23 Agustus 2009

Birokrasi


Departemen Kebudayaan, Isu Basi Menjelang Penentuan Menteri

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 04:49 WIB

*H Hardi*

Kebudayaan bukan semata-mata diartikan sebagai benda yang telah jadi,
suatu finished product, tetapi sebagai proses dialektis dalam masyarakat
atau negara, tempat sistem-sistem saling menarik. Kemudian tampak
sebagai "potret budaya" dalam masyarakat yang berlangsung
bertahun-tahun. Itulah potret suatu sintesis budaya... (Umar Kayam,
Tempo, 1999).

Menanggapi tulisan Nunus Supardi, Kebudayaan, Bagaimana Nasibmu?
(Kompas, 18 Agustus 2009), tampak penulis kurang bisa membedakan
pengertian "kebudayaan" sebagai proses dialektis pada masyarakat yang
tak kunjung usai dengan kebudayaan yang dianggap produk jadi, dari
sebuah unsur suatu lembaga yang di-set up oleh sebuah birokrasi.

*Nasib buruk*

Pertanyaan Nunus—Kebudayaan, Bagaimana Nasibmu? sebagai suatu judul
tulisannya— menandakan bahwa isu kebudayaan yang dibentuk dalam sebuah
Departemen Kebudayaan yang mandiri, dari tahun 1945 hingga kini dan tak
terwujud, merupakan nasib buruk bagi kebudayaan Indonesia.

Kerancauan berpikir ini banyak menghinggapi para seniman dalam diskusi
formal atau informal (di warung kopi), khususnya dalam setiap kongres
kebudayaan yang diselenggarakan hampir setiap lima tahun sekali. Mengapa?

Hal itu terjadi karena seniman merupakan peserta mayoritas kongres
kebudayaan (dan biasanya menyebut diri budayawan). Mereka menjadi
narasumber kongres, yang sebagian besar tidak membicarakan kebudayaan
secara holistic, tetapi mereka berbicara tentang diri sendiri dalam
proses penciptaan karya.

Mengingat seniman sebagai "tuan rumah" dalam setiap kongres, maka godaan
untuk tampil sebagai birokrat dan memiliki departemen sendiri amat
menggoda. Padahal, kenyataannya, para seniman adalah warga negara
marjinal, hidup tanpa jaminan sosial, tanpa tunjangan hidup, tanpa
income tetap, tanpa asuransi kesehatan, yang amat membebani dalam proses
penciptaan.

Andaikan desain kongres kebudayaan melibatkan politisi (legislatif),
eksekutif lintas departemen, yudikatif, pengusaha, maecenas kesenian,
teknolog, ilmuwan, pemangku adat, raja-raja, dan agamawan, niscaya hasil
kongres akan lain dan bisa menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah.

Kita tahu, para seniman (yang menganggap diri budayawan) itu
terengah-engah untuk sekadar merumuskan apa itu strategi kebudayaan.
Alhasil, strategi kebudayaan tak pernah lahir dalam setiap kongres
kebudayaan. Sebagai bahan banding, Bung Karno memiliki strategi
kebudayaan yang jelas, yaitu ekonomi terpimpin (sosialis), berdikari
yang berbuah inflasi, demokrasi terpimpin, politik nonblok meski
cenderung ke kiri dan berkepribadian dalam kebudayaan.

*Departemen khusus*

Dampak strategi kebudayaan Orde Lama membuahkan boikot film Amerika,
ganyang nekolim, ganyang musik ngak ngik ngok, lahirnya perjuangan ala
Bambang Hermanto, sastra Lekra versus Manikebu, di mana politik menjadi
panglima penciptaan seni.

Pada era Soeharto (Orde Baru), apa yang dilakukan Bung Karno itu
ditolak. Kecuali demokrasi yang tetap terpimpin (otoriter), maka
kebudayaan Indonesia identik dengan masuknya budaya Barat, tanpa sempat
berakulturasi, karena terlalu deras masuknya. Bahkan, Guruh
Soekarnoputra yang mengadopsi Moulin Rouge, kabaret Paris pun merasa
nasionalis hanya berbekal cawat putih dan ikat kepala merah, kebaya,
sanggul dengan label Swara Mahardika.

Pada era reformasi, kebudayaan Indonesia sudah mulai berakulturasi.
Kodrat budaya kita yang menyerap (eklektik) melahirkan gelora dinamika
pada masyarakat dan Gus Dur membangkitkan budaya China yang diberangus
pada era Orde Baru. Penyiaran TV jadi ultraliberal (sambil memaki-maki
neoliberal). Ini sekadar contoh-contoh interaksi budaya yang terjadi
pada kita.

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perkembangan kebudayaan maju
merayap ke depan. Saya suka dengan booming film kita kini meski masih
ada pocong-pocongan, tema cinta remaja. Booming seni rupa, gairah musik
pop, dan yang lebih luas adalah fenomena budaya tanding yang terjadi di
Jember, Pasuruan, dengan karnaval ala Brasil yang notabene lahirnya di
wilayah kaum Nahdliyin. Selain itu, mulai bergairahnya perkebunan,
agrikultur, dan lomba kecerdasan anak-anak yang meraih reputasi
internasional. Olahraga liga pro, fashion, booming, batik karena
merevitalisasi diri. Itu semua tak memerlukan departemen khusus.

*Diperlukan kebijakan*

Hal itu seperti ditegaskan Umar Kayam bahwa kebudayaan bukan produk jadi
sehingga nilai- nilai yang diperjuangkan bangsa ini, meliputi akal budi
dan upaya untuk kehidupan lebih sejahtera dan human, tak perlu
departemen khusus. Namun, yang diperlukan pelaku budaya, termasuk
seniman, adalah kebijakan atau payung hukum, dorongan mencipta,
penghargaan, dan bantuan finansial perbankan.

Hollywood menjual mimpi adalah representasi budaya AS. Hollywood adalah
dapur strategi kebudayaan Pemerintah AS. Hollywood adalah sinergi para
industriawan, ekonom, politisi, dan seniman (maka seniman disebut actor
atau pemeran saja).

Sebagai contoh, saat AS anti- Uni Soviet, maka James Bond melabrak
komunis Rusia. Rambo mengobrak-abrik di hutan Vietnam. Ketika AS perang
dengan terorisme, tiap orang Arab diberi label pasti jahat. Film tentang
antiterorisme diciptakan dan didistribusikan ke negara-negara dunia,
bersamaan distribusi teknologi, handphone, komputer, senjata, dan lainnya.

Atas keadaan ini, saya bertanya, jika kebudayaan itu bisa berdiri
sendiri dan menjadi satu departemen, mengapa sejak 1945 hingga kini
tidak diwujudkan?

Mengingat founding fathers dan penerusnya tahu, kebudayaan adalah suatu
proses, bukan tata nilai yang sudah selesai.

Artikel Saudara Nunus perlu ditanggapi karena terasa amat tendensius.
Hal itu bisa dibaca pada akhir tulisan, "...Masalah ini sepenuhnya jadi
hak prerogatif presiden. Akan tetapi, perlu dicatat, budayawan telah
lelah menunggu impian lama itu menjadi kenyataan. Impian agar kebudayaan
(ibu) melahirkan anak bernama Kementerian Kebudayaan pada kabinet
2009-2014 ini".

Nah... betul kan?

/H Hardi Pelukis; Intelektual; Anggota Badan Pekerja Kongres Kebudayaan
Indonesiahttp://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/22/04493944/departemen.kebudayaan.isu.basi.menjelang.penentuan.menteri/



RENUNGAN RAMADHAN

Bulan Suci Bermakna Sosial

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:12 WIB

Moeslim Abdurrahman

Biasanya, menjelang puasa seseorang baru ingat akan dosa-dosanya. Buktinya, SMS beredar ke mana-mana, dari orang yang kita kenal dekat, tetapi banyak juga sahabat jauh, eh tiba-tiba kirim lewat SMS minta juga dimaafkan. Biarpun sesungguhnya, kalau mau jujur, kita juga tidak ingat lagi dosa yang mana dan salah yang mana yang perlu dihapus.

Hal ini tidak ada salahnya, memang. Toh, Ramadhan adalah bulan berkah dan penuh ampunan. Kapan lagi dosa dengan orang lain, akibat pergaulan, kalau bukan pada bulan suci ini saatnya untuk dibersihkan? Oleh karena itu, hampir menjadi persepsi umum bahwa bulan puasa bagi mereka yang menjalankannya diniati selain menjadi momentum untuk mengumpulkan pahala juga sebagai penyucian diri dan pertobatan dosa, baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan.

Dalam kerangka itulah, jangan heran kalau pada bulan suci ini tiba-tiba ada keinginan menjadi khusyuk, bahkan juga menjadi dermawan. Banyak tadarus, sering mengundang anak yatim berbuka di rumah, atau banyak mengeluarkan sedekah. Semua itu adalah bagian dari memupuk kesalehan diri sendiri agar melalui ritual puasa diharapkan dapat lahir kembali menjadi orang bersih secara spiritual.

Namun, bulan Ramadhan juga menghasilkan tradisi yang sekarang ini boleh dibilang dalam era konsumerisme tidak bisa dipisahkan dengan gaya hidup, yakni kebiasaan baru berbelanja dan berpenampilan untuk puasa dan Lebaran. Sadar bulan suci, mukena, misalnya, sepertinya harus baru. Bahkan, apa salahnya beli yang sedikit mahal, siapa tahu akan banyak undangan menghadiri acara buka dan tarawih bersama di hotel-hotel. Tidak juga merasa enak kalau hanya sajadah baru yang penting dibawa dalam menghadiri acara-acara tarawih itu, pasti masalah pakaian yang ”sesuai” seperti halnya busana muslimah atau seragam koko juga harus dipertimbangkan beli baru agar model dan bahannya sesuai dengan para undangan yang lain. Ini hanyalah contoh saja untuk mengatakan, sekarang ini kita juga telah memiliki—bisa saja disebut ”gaya hidup Ramadhan”—dengan segala identitas dan penampilannya sendiri.

Dalam gaya hidup Ramadhan yang konsumtif dan konsumeristik, pasti hal ini akan membingungkan kita sendiri. Sebab, bagaimana bisa, dengan menjalankan puasa, kita sesungguhnya ingin mendapatkan penghayatan spiritual (di luar soal pahala yang dijanjikan) tentang betapa menderitanya seorang yang lapar yang dialami orang-orang dalam kelaparan yang sesungguhnya sebagai gejala dekadensi moral kemanusiaan. Sementara itu, pada siang hari kita puasa dan pada malam harinya kita mengonsumsi secara rakus, bahkan melebihi konsumsi kita pada bulan-bulan biasa. Bahkan, karena memenuhi ”gaya hidup Ramadhan” tersebut, pengeluaran belanja kita berlipat tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk membiayai berbagai aktivitas yang sebenarnya belum tentu dari segi ritual maupun makna puasanya secara hakiki memang hal itu harus dilaksanakan.

Moralitas kolektif

Puasa sebagai pertobatan individual memang sering membuat kita khusyuk dalam melaksanakannya. Begitu pula kedatangan Ramadhan sebagai bulan suci dapat kita sambut dengan semarak dalam budaya publik yang juga ekspresif. Namun, selalu pertanyaan yang mengganggu, apakah kesucian dan kesalehan yang kita peroleh lewat ibadah puasa mempunyai kaitan dengan tumbuhnya moralitas kolektif untuk mengubah ketimpangan sosial sebagai bentuk kemungkaran yang paling melawan cita-cita ketakwaan, misalnya?

Dalam kesalehan individual, mungkin agak mudah kita meratapi atau menangisi dosa-dosa pribadi. Apakah melalui istigfar atau zikir sendiri bahkan juga menangisi dosa yang pernah kita perbuat selama ini dalam forum berzikir di publik. Namun, bagaimana dengan dosa struktural yang kita perbuat secara kolektif karena lemahnya moral dan komitmen untuk memperjuangkan keadilan sosial selama ini? Berhakkah kita menyatakan saleh dengan puasa yang rakus, sementara di sekeliling kita anak-anak pemulung pada pagi yang buta menyerbu sisa-sisa makanan (siapa tahu ada yang masih segar) dari sisa buka dan sahur kita yang mungkin tidak sanggup kita makan lagi?

Saya takut, jika ibadah puasa hanya berhenti pada pelaksanaan ritualnya, tanpa mengalirkan kesadaran yang terus-menerus sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan, bisa jadi kita bisa merasakan bagaimana lapar pada siang hari, tetapi kita akan kehilangan pesan yang paling dasar dari ibadah itu sendiri bahwa ”kelaparan adalah musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan yang paling hakiki”.

Kepekaan spiritual

Ramadhan tahun ini, kita melaksanakan puasa dalam suasana ekonomi yang belum menggembirakan. Jumlah orang miskin dan yang lapar masih besar. Mereka belum memiliki kemampuan hidup yang layak. Akar masalahnya adalah karena mereka tak mempunyai pekerjaan dengan pendapatan memadai. Negara belum berhasil memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara. Paling kurang hak memperoleh pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok.

Sementara itu, proses politik kita terpisah sama sekali dengan realitas penderitaan mereka. Dari mana perubahan nasib mereka kalau mereka yang tersingkir dan menderita ini sebenarnya tidak ikut memiliki proses politik? Tidak mungkin, misalnya, mereka itu ikut memperjuangkan kebijaksanaan publik atau redistribusi sosial yang adil buat mereka.

Politik kita sekarang ini rasanya telah dimiliki dan dikendalikan oleh pemilik kapital, sedangkan partai yang diketahui rakyat hampir semua kalah pengaruhnya dengan lembaga-lembaga konsultan politik dan iklan politik pencitraan hebatnya seorang kandidat. Dunia politik kita semakin tak memperbincangkan, apalagi memperjuangkan nasib mereka yang lapar atau berpuasa sosial.

Saya tidak mengatakan bahwa dengan menjalankan ibadah puasa akan serta-merta kita dapat menyelesaikan ketimpangan sosial. Sebab, berpuasa bukanlah merupakan kegiatan politik untuk itu. Namun, jika mereka yang terpinggirkan oleh proses politik itu juga menjadi obyek sekadar kita bisa sedekahi, alangkah naif dan ibanya mereka di depan bangunan impian kesalehan individual yang kita cari selama ini.

Sekali lagi, agama dengan ritualnya pasti bukan mekanisme politik. Hanya saja, bagaimana kita bisa mengatakan religius tanpa kepekaan spiritual untuk mengonsolidasikan orang-orang yang menderita dan tercecer? Adalah sesuatu yang tidak bisa dimungkiri bahwa jarak sosial seseorang akan sangat berpengaruh terhadap kemampuannya dalam melaksanakan ritual dan mendekati rumah-rumah kesalehan.

Kita bisa mengatakan bahwa di depan Tuhan hanyalah ketakwaan seseorang yang menjadi ukuran. Namun, makna puasa tidak mungkin cukup kalau sekadar diharapkan menjadi kesempatan mengejar pahala dan pertobatan diri sendiri. Di luar perbincangan soal fikih puasa, kita harus berani meneguhkan pesan moral publiknya yang korektif terhadap kesadaran palsu bahwa kita seolah-olah bisa menuju ke surga sendiri-sendiri, sambil melupakan tanggung jawab bersama menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat.

Moeslim Abdurrahman Ketua Al Maun Institute, Jakarta

Sumber: : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/22/0312551/bulan.suci.bermakna.sosial

01 Agustus 2009

Berobat Ke Seberang

Hari itu 28 Juli 2009, sekira pukul 07.00 Wib, satu pesawat boing 737-400 penuh penumpang, berangkat dari Polonia ke Pulau Pinang Malaysia. Disusul kemudian oleh sebuah pesawat sejenis dengan tujuan yang sama. Keduanya maskapai penerbangan dalam negeri. Saya tidak tahu dua pesawat lainnya dari maskapai berbeda milik negara jiran, yang juga sarat dengan penumpang. Mungkin ada dua atau tiga ratusan orang. Sepengetahuan saya tujuan mereka, pada umumnya sama: berobat atau mengantar pasien berobat ke beberapa hospital yang ada di sana.
Keramaian serupa saya saksikan ketika tanggal 1 Agustus 2009. Berduyun-duyun penumpang Indonesia, asal Sumatera Utara, kembali dari Penang ke Medan. Tidak termasuk penumpang yang terbang bersama pesawat lain yang langsung ke Bandara Blang Bintang, Banda Aceh. Semua tampak gembira karena sembuh dari penyakitnya. Mereka tak cemberut meski uang terkuras.
Berobat di negeri orang tidaklah murah. Dibayar pakai Ringgit Malaysia (RM). Satu ringgit kurang sedikit Rp 3000,- Cobalah dibayangkan berapa banyak uang Indonesia kita 'buang' ke Malaysia hanya untuk berobat dan keperluan lain berkaitan dengan itu. Sekali pergi macam itu tidak kurang Rp 10.000.000 dan banyak menghabiskan biaya sampai 50 dan 60 juta dalam tempo 3-6 hari, dan ...yang paling penting: sembuh!!!!!
Kapan ya...rumah sakit dan para medis di tempat kita bisa membikin pasien gembira? Rugi negeri dan bangsa ini kalau terus macam ini. Malu kita. Malu.