27 April 2009

Kota dalam Lembah

Foto ini dibidik dari sebuah bukit di Kota Takengon ketika saya berkesempatan terlibat dalam sebuah acara yang sangat menarik di sana, diadakan oleh Yayasan Desantara, Depok. Nama acaranya kurang-lebih: Pelatihan Jurnalis Perempuan Multikultural Berbasis Etnografi. 
Posted by Picasa

21 April 2009

Budi Agustono Tentang Prof. Usman Pelly

Sepulang daristudi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1986 saat bekerja di USU saya berkenalan dengan Prof Dr Usman Pelly (UP). Dari perkenalan itu saya diundang datang ke rumahnya untuk melihat perpustakaannya yang waktu itu sukup banyak bukunya. Saya membaca dan mengocpy buku-buku dari perpustakaannya, di antaranya yang saya ingat ... karya Abner Cohen tentang tenisitias di Afrika. Sesudah beberapa kali mengunjungi perpustakaanya saya disodori tesis master dan disertasinya versi Ingris, saya baca kedua karya ilmiah itu. Pada tahun 1990-an saya masih berjumpa dengan beliau dan sesudah itu nyaris tidak pernah ketemu lagi. UP adalah seorang Antropolog senior di Sumatera Utar. Ia juga ikut mendirikan Departemen Antropologi FISIP USU dan juga Jurusan Antropologi di Universitas Negeri Medan, tempat is mengabdikan diri dalam mengambangkan ilmunya. Mereka yang belajar Antropologi dan Sosiologi di akhir tahun 1980-an atau awal 1990-an barangkali pernah ketemu dengan beliau.
Saat ini beliau sudah pensiun dari tempat bekerjanya. Sebagai "begawan" Antropologi di Sumatera Utara ia tentu telah menyebarkan pemikiran - pemikirannya dalam ilmu sosial, terutama antropologi. Bagaimana kalangan peminat ilmu sosial melihat sosok UP dan bagaimana pula kontribusinya dalam perkembangan ilmu sosial di Sumatera Utara. Apakah beliau...   membangun sebuah padepokan ilmu sosial di wilayah ini untuk tetap mentransmisikan pemikiran-pemikirannya untuk generasi yang lebih muda. Apakah telah lahir Uman Pellian di wilayah ini, terutama di kalangan ilmu sosial di Sumatera Utara.

20 April 2009


Dapur Pembakaran Sampah

 

Inilah salah satu hasil karya anak bangsa: sebuah bangunan segi empat P 3 x L 3 x T 3 meter, dilengkapi cerobong asap terbuat dari 3 unit drum, menjulang ke udara. Bangunan ini digunakan untuk membakar sampah. Oleh pemiliknya, sebut saja Memet,  bangunan yang terletak di tengah pemukiman padat penduduk, ini dinamai Dapur.

Sampahnya berasal dari sebuah kompleks perumahan, tempat Memet digaji sebagai tukang sampah. Memet gunakan gerobak buatan sendiri untuk mengangkuti sampah ke dapur pembakaran, dengan bantuan 2 orang anak buah yang dibayarnya tiap bulan.

Sebelum dibakar, sampah disortir untuk mengambil material yang  dapat dipakai atau ‘diuangkan’ oleh Memet. Sisanya, yang kebanyakan bahan organik, itu dibakar. Pembakaran dilakukan tiap sore hingga pagi hari. “Biar kata hari hujan, pembakaran tetap bisa dilakukan”, kata Memet memuji keungulan ‘teknologinya’.

Asap dan Lalat

Salah satu tetangga Memet, sebut saja Hasyim, mengatakan banyak warga keberatan dengan ‘usaha’ pembakaran sampah tersebut. Asapnya yang mengepul, kata Hasyim, menerobos masuk ke sembarang rumah dan mengganggu pernafasan. Cerobong yang dibuat tidak menjamin seluruh asap meluncur ke udara. Ibu-ibu kesal karena pakaian pada bau asap.

“Lalat juga makin banyak”, tambah Hasyim meyakinkan. “Lingkungan jadi kotor dan tidak sehat untuk anak-anak maupun orang dewasa”, katanya. Hasyim menyebut contoh seorang ibu yang sudah lama sakit-sakitan, itu kian menderita sejak adanya pembakaran. Tetapi Memet bergeming. Memet malahan berkata: “Kalau gak tahan, pindah aja dari sini”, ujar Hasyim menirukan jawaban Memet ketika diingatkan warga.

Iri

Menurut Memet, tidak ada yang keliru dengan perbuatannya. Ia membantah pendapat orang yang mengatakan lingkungan jadi tidak sehat gara-gara dapurnya. “Buktinya anak-anak sekitar dapur sehat-sehat saja, gemuk; tidak ada yang sakit”, tegas Memet sambil mensinyalir adanya orang-orang yang iri kepada dirinya. Orang-orang iri lantaran dirinya beroleh rejeki. Terlebih, kata Memet, bahwa salah seorang yang iri padanya itu juga berprofesi tukang sampah macam dirinya. 

Aparat: Aku dapat Apa

Konon pernah ada pihak melopor ke kantor kelurahan perihal dapur sampah-nya Memet. Tapi pihak kelurahan tidak merespon. Seorang petugas di kelurahan malahan berkata, "biarlah Memet berusaha. Dilarang juga gak ada gunanya. Terus kalau dia marah kepada saya karena kehilangan pencarian, bagaimana. Lagi pula apa sih untungnya sama saya? Dapat apa-apa juga kagak?"

Nah.....itulah kenyataan di lapangan. Ada tarik-menarik dalam menegakkan sesuatu. Para pihak, masing-masing punya kepentingan yang saling berlainan. 


03 April 2009

Budaya Pendidikan

SISWA, GURU DAN PEMBELAJARAN

Ada seorang siswa SMP Negeri di Medan, laki-laki, bercerita kepada saya. Ia bercerita santai. Tidak serius. Dia bilang begini: "Tugas pelajaran menggambar kami sekelas dikerjakan oleh guru menggambar. Guru menggambar yang mengerjakan pewarnaan gambar-gambar yang dibuat murid. Katanya supaya bagus sehingga boleh digantung di dinding kelas. Atas jasanya mewarnai, sang guru minta  bayaran 20 ribu rupiah per gambar". Gambar yang tidak indah pewarnaannya, tidak digantung di kelas".

Cerita lain hampir serupa saya peroleh dari seorang siswa SMP di Jawa Barat. Siswa ini bercerita kepada saya tentang kebiasaan gurunya meminta siswa kumpul uang pengganti biaya fotocopy sebanyak Rp 500 - 1000 untuk 2 -3 lembar soal-soal ujian nasional. "Ini bahan ibu download dari internet. Biayanya 1000 rupiah per orang. Nanti kumpulkan uangnya kepada ketua kelas", kata sang guru sambil membagikan lembaran-lembaran yang dibawanya kepada siswa. 

Beberapa hari berikutnya anak-anak menemukan bahan yang bu guru bilang "baru saya download dari internet" itu rupanya ada dan sama dengan buku kumpulan soal yang terdapat di perpustakaan. Menemukan itu anak-anak komentar sambil cekikikan: "katanya dari internet, padahal dicopy dari buku ini. Berarti gak bayar internet dong?..." 
ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN
Oleh: Fikarwin Zuska

Pada tahun 1999-2001, di sebuah desa yang tak terlalu jauh dari pusat pasar Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, ada sejumlah projek atau program pemerintah yang sudah dan sedang berjalan di desa tersebut. Projek atau program itu beraneka ragam wujudnya, di antaranya seperti pembagian bibit jeruk manis oleh Dinas Pertanian kepada masyarakat. Menurut Kepala Desa setempat, bibit jeruk yang dibagikan melalui tangan Kepala Desa tersebut dimaksudkan oleh pemerintah untuk menambah sumber pendapatan masyarakat, sekaligus meningkatkan jumlah keanekaragaman jenis komoditas pertanian agar masyarakat tidak bergantung hanya pada beberapa macam komoditas saja.
Maksud pemerintah yang demikian itu, tentu, sangat baik dan mulia. Namun karena jumlah bibit jeruk yang sampai ke tangan Kepala Desa hanya 4 polibek, maka bibit itu sengaja tidak dibagikan kepada warganya karena Kepala Desa takut tidak merata. Lagi pula, kata Kepala Desa : “Manalah ada artinya 4 pohon jeruk untuk menambah pendapatan warga se desa. Yang ada hanya akan bikin heboh, rusuh, fitnah di antara warga lantaran pembagian tidak bisa merata”. Atas pertimbangan itu Kepala Desa memutuskan, meletakkan saja 4 polibek bibit jeruk manis tersebut di bawah kolong tangga rumahnya (tidak dibagikan). Selaku pemerhati saya hanya tertengun, memikirkan betapa siasianya uang pemerintah dikeluarkan untuk membeli, mengangkut dan membagi-bagikan bibit jeruk ke desa-desa, tetapi tidak mempunyai makna cukup berarti bagi masyarakat.
Sementara itu dari kantor BKKBN meluncur pula projek/ program Dasa Wisma yang intinya mengelompok-ngelompokkan ibu-ibu berdekatan rumah untuk mengadakan kegiatan-kegiatan pembangunan, tidak hanya dalam bidang reproduksi dan atau Keluarga Berencana, tetapi malahan yang lebih penting lagi dalam bidang ekonomi pertanian. Ibu-ibu yang terlibat dalam kelompok ini diminta membuat rencana kegiatan ekonomi bersama, yakni bertanam tanaman sayur-sayuran di sebidang tanah, yang disewa/pinjam dari seseorang, lalu dikerjakan bersama oleh anggota Dasa Wisma. Biaya yang diperlukan, di antaranya untuk pengadaan bibit, pupuk dan pestisida, ditanggung oleh pemerintah (termasuk bimbingan dan penyuluhan teknis dari Dinas Pertanian). Kegiatan Dasa Wisma ini sebenarnya overlap dengan kegiatan Kelompok Tani yang telah dibentuk sebelumnya dari pos anggaran berbeda, tetapi hasilnya sama, yaitu: gagal panen. Cabe yang ditanam dalam program itu tidak dapat dirawat karena anggota dari kelompok yang dibentuk secara instan itu sebenarnya tidak terorganisir walaupun ‘pembagian kerja’ di antara anggota dan ‘jadwal kerja’ di ladang cabe (untuk memelihara) sudah dibuat secara konsepsional. Namun hal itu tidak terlaksana karena kian hari kian bertambah kendor semangat orang-orang yang sebelumnya mau bekerja tetapi kemudian tidak, gara-gara yang lain ogah-ogahan. Mereka tidak yakin dengan tanaman cabe sebagai jenis komoditi pertanian yang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan mereka selaku petani turun-temurun.
Menurut keterangan anggota Dasa Wisma dan anggota Kelompok Tani saat ditanya mengenai alasan mengapa cabe yang dipilih sebagai jenis komoditas yang ditanam/diproduksi oleh kelompok mereka, maka dijawab bahwa hal itu sudah ditetapkan lebih dahulu oleh aparat pemerintah pengelola program. Jadi ada semacam ‘pemaksaan kehendak’ dari pihak penyelenggara program yang umumnya selalu merasa lebih tahu, lebih mengerti dan juga lebih berhak menentukan apa yang terbaik untuk komunitas yang tengah “dibangunnya”. Masyarakat, dalam pandangan semacam ini, dianggap dan diperlakukan sebagai objek.
Begitupun dalam mata kegiatannya yang lain, yaitu kegiatan semacam dana-bergulir yang pernah dianjurkan dalam program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Kegiatan atau program-program tersebut juga gagal karena berbagai macam konflik terjadi, baik di antara sesama anggota maupun antara anggota dengan pengelola. Pihak pengelola seringkali menunjuk seseorang untuk mengetuai atau memimpin kelompok tanpa mengindahkan aspirasi anggota, sehingga kepemimpinan (leadership) kelompok menjadi tidak berjalan karena kurang mendapat kepercayaan dari anggota. Sebaliknya persekongkolan antara ketua dan pengelola program terjalin semakin baik sehingga, secara administratif dapat diatur, bahwa program dapat dikatakan “berjalan”.
Masih di desa yang sama dan dalam waktu yang relatif sama, datang lagi projek jambanisasi dari Dinas Kesehatan. Tujuannya untuk meningkatkan kesehatan lingkungan desa dengan cara tidak membiarkan warga ber-MCK di pancur. Pancur adalah MCK umum tradisional yang dinilai kurang higienis oleh aparat kesehatan. Lagi pula bangunannya ada di luar rumah, tak elok dipandang, menurut kacamata modern. Tetapi Kepala Desa, dan juga warga, sebenarnya tidak merasa terganggu dengan pancur. Bahkan pancur yang ada dinilai sudah cukup nyaman, sehingga mereka tidak butuh sama sekali dengan jambanisasi (pembuatan WC di dalam setiap rumah). Alasannya macam-macam, mulai dari kurangnnya suplay air hingga lanskap rumah yang sudah terlanjur dirancang tanpa WC.
Lagi pula, seperti kata seorang remaja kepada saya, bahwa orang yang MCK-nya di dalam rumah adalah orang sakit dan jompo. Orang sehat, menurut dia, sebagusnya ber-MCK di pancur karena lebih leluasa, bebas, dan air juga banyak. Selain itu, tambah anak muda tadi, “Tidak enak kalau ada bunyi dari dalam WC terdengar oleh orang-orang dalam rumah”, tambahnya.
Tetapi walaupun demikian, petugas kesehatan memaksa, bahkan dengan meminta belas kasihan, agar kiranya Kepala Desa mau menerima dan menandatangani bukti penerimaan material dan biaya pembuatan masing-masing jamban dengan paket masing-masing: 1 lembar seng, 1 buah kloset, 2 keping papan dan ongkos Rp 20.000,- Lagi-lagi, seperti biasa, jumlah paketnya tidak selalu pas dengan jumlah warga. Kepala Desa terpaksa pusing kepala untuk membaginya karena kalau salah-salah melangkah bisa dituduh KKN. Setahu saya, hanya kakek Jahopuk alias empu Damri yang memanfaatkan jamban tersebut. Jamban-jamban selebihnya dibiarkan terbengkalai.
Sapi bantuan presiden, terdiri dari 2 betina 1 jantan, yang diluncurkan ke desa yang berada di lembah perbukitan ini mengalami nasib lebih lucu lagi. Maaf, ini ceritanya agak porno. Oleh aparat pemerintah (Dinas Peternakan?) tiap sapi disuruh pelihara oleh keluarga berbeda. Keluarga yang ditunjuk mengangon sapi betina tentu lebih berkesempatan memperoleh salah satu anak sapi kalau sudah lahiran. Maka itu mereka lebih bergairah memeliharnya. Yang tidak jelas hasilnya adalah keluarga yang ditunjuk memelihara sapi jantan. Keluarga ini ogah-ogahan memelihara. Lebih sering anaknya yang masih kecil disuruh ngangon, memberi rumput, mengasi garam atau membuat perapian. Entah karena mau iseng atau bereksprimen, sang “pengangon-anak” ini kerap menggosok-gosok, memain-mainkan sambil membaluri dengan tanah alat kelamin sapi jantan yang dilihatnya lucu, hingga suatu ketika ternyata alat vital itu tak bisa lagi berfungsi membuahi sapi betina.
Melihat kejadian itu seorang pengangon sapi betina diam-diam ambil tindakan. Dia pindahkan sapinya ke desa lain, desa yang juga mendapat program bantuan sapi dengan maksud mendekati pejantan. Namun karena desa itu jauh, lalu di desanya sendiri beredar khabar bahwa sapi dimaksud sudah dijual. Akibatnya muncullah rencana baru dari para pengangon yang lain untuk memperlakukan sapinya di luar program. Akhirnya program bantuan sapi atau sapi bantuan ini, di desa ini, tidak berbuah hasil. Kasus ini serupa dengan bantuan-bantuan sebelumnya --bantuan kambing, itik, dan ayam—yang sama-sama berakhir ricuh dan tidak mencapai tujuan.
Masih banyak program/projek lain yang dapat dilihat dan disoroti prosesnya di masyarakat. Biayanya sudah pasti sangat banyak. Waktu dan tenaga yang dikeluarkan juga banyak. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Mengapa?
Antropologi pembangunan berusaha menyoroti dan berusaha pula memberikan alternatif untuk memecahkan persoalan pembangunan dengan mengajak semua pihak, terutama para pihak yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, untuk lebih peka melihat dan memahami persoalan-persoalan sosial-budaya. Maksudnya adalah bahwa para pelaku pembangunan hendaknya tidaklah menganggap masyarakat sebagai ruang vakum yang dapat saja diisi dengan berbagai pembangunan, apalagi kalau pembangunan itu nantinya ditangani hanya secara sambil lalu tanpa tanggungjawab. Perlu disadari bahwa masyarakat itu merupakan sebuah kancah yang di dalamnya terejawantah relasi-relasi kekuasan, kontestasi, dan kompetisi yang dapat saja membuat pembangunan menjadi baik atau buruk. Antropolog yang cermat, yang diberi waktu cukup untuk mengenali relasi-relasi secara lebih komprihensif dan konkret di masyarakat, sedikit-dikitnya bisa membantu bagaimana caranya memulai suatu pembangunan.


01 April 2009

PENGELOLAAN LINGKUNGAN KOTA: KASUS SAMPAH

Oleh: Fikarwin Zuska

Pendahuluan

Pengelolaan sampah kota atau sampah di perkotaan sebenarnya memerlukan suatu penelitian sosial yang khusus di tiap-tiap kota. Alasannya tidak lain karena setiap kota, sebagai suatu komunitas sosial-politik, mempunyai permasalahan tersendiri dengan sampah yang harus dikelolanya. Apakah sampah mau ditangani oleh pemerintah kota atau tidak, atau cukup ditangani sendiri oleh masyarakat seperti di banyak wilayah pedesaan, itu pun sekarang memerlukan keputusan politik. Kalau ditangani pemerintah kota, haruskan oleh SKPD tertentu atau beberapa SKPD? Haruskan ditarik retribusi, dan siapa menariknya? Bolehkah diadakan kerjasama?

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Kota atau Kabupaten) ---salah satu tempat penting para politisi ‘pilihan rakyat’ mempengaruhi keputusan atau kebijakan Pemko/Pemkab--- ikut ambil bagian dalam menjawab hal-hal demikian itu. Pemko/pemkab tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena urusan sampah ini memiliki tali-temali dan implikasi sangat luas di dalam kehidupan masyarakat dan negara. Bisakah sampah plastik dikurangi dengan cara meminta produsen barang mengemas barangnya dengan bahan bukan plastik? Atau mewajibkan setiap perusahaan penghasil barang menarik kemasan barangnya setelah dipakai oleh konsumen untuk dihancurkan sendiri? Atau tetap saja mengelola sampah seperti biasa, di mana penanganannya baru dimuali setelah sesuatu menjadi sampah (end-pipe treatment) dan setelah itu diangkut, dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain oleh petugas? Ini persoalan menyangkut urasan politik dan konstitusi. DPRD sudah pasti ikut ambil bagian dalam proses pembuatannya.

Selain akan menyangkut pengalokasian dan penggunaan anggaran daerah/negara, isu seputar sampah kota dewasa ini juga cukup sexy dijadikan ‘komoditas’ politik. Kelompok-kelompok politik di Kota Depok (Jabar), misalnya, sudah pernah menggunakan isu sampah, khususnya TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir) Cipayung, untuk menggoyang ---namun gagal--- kedudukan Walikota Nurmahmudi Ismail yang berasal dari partai PKS. Mereka berdemonstrasi, melakukan somasi, dan bahkan melaporkan Walikota karena dianggap bersalah tidak melakukan penutupan TPA secepaatnya. Menurut mereka TPA Cipayung telah menggangu kesehatan masyarakat sekitar.

Tetapi kemudian tuntutan itu senyap. Walikota rupanya memang sudah lebih dahulu berkeinginan menutup TPA dimaksud karena, katanya, menyalahi ketentuan ekologis. Ia kemudian lebih berkonsentrasi menciptakan SIPESAT (Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu) yang pada saatnya nanti tak memerlukan TPA. Dengan begitu, secara politis, isu TPA tak cukup ‘kuat’ menggoyang Walikota. Karena itu politisi DPRD Kota Depok, menggeser isu politiknya dengan justeru menjadikan SIPESAT sasaran empuk. Alasannya bahwa dalam program itu walikota menerima bantuan dari pengusaha, dan itu dianggap oleh lawan politiknya di DPRD menyalahi prosedur hukum, sehingga dilakukanlah tindakan politis yang bernuansa impeachment’ terhadap walikota. Berulangkali Walikota dipanggil ke DPRD untuk menjelaskan permasalahan itu dan setiap kali ada pemanggilan, di luar gedung terjadi demonstrasi antara dua kelompok yang saling berlawanan.

Lain lagi dengan kasus TPST (Teknologi Pengelolaan Sampah Terpadu) yang didirikan di Klapanunggal, Bojong, Bogor. Di dalam kasus ini orang setempat tidak menerima daerahnya menjadi tempat “pembuangan sampah” orang Jakarta. Selain alasan kesehatan, dan ketidakpercayaan pada janji-janji pemerintah/pengelola yang biasanya tidak pernah terwujud setelah lolos atau ‘jadi’, alasan harga diri komunitas juga membuat rakyat setempat lebih berani. Rakyat memberi perlawanan sangat keras. Ada korban materi pada pihak-pihak yang bertikai. Ada penembakan, penangkapan dan pemukulan oleh aparat keamanan. Rakyat tidak peduli pada perjanjian dan persetujuan yang telah dibuat antara pemerintah DKI, pemerintahan Bogor, serta investor (PT. Wira Guna Sejahtera) yang telah membangun infrastruktur sampai tahap siap operasi. Rakyat tidak dilibatkan dalam perencanaan sehingga rakyat hanya merasa pihaknya direndahkan dan dikibuli. Tapi sejak bentrok itu rakyat setempat memperoleh dampingan dan advokasi dari koalisi sejumlah NGO. Pihak kepolisian mereka gugat, pemerintah DKI, Pemkab Bogor dan juga pihak perusahaan. Kasus ini berakhir (setelah sekian tahun berjalan) dengan relokasi dan evakuasi TPST ke Cilincing. Kerugian materil ditaksir miliaran rupiah, sedangkan kerugian non-materil tidak terhingga.

Masih belum usai tragedi Bojong yang cukup brutal, tiba-tiba sekitar tiga bulan kemudian ---tepatnya pada 21 Februari 2005 pukul 02.00 WIB--- terjadi pula insiden yang belakangan masyhur di masyarakat dengan julukan “Tragedi Leuwigajah”. Kali ini jumlah korban jiwa cukup besar. Longsoran sampah TPA Leuwigajah mengubur dan menghancurkan 139 rumah, sebanyak 143 orang diketahui meninggal dunia. Timbunan sampah yang sudah menggunung di TPA kepunyaan tiga pemerintah otonom di Provinsi Jawa Barat ¾Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi¾ itu longsor menyusul ledakan yang diduga berasal dari gas metan yang tak terkelola dengan baik (Tochija & Budiman 2005). Akhirnya, karena kejadian itu, TPA Leuwigajah ditutup sehingga Kota Bandung sempat berhenti membuang sampah dan timbullah julukan yang menggemparkan di media massa “Bandung Lautan Sampah” (Kompas, 14 Maret 2005). Tumpukan sampah tersebar di mana-mana dengan bau busuk yang menyengat sehingga Walikota Bandung mendapat ultimatum dari Presiden RI untuk sesegera mungkin menyelesaikan persoalan tersebut (Kompas 21 Mei 2006).

Memetik Pelajaran

Belajar dari kasus-kasus pengelolaan sampah yang telah dicuatkan di atas, satu hal yang harus digarisbawahi. Hal dimaksud adalah bahwa pengelolaan sampah tidaklah semata-mata teknis; bukan sekedar menjawab pertanyaan bagaimana (1) mengenyahkan sampah agar kota menjadi bersih dan (2) sampah tidak mencemari lingkungan, (3) sampah tidak mendatangkan penyakit dan (4) sebisa mungkin mendatangkan keuntungan ekonomi. Penanggulungan sampah dengan pendekatan teknis an sich, jauh dari mencukupi. Sudah banyak teknologi ditemukan untuk mengatasi sampah. Ada yang murah, dan ada juga yang mahal. Tetapi dalam kenyataannya penanggulangan sampah tetap saja sulit. Mengapa? Jawaban saya adalah karena kita tidak pernah meneliti dengan cermat fenomena empiris itu secara sosial, sehingga ¾kalau pun ada pemimpin masyarakat yang betul-betul niatnya baik¾ tetap saja ia terjebak ke dalam persoalan yang sama.

Pertama, pengelolaan sampah adalah sebuah ‘kancah sosial’ atau, kalau dipinjam istilahnya Pierre Bourdieu, ‘field of force’: artinya suatu bidang yang dinamis yang di dalamnya terdapat berbagai potensi; dan juga suatu bidang yang di dalamnya ada perjuangan untuk mendapatkan posisi-posisi; perjuangan-perjuangan untuk mentransformasi atau mengkonservasi field of forces tersebut. Oleh sebab itu fields ini teridentifikasi sebagai area-area perjuangan, di dalamnya ada strategi-strategi yang diambil untuk mendapatkan posisi (Mahar, Harker & Wilkes 1990:15). Membersihkan sampah dalam kancah macam ini, hanyalah menjadi urusan nomor sekian. Tak mustahil ‘membersihkan sampah’ itu justeru sekedar tameng. Energi dan potensi dari pekerjaan itu yang justeru menjadi penting; menjadi rebutan; menjadi sengketa dan menjadi arus utama (mainstream).

Potensi-potensi yang terdapat di dalam lapangan ini tentu tidak sedikit. Cara yang paling mudah melihat potensi adalah memperhatikan bahwa orang bisa memperoleh uang, posisi, harga diri, dari dalam lapangan pengelolaan sampah. Bukan cuma tukang angkut sampah, pemulung, bandar/ lapak, hingga pengusaha dan industriawan pengolah barang bekas yang dapat uang, tetapi juga ada kelompok-kelompok lain yang menggali untung dari lapangan ini. Mereka adalah orang-orang kalangan pemerintah, non-pemerintah, peneliti teknis, dan konsultan yang terlibat dalam perencanaan program dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan bidang persampahan, sampai orang-orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi donor, baik lokal, nasional maupun global atau internasional.

Contoh kasus TPA Cipayung Depok

TPA ini direhabilitasi atas bantuan Asian Development Bank (ADB). Pengerjaannya dilakukan oleh perusahaan swasta lewat tender (kompetisi dan atau kolusi). Pembentukan Depok sebagai Kotamadya (politik) adalah conditio sin quanon bagi munculnya kehendak para elit politik Depok untuk ‘mengharuskan diri’ memiliki TPA sendiri. Peluang yang paling besar untuk mendapatkan TPA milik sendiri pada waktu itu adalah menjadikan TPA Cipayung ---TPA yang semula milik Pemda Bogor dengan status ‘TPA pendamping’ bagi TPA utama “Pondok Rajeg”--- sebagai TPA resmi milik Kota Depok. Tujuan memiliki TPA sendiri adalah agar Depok tidak bergantung pada TPA Kabupaten lain; sesuatu yang dianggap dapat mengurangi arti dari kemandirian sebuah kotamadya, yang berdirinya baru saja diproklamirkan (hargadiri/ gengsi). Maka dari itu pada tahun 2000 ---segera setelah DPRD hasil Pemilu 1999 terbentuk dan mulai bersidang--- Kota Depok melalui Peraturan Daerah tentang RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) menetapkan TPA Cipayung sebagai TPA Kota Depok tahun 2000 – 2010. Implikasi dari penetapan RTRW ini ialah seluruh sampah dari wilayah kecamatan-kecamatan di Kota Depok, termasuk yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bogor, harus dibuang ke TPA Cipayung. Padahal kapasitas atau daya tampung serta infrastruktur TPA Cipayung sendiri sebenarnya belum memadai. Masih harus diperbesar arealnya (pembebasan tanah); infrastrukturnya disempurnakan, dan fasilitas serta sarananya masih harus dilengkapi. Tanpa peningkatan kapasitas mustahil TPA Cipayung mampu menampung begitu banyak sampah.

Untung sekali rencana rehabilitasi TPA Cipayung memang sudah dibuat sebelumnya dan bahkan sudah dalam taraf deal menunggu implementasi. Pemerintah Kabupaten Bogor ----sebelum melepaskan Depok---- sudah tandatangani kontrak bantuan dari ADB (Asian Development Bank) melalui program Loan: Metro Botabek Urban Development Sector Project (MetroBotabek UDSP) untuk rehabilitasi TPA Cipayung. Pemerintah Kota Depok, atas pengertian Pemda Bogor dan ADB, serta pihak terkait lainnya, tinggal melanjutkan program itu setelah diperkenankan mengelola sendiri bantuan ADB untuk rehabilitasi TPA Cipayung (Fikarwin Zuska 2008).

Kedua, orang-orang yang terlibat dalam kancah sosial pengelolaan sampah itu terkait satu sama lain dalam relasi kekuasaan. Anggapan ini sejalan dengan pendapat ahli berikut ini:

“Individu-individu selalu dalam situasi mengalami dan melaksanakan kuasa secara simultan. Mereka bukan hanya target kuasa yang tak bergerak atau yang patuh saja; tetapi individu-individu juga selalu merupakan unsur pengungkapan kuasa, medium kuasa dan bukan merupakan titik-titik penerapan kuasa (Foucault dalam Cheater 1999:3).

Dalam hubungan kuasa, berbagai sumber kekuatan bisa dipergunakan oleh para pihak, tak terkecuali dari diskurus-diskursus global (HAM, demokrasi, otonomi, transparansi, dan sebagainya) yang beredar di lingkungan lokal. Di belakang diskursus tersebut, diyakini, terdapat sejumlah kekuatan yang bisa diekstraksi untuk mendapatkan dukungan. Kekuatan itu tentu berasal dari orang-orang yang mendukung diskursus-diskursus tersebut.

Timbulnya hubungan kuasa didasarkan pada kenyataan bahwa relasi antar pelaku, itu nyaris selalu asymetris (McGlynn & Tuden 1991:3) atau inequalities (Foucault dalam Patton 1987: 234). Yang satu lebih berpengaruh atas yang lain. Tetapi pada saat yang sama kita juga perlu ingat bahwa individu manapun juga dapat ‘melaksanakan’ kuasa dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dapat diaksesnya dari dalam dan sekitar dirinya sehingga ia juga berpengaruh pada orang yang memaksanya. Oleh sebab itu, tak dapat dipungkiri, bahwa dalam hubungan sosial antar palaku (hubungan kuasa) itu sebenarnya ada unsur persaingan, kompetisi, kontestasi dan atau bahkan resistensi (perlawanan).

Kuasa dalam konteks semacam itu sejalan dengan salah satu proposisi yang dikemukakan Foucault: “power isn’t a thing that is either held by, or belongs to, anybody” (Danaher, Schirato & Webb 2000:70). Setiap orang dapat memainkan kuasa dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah relasi kuasa itu tercetak sekalijadi lalu membeku seperti batu. Power dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat atau area, ke tempat atau area lain, bergantung pada perubahan aliansi dan lingkungan (keadaan). Dengan kata lain, “power is mobile and contingent” (kuasa itu bergerak dan bergantung) pada sesuatu.

Foucault menerangkan ini terjadi karena “the site of power is now empty and potentially able to be filled by anybody. Sebab, katanya, Tuhan tak memberi otorisasi kepada siapapun:

However, because none of these groups were ‘authorised by God’, their claims were always being contested. No one institution, field or discourse could claim undisputed access to ‘the truth’, and so groups that were trying to control or influence matters of state had to negotiate and gain suppport for their agendas, policies or ideas” (Danaher, Schirato & Webb 2000:72)

Ketiga, individu yang terlibat dalam hubungan kuasa memainkan secara simultan peran sebagai agen dan sebagai aktor. Ahearn (2001:133) mengatakan:

In Karp’s view, an actor refers to a person whose action is rule-governed or rule-oriented, whereas an agent refers to a person engaged in the exercise of power in the sense of the ability to bring about effects and to (re)constitute the world.” Menurut Karp pula, kata Ahearn lagi, bahwa: “Actor and agent should be considered two different aspects of the same person, or two different perspectives on the actions of any given individual

Terkait dengan pengelolaan sampah, pelaku-pelaku dapat bertindak sebagai ‘orang pemerintah’; orang yang tindakannya didasarakan pada aturan-aturan sehingga dengan begitu menjadi lebih punya ‘hak’ dibandingkan yang lain. Tetapi pada saat yang sama ‘orang pemerintah’ tadi juga seorang agen yang terlibat dalam penyelenggaaan kuasa guna memberi efek atau pengaruh pada dunianya. Di sini kepentingan (interest) pribadi sang agen akan mengemuka, dan dengan begitu ia akan ‘mengolah’ dunia yang dihadapi untuk melahirkan untung baginya.

Keempat, perlu dicatat bahwa hubungan antara struktur sosial (termasuk aturan-aturan, hukum dan lain-lain) dengan individu adalah bersifat dialektis. Dalam teori strukturasi difahamkan bahwa tindakan manusia dibentuk oleh struktur sosial (baik dengan cara membatasi atau memfasilitasi) sehingga seluruh tindakan kemudian berperan untuk memperkuat (reinforce) atau merekonfigurasi (reconfigure) struktur itu sendiri. Agency, dalam pandangan teori strukturasi, dengan demikian, kata Ahearn sambil memetik hasil dari pendapat Sztompka, “can be considered the socioculturally mediated capacity to act, while praxis (or practice) can be considered the action itself” (Ahearn 2001:118).

Pedoman-pedoman atau kesepakatan-kesepakatan yang seharusnya mengikat individu dalam segala macam kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, itu akan mendorong para pihak untuk bertindak dan dengan tindakannya itu, pedoman-pedoman tadi akan lebih diperkuat. Namun pada saat yang sama, para agen selalu akan mempengaruhi ‘pedoman atau kesepakatan’ agar hal itu lebih memihak pada kepentingannya. Dialektika semacam ini terus terjadi di lapangan pengelolaan sampah. Kasus di Depok menunjukkan, supir truk yang ditempatkan di ‘tempat kering’ selalu berusaha mengubah kesepakatan agar ia dipendahkan ke ‘tempat basah’, atau sebaliknya sang supir yang di ‘tampat basah’ berusaha bertahan di sana dengan cara apapun yang memungkinkan. Biasanya para petugas lapangan (orang dinas kebersihan) memahami dinamika tersebut dan sedapat mungkin memanfaatkannya untuk keuntungan bersama.

Penutup

Memahami pengelolaan sampah perkotaan sebagai field of force akan sangat bermanfaat untuk menyusun kebijakan. Namun untuk mengetahui bagaimanakah peta ‘kekuatan’ yang bermain di lapangan itu, dan siapa sajakah pemain-pemain dominan-nya di sesuatu kota, perlu dilakukan penelitian sosial. Upaya memetakan kekuatan di kancah pengelolaan sampah tidak cukup dilakukan dengan cara sepintas lalu. Ini harus diekerjakan secara intensif agar tersibak bagaimana jalin-jemalin, tali-temali, tumpang tindih, kontradiksi, yang terjadi di antara pelaku-pelaku.

Kalau peta kancah tersebut sudah dikuasai, ibarat seorang nakhoda di laut lepas, ia akan tahu ke mana arah yang harus diambil. Di mana ada ranjau, siapa yang pasang ranjau, ia tahu dan tidak akan mengarahkan kemudi ke sana.

Caturan-caturan yang pelik mengenai relasi-relasi para pelaku di lapangan pengelolaan sampah ini akhirnya membawa kita kembali pada pertanyaan dasar, sudah bagaimana sebenarnya keadaan sampah di kota setelah hiruk-pikuk pelaku-pelaku yang terlibat itu tersingkap semua pikiran dan perbuatannya? Tampaknya ada satu jawaban yang cukup penting, yaitu: pemimpin.

Bacaan

Ahearn, Laura M., “Language and Agency” (Annu.Rev. Anthropol.2001.30 109-37). Downloaded from arjournals.annualreviews.org by NATL.Univ.OF SINGAPORE on 06/29/05.

Buana, Rusna Djanuar., Pemkot Depok Bergulat Melawan Sampah (Depok: Dinas Kebersihan dan Pertamanan 2004).

Cheater, Angela, ‘Power in the Postmodern Era’, dalam Angela Cheater (ed), The Anthropology of Power: Empowerment and Disempowerment in Changing Structures (London and New York: Routledge 1999) hal.:1-12.

Danaher, Geoff., Schirato, Tony., & Webb, Jen., Understanding Foucault (London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication 2000). Foucault, Michel., Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan (Yoyakarta: Bentang Budaya 2002).

Giddens, Anthony., Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis (Berkeley and Los Angles: University of California Press 1986).

Herry-Priyono B., Anthony Gidden Suatu Pengantar (Jakarta: KPG & Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2002).

McGlynn, Frank & Tuden, Artur., Introduction dalam Frank McGlynn & Artur Tuden (ed), Anthropological Approaches to Political Behavior (Erospan, London: University Of Pittsburgh Press 1991) hal. 3-44

Patton, Paul, ‘Michel Foucault’, dalam Diane J.Austin-Bross,ed, Creating Culture (Sydney, London, Boston: Allen & Unwin 1987) hal: 226-242.

Tochija, HM. Itoc. & Budiman, Tragedi Leuwigajah (Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer 2005).

Zuska, Fikarwin, 2008, Relasi Kuasa Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari: Studi Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota (Medan: FISIP USU Press).