengan bahan bukan plastik? Atau mewajibkan setiap perusahaan penghasil barang menarik kemasan barangnya setelah dipakai oleh konsumen untuk dihancurkan sendiri? Atau tetap saja mengelola sampah seperti biasa, di mana penanganannya baru dimuali setelah sesuatu menjadi sampah (end-pipe treatment) dan setelah itu diangkut, dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain oleh petugas? Ini persoalan menyangkut urasan politik dan konstitusi. DPRD sudah pasti ikut ambil bagian dalam proses pembuatannya.

Selain akan menyangkut pengalokasian dan penggunaan anggaran daerah/negara, isu seputar sampah kota dewasa ini juga cukup sexy dijadikan ‘komoditas’ politik. Kelompok-kelompok politik di Kota Depok (Jabar), misalnya, sudah pernah menggunakan isu sampah, khususnya TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir) Cipayung, untuk menggoyang ---namun gagal--- kedudukan Walikota Nurmahmudi Ismail yang berasal dari partai PKS. Mereka berdemonstrasi, melakukan somasi, dan bahkan melaporkan Walikota karena dianggap bersalah tidak melakukan penutupan TPA secepaatnya. Menurut mereka TPA Cipayung telah menggangu kesehatan masyarakat sekitar.

Tetapi kemudian tuntutan itu senyap. Walikota rupanya memang sudah lebih dahulu berkeinginan menutup TPA dimaksud karena, katanya, menyalahi ketentuan ekologis. Ia kemudian lebih berkonsentrasi menciptakan SIPESAT (Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu) yang pada saatnya nanti tak memerlukan TPA. Dengan begitu, secara politis, isu TPA tak cukup ‘kuat’ menggoyang Walikota. Karena itu politisi DPRD Kota Depok, menggeser isu politiknya dengan justeru menjadikan SIPESAT sasaran empuk. Alasannya bahwa dalam program itu walikota menerima bantuan dari pengusaha, dan itu dianggap oleh lawan politiknya di DPRD menyalahi prosedur hukum, sehingga dilakukanlah tindakan politis yang bernuansa impeachment’ terhadap walikota. Berulangkali Walikota dipanggil ke DPRD untuk menjelaskan permasalahan itu dan setiap kali ada pemanggilan, di luar gedung terjadi demonstrasi antara dua kelompok yang saling berlawanan.

Lain lagi dengan kasus TPST (Teknologi Pengelolaan Sampah Terpadu) yang didirikan di Klapanunggal, Bojong, Bogor. Di dalam kasus ini orang setempat tidak menerima daerahnya menjadi tempat “pembuangan sampah” orang Jakarta. Selain alasan kesehatan, dan ketidakpercayaan pada janji-janji pemerintah/pengelola yang biasanya tidak pernah terwujud setelah lolos atau ‘jadi’, alasan harga diri komunitas juga membuat rakyat setempat lebih berani. Rakyat memberi perlawanan sangat keras. Ada korban materi pada pihak-pihak yang bertikai. Ada penembakan, penangkapan dan pemukulan oleh aparat keamanan. Rakyat tidak peduli pada perjanjian dan persetujuan yang telah dibuat antara pemerintah DKI, pemerintahan Bogor, serta investor (PT. Wira Guna Sejahtera) yang telah membangun infrastruktur sampai tahap siap operasi. Rakyat tidak dilibatkan dalam perencanaan sehingga rakyat hanya merasa pihaknya direndahkan dan dikibuli. Tapi sejak bentrok itu rakyat setempat memperoleh dampingan dan advokasi dari koalisi sejumlah NGO. Pihak kepolisian mereka gugat, pemerintah DKI, Pemkab Bogor dan juga pihak perusahaan. Kasus ini berakhir (setelah sekian tahun berjalan) dengan relokasi dan evakuasi TPST ke Cilincing. Kerugian materil ditaksir miliaran rupiah, sedangkan kerugian non-materil tidak terhingga.

Masih belum usai tragedi Bojong yang cukup brutal, tiba-tiba sekitar tiga bulan kemudian ---tepatnya pada 21 Februari 2005 pukul 02.00 WIB--- terjadi pula insiden yang belakangan masyhur di masyarakat dengan julukan “Tragedi Leuwigajah”. Kali ini jumlah korban jiwa cukup besar. Longsoran sampah TPA Leuwigajah mengubur dan menghancurkan 139 rumah, sebanyak 143 orang diketahui meninggal dunia. Timbunan sampah yang sudah menggunung di TPA kepunyaan tiga pemerintah otonom di Provinsi Jawa Barat ¾Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi¾ itu longsor menyusul ledakan yang diduga berasal dari gas metan yang tak terkelola dengan baik (Tochija & Budiman 2005). Akhirnya, karena kejadian itu, TPA Leuwigajah ditutup sehingga Kota Bandung sempat berhenti membuang sampah dan timbullah julukan yang menggemparkan di media massa “Bandung Lautan Sampah” (Kompas, 14 Maret 2005). Tumpukan sampah tersebar di mana-mana dengan bau busuk yang menyengat sehingga Walikota Bandung mendapat ultimatum dari Presiden RI untuk sesegera mungkin menyelesaikan persoalan tersebut (Kompas 21 Mei 2006).

Memetik Pelajaran

Belajar dari kasus-kasus pengelolaan sampah yang telah dicuatkan di atas, satu hal yang harus digarisbawahi. Hal dimaksud adalah bahwa pengelolaan sampah tidaklah semata-mata teknis; bukan sekedar menjawab pertanyaan bagaimana (1) mengenyahkan sampah agar kota menjadi bersih dan (2) sampah tidak mencemari lingkungan, (3) sampah tidak mendatangkan penyakit dan (4) sebisa mungkin mendatangkan keuntungan ekonomi. Penanggulungan sampah dengan pendekatan teknis an sich, jauh dari mencukupi. Sudah banyak teknologi ditemukan untuk mengatasi sampah. Ada yang murah, dan ada juga yang mahal. Tetapi dalam kenyataannya penanggulangan sampah tetap saja sulit. Mengapa? Jawaban saya adalah karena kita tidak pernah meneliti dengan cermat fenomena empiris itu secara sosial, sehingga ¾kalau pun ada pemimpin masyarakat yang betul-betul niatnya baik¾ tetap saja ia terjebak ke dalam persoalan yang sama.

Pertama, pengelolaan sampah adalah sebuah ‘kancah sosial’ atau, kalau dipinjam istilahnya Pierre Bourdieu, ‘field of force’: artinya suatu bidang yang dinamis yang di dalamnya terdapat berbagai potensi; dan juga suatu bidang yang di dalamnya ada perjuangan untuk mendapatkan posisi-posisi; perjuangan-perjuangan untuk mentransformasi atau mengkonservasi field of forces tersebut. Oleh sebab itu fields ini teridentifikasi sebagai area-area perjuangan, di dalamnya ada strategi-strategi yang diambil untuk mendapatkan posisi (Mahar, Harker & Wilkes 1990:15). Membersihkan sampah dalam kancah macam ini, hanyalah menjadi urusan nomor sekian. Tak mustahil ‘membersihkan sampah’ itu justeru sekedar tameng. Energi dan potensi dari pekerjaan itu yang justeru menjadi penting; menjadi rebutan; menjadi sengketa dan menjadi arus utama (mainstream).

Potensi-potensi yang terdapat di dalam lapangan ini tentu tidak sedikit. Cara yang paling mudah melihat potensi adalah memperhatikan bahwa orang bisa memperoleh uang, posisi, harga diri, dari dalam lapangan pengelolaan sampah. Bukan cuma tukang angkut sampah, pemulung, bandar/ lapak, hingga pengusaha dan industriawan pengolah barang bekas yang dapat uang, tetapi juga ada kelompok-kelompok lain yang menggali untung dari lapangan ini. Mereka adalah orang-orang kalangan pemerintah, non-pemerintah, peneliti teknis, dan konsultan yang terlibat dalam perencanaan program dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan bidang persampahan, sampai orang-orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi donor, baik lokal, nasional maupun global atau internasional.

Contoh kasus TPA Cipayung Depok

TPA ini direhabilitasi atas bantuan Asian Development Bank (ADB). Pengerjaannya dilakukan oleh perusahaan swasta lewat tender (kompetisi dan atau kolusi). Pembentukan Depok sebagai Kotamadya (politik) adalah conditio sin quanon bagi munculnya kehendak para elit politik Depok untuk ‘mengharuskan diri’ memiliki TPA sendiri. Peluang yang paling besar untuk mendapatkan TPA milik sendiri pada waktu itu adalah menjadikan TPA Cipayung ---TPA yang semula milik Pemda Bogor dengan status ‘TPA pendamping’ bagi TPA utama “Pondok Rajeg”--- sebagai TPA resmi milik Kota Depok. Tujuan memiliki TPA sendiri adalah agar Depok tidak bergantung pada TPA Kabupaten lain; sesuatu yang dianggap dapat mengurangi arti dari kemandirian sebuah kotamadya, yang berdirinya baru saja diproklamirkan (hargadiri/ gengsi). Maka dari itu pada tahun 2000 ---segera setelah DPRD hasil Pemilu 1999 terbentuk dan mulai bersidang--- Kota Depok melalui Peraturan Daerah tentang RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) menetapkan TPA Cipayung sebagai TPA Kota Depok tahun 2000 – 2010. Implikasi dari penetapan RTRW ini ialah seluruh sampah dari wilayah kecamatan-kecamatan di Kota Depok, termasuk yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bogor, harus dibuang ke TPA Cipayung. Padahal kapasitas atau daya tampung serta infrastruktur TPA Cipayung sendiri sebenarnya belum memadai. Masih harus diperbesar arealnya (pembebasan tanah); infrastrukturnya disempurnakan, dan fasilitas serta sarananya masih harus dilengkapi. Tanpa peningkatan kapasitas mustahil TPA Cipayung mampu menampung begitu banyak sampah.

Untung sekali rencana rehabilitasi TPA Cipayung memang sudah dibuat sebelumnya dan bahkan sudah dalam taraf deal menunggu implementasi. Pemerintah Kabupaten Bogor ----sebelum melepaskan Depok---- sudah tandatangani kontrak bantuan dari ADB (Asian Development Bank) melalui program Loan: Metro Botabek Urban Development Sector Project (MetroBotabek UDSP) untuk rehabilitasi TPA Cipayung. Pemerintah Kota Depok, atas pengertian Pemda Bogor dan ADB, serta pihak terkait lainnya, tinggal melanjutkan program itu setelah diperkenankan mengelola sendiri bantuan ADB untuk rehabilitasi TPA Cipayung (Fikarwin Zuska 2008).

Kedua, orang-orang yang terlibat dalam kancah sosial pengelolaan sampah itu terkait satu sama lain dalam relasi kekuasaan. Anggapan ini sejalan dengan pendapat ahli berikut ini:

“Individu-individu selalu dalam situasi mengalami dan melaksanakan kuasa secara simultan. Mereka bukan hanya target kuasa yang tak bergerak atau yang patuh saja; tetapi individu-individu juga selalu merupakan unsur pengungkapan kuasa, medium kuasa dan bukan merupakan titik-titik penerapan kuasa (Foucault dalam Cheater 1999:3).

Dalam hubungan kuasa, berbagai sumber kekuatan bisa dipergunakan oleh para pihak, tak terkecuali dari diskurus-diskursus global (HAM, demokrasi, otonomi, transparansi, dan sebagainya) yang beredar di lingkungan lokal. Di belakang diskursus tersebut, diyakini, terdapat sejumlah kekuatan yang bisa diekstraksi untuk mendapatkan dukungan. Kekuatan itu tentu berasal dari orang-orang yang mendukung diskursus-diskursus tersebut.

Timbulnya hubungan kuasa didasarkan pada kenyataan bahwa relasi antar pelaku, itu nyaris selalu asymetris (McGlynn & Tuden 1991:3) atau inequalities (Foucault dalam Patton 1987: 234). Yang satu lebih berpengaruh atas yang lain. Tetapi pada saat yang sama kita juga perlu ingat bahwa individu manapun juga dapat ‘melaksanakan’ kuasa dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dapat diaksesnya dari dalam dan sekitar dirinya sehingga ia juga berpengaruh pada orang yang memaksanya. Oleh sebab itu, tak dapat dipungkiri, bahwa dalam hubungan sosial antar palaku (hubungan kuasa) itu sebenarnya ada unsur persaingan, kompetisi, kontestasi dan atau bahkan resistensi (perlawanan).

Kuasa dalam konteks semacam itu sejalan dengan salah satu proposisi yang dikemukakan Foucault: “power isn’t a thing that is either held by, or belongs to, anybody” (Danaher, Schirato & Webb 2000:70). Setiap orang dapat memainkan kuasa dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah relasi kuasa itu tercetak sekalijadi lalu membeku seperti batu. Power dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat atau area, ke tempat atau area lain, bergantung pada perubahan aliansi dan lingkungan (keadaan). Dengan kata lain, “power is mobile and contingent” (kuasa itu bergerak dan bergantung) pada sesuatu.

Foucault menerangkan ini terjadi karena “the site of power is now empty and potentially able to be filled by anybody. Sebab, katanya, Tuhan tak memberi otorisasi kepada siapapun:

However, because none of these groups were ‘authorised by God’, their claims were always being contested. No one institution, field or discourse could claim undisputed access to ‘the truth’, and so groups that were trying to control or influence matters of state had to negotiate and gain suppport for their agendas, policies or ideas” (Danaher, Schirato & Webb 2000:72)

Ketiga, individu yang terlibat dalam hubungan kuasa memainkan secara simultan peran sebagai agen dan sebagai aktor. Ahearn (2001:133) mengatakan:

In Karp’s view, an actor refers to a person whose action is rule-governed or rule-oriented, whereas an agent refers to a person engaged in the exercise of power in the sense of the ability to bring about effects and to (re)constitute the world.” Menurut Karp pula, kata Ahearn lagi, bahwa: “Actor and agent should be considered two different aspects of the same person, or two different perspectives on the actions of any given individual

Terkait dengan pengelolaan sampah, pelaku-pelaku dapat bertindak sebagai ‘orang pemerintah’; orang yang tindakannya didasarakan pada aturan-aturan sehingga dengan begitu menjadi lebih punya ‘hak’ dibandingkan yang lain. Tetapi pada saat yang sama ‘orang pemerintah’ tadi juga seorang agen yang terlibat dalam penyelenggaaan kuasa guna memberi efek atau pengaruh pada dunianya. Di sini kepentingan (interest) pribadi sang agen akan mengemuka, dan dengan begitu ia akan ‘mengolah’ dunia yang dihadapi untuk melahirkan untung baginya.

Keempat, perlu dicatat bahwa hubungan antara struktur sosial (termasuk aturan-aturan, hukum dan lain-lain) dengan individu adalah bersifat dialektis. Dalam teori strukturasi difahamkan bahwa tindakan manusia dibentuk oleh struktur sosial (baik dengan cara membatasi atau memfasilitasi) sehingga seluruh tindakan kemudian berperan untuk memperkuat (reinforce) atau merekonfigurasi (reconfigure) struktur itu sendiri. Agency, dalam pandangan teori strukturasi, dengan demikian, kata Ahearn sambil memetik hasil dari pendapat Sztompka, “can be considered the socioculturally mediated capacity to act, while praxis (or practice) can be considered the action itself” (Ahearn 2001:118).

Pedoman-pedoman atau kesepakatan-kesepakatan yang seharusnya mengikat individu dalam segala macam kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, itu akan mendorong para pihak untuk bertindak dan dengan tindakannya itu, pedoman-pedoman tadi akan lebih diperkuat. Namun pada saat yang sama, para agen selalu akan mempengaruhi ‘pedoman atau kesepakatan’ agar hal itu lebih memihak pada kepentingannya. Dialektika semacam ini terus terjadi di lapangan pengelolaan sampah. Kasus di Depok menunjukkan, supir truk yang ditempatkan di ‘tempat kering’ selalu berusaha mengubah kesepakatan agar ia dipendahkan ke ‘tempat basah’, atau sebaliknya sang supir yang di ‘tampat basah’ berusaha bertahan di sana dengan cara apapun yang memungkinkan. Biasanya para petugas lapangan (orang dinas kebersihan) memahami dinamika tersebut dan sedapat mungkin memanfaatkannya untuk keuntungan bersama.

Penutup

Memahami pengelolaan sampah perkotaan sebagai field of force akan sangat bermanfaat untuk menyusun kebijakan. Namun untuk mengetahui bagaimanakah peta ‘kekuatan’ yang bermain di lapangan itu, dan siapa sajakah pemain-pemain dominan-nya di sesuatu kota, perlu dilakukan penelitian sosial. Upaya memetakan kekuatan di kancah pengelolaan sampah tidak cukup dilakukan dengan cara sepintas lalu. Ini harus diekerjakan secara intensif agar tersibak bagaimana jalin-jemalin, tali-temali, tumpang tindih, kontradiksi, yang terjadi di antara pelaku-pelaku.

Kalau peta kancah tersebut sudah dikuasai, ibarat seorang nakhoda di laut lepas, ia akan tahu ke mana arah yang harus diambil. Di mana ada ranjau, siapa yang pasang ranjau, ia tahu dan tidak akan mengarahkan kemudi ke sana.

Caturan-caturan yang pelik mengenai relasi-relasi para pelaku di lapangan pengelolaan sampah ini akhirnya membawa kita kembali pada pertanyaan dasar, sudah bagaimana sebenarnya keadaan sampah di kota setelah hiruk-pikuk pelaku-pelaku yang terlibat itu tersingkap semua pikiran dan perbuatannya? Tampaknya ada satu jawaban yang cukup penting, yaitu: pemimpin.

Bacaan

Ahearn, Laura M., “Language and Agency” (Annu.Rev. Anthropol.2001.30 109-37). Downloaded from arjournals.annualreviews.org by NATL.Univ.OF SINGAPORE on 06/29/05.

Buana, Rusna Djanuar., Pemkot Depok Bergulat Melawan Sampah (Depok: Dinas Kebersihan dan Pertamanan 2004).

Cheater, Angela, ‘Power in the Postmodern Era’, dalam Angela Cheater (ed), The Anthropology of Power: Empowerment and Disempowerment in Changing Structures (London and New York: Routledge 1999) hal.:1-12.

Danaher, Geoff., Schirato, Tony., & Webb, Jen., Understanding Foucault (London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication 2000). Foucault, Michel., Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan (Yoyakarta: Bentang Budaya 2002).

Giddens, Anthony., Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis (Berkeley and Los Angles: University of California Press 1986).

Herry-Priyono B., Anthony Gidden Suatu Pengantar (Jakarta: KPG & Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2002).

McGlynn, Frank & Tuden, Artur., Introduction dalam Frank McGlynn & Artur Tuden (ed), Anthropological Approaches to Political Behavior (Erospan, London: University Of Pittsburgh Press 1991) hal. 3-44

Patton, Paul, ‘Michel Foucault’, dalam Diane J.Austin-Bross,ed, Creating Culture (Sydney, London, Boston: Allen & Unwin 1987) hal: 226-242.

Tochija, HM. Itoc. & Budiman, Tragedi Leuwigajah (Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer 2005).

Zuska, Fikarwin, 2008, Relasi Kuasa Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari: Studi Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota (Medan: FISIP USU Press).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar