31 Januari 2011

WISATA













Salah satu mandala wisata di Deli Serdang. Tidak jauh dari Medan. Tidak mahal, tapi mengasyikkan. Bakaran ikan, tentu pilihan yang menyenangkan. Beli ikan di TPI, bawa arang dan bakaran,........jreng...jreng......udah. Santap sambil menikmati indahnya pasir laut, laut dan cemara.
Posted by Picasa

27 Januari 2011

Bagan di tengah Laut Sulawesi. Diabadikan dari sebuah kapal nelayan saat kembali dari Pulau Derawan menuju Berau.
Posted by Picasa

17 Januari 2011

KOK HANYA SEKOLAH
Oleh: Fikarwin Zuska
Dalam keadaan di mana kepercayaan antar sesama kita dalam masyarakat (social trust) sudah begitu rendah (Kompas, 5 Februari 2005), maka sulit rasanya untuk mulai dapat melangkah maju bangkit dari keterpurukan. Prasangka negatip terhadap sesama mendominasi pikiran kita. Kita pun disibuki oleh pertengkaran yang tak habis-habisnya sementara ‘tetangga’ terus bergerak maju. Itulah juga yang terjadi pada dunia pendidikan dewasa kita ini. Kita berdebat soal kebijakan Depdiknas mengadakan Ujian Nasional sehingga kita lupa pada substansi pendidikan itu sendiri.
Substansi Pendidikan
Substansi pendidikan yang diakui oleh hampir semua ahli pendidikan adalah belajar. Belajar (learning), secara kamus, adalah ‘the act, processes, or experiences of gaining knowlodge or skill’. Sepanjang otak (brain) manusia tidak terhalang menjalani proses ‘pengisiannya’ secara normal, maka belajar akan terus berlangsung; di manapun dan kapanpun. Baik di sekolah maupun di luar sekolah intinya sama saja. Yang penting menambah pengetahuan atau keahlian.
Yang jadi persoalan sekarang adalah kenyataan bahwa hanya sekolah dianggap satu-satunya tempat belajar yang paling baik. Semua orang berlomba-lomba ingin masuk atau memasukkan anaknya ke sekolah. Sekolah menjadi barang mahal sehingga banyak anak miskin drop-out lantaran kurang biaya. Sekolah menjadi barang langka sehingga tiap tahun terjadi rebut-rebutan: ada yang tersisih dan ada yang berhasil. Sekolah menjadi komoditi sehingga banyak orang kaya berinvestasi mendirikan ‘perusahaan’ sekolah. Sekolah menjadi faktor ketidaksamaan sosial (social inequlity factor), sehingga terjadi pembelahan sosial ke dalam dua kategori sosial ‘orang sekolahan’ dan ‘orang tak bersekolah’; yang satu dianggap lebih tinggi daripada yang lain. Anggapan ini selanjutnya dimantapkan pelbagai lembaga di masyarakat. Satu yang terpenting adalah dalam hal mencari dan menerima tenaga kerja: ijazah menjadi prasyarat.
Mengapa kita jadi begitu menggantungkan pendidikan (belajar) anak-anak pada sistem sekolah sementara di luar sekolah juga ada atau bisa dicipta suatu tempat belajar? Bukankah sudah cukup banyak bukti bahwa hasil belajar di luar sekolah pun sebenarnya bisa melebihi hasil bellajar di sekolah? Yang penting sekarang bagaimana pemerintah bisa berbuat adil terhadap semua lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Caranya cukup mudah: pertama, pemerintah menetapkan tolok-ukur kemampuan dalam mata pelajaran yang harus dimiliki sebelum seseorang mendapatkan ijazah setingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat Pertama dan Atas. Tolok ukur ini disebarluaskan kepada masyarakat sehingga semua tahu apa yang harus dikuasai sebelum seseorang memegang ijazah tertentu. Dengan begitu maka tidak ada lagi warga yang takut membiarkan anak-anaknya belajar di luar sekolah saja; tidak merasa terpaksa harus mengantar anak-anaknya belajar ke sekolah.
Kedua, pemerintah wajib mengeluarkan ijazah nasional melalui proses Ujian Nasional dalam mata-mata pelajaran yang telah ditetapkan tadi. Semua orang diberi hak ikut Ujian Nasional, dari mana pun tempat asalnya belajar tanpa embel-embel seperti ‘ujian persamaan’ yang menimbulkan kesan inferior. Kepada mereka yang lulus Ujian Nasional diberi hak menerima ijazah nasional yang di keluarkan pemerintah. Dan orang tahu apa kualifikasi minimal yang dimiliki oleh setiap pemegang ijazah karena apa yang dijadikan tolok-ukur kelulusannya dalam ujian sudah jelas.


Ketiga, pemerintah tidak perlu mengatur dan mengarahkan ke mana orang harus pergi belajar; siapa yang mengajar, apa pakaiannya, dan apa buku, pengarang, serta penerbitnya. Pemerintah cukup menentukan standar kualifikasi yang harus dimiliki sebelum seseorang boleh memegang suatu ijazah dari jenjang tertentu. Bagaimana mencapai standar kualifikasi tersebut, itu tergantung pada kretivitas dan kemampuan guru mengajar dan mencari bahan ajar.
Akses tertutup
Kebijakan pendidikan nasional serupa ini sudah patut diterapkan mengingat kesadaran untuk ‘menambah pengetahuan dan keahlian’ di masyarakat sudah cukup luas. Kebanyakan orang tidak bersekolah atau putus sekolah dewasa ini bukanlah karena tidak ingin belajar atau menolak ilmu barat. Mereka tidak bersekolah umumnya karena akses mereka ke sekolah tertutup: kurang biaya, jauh dari atau tidak ada sekolah yang dekat, serta terlanjur kerja membantu orang tua. Ini tidak berarti mereka yang tak sekolah itu tidak belajar. Secara substantif mereka tetap belajar walaupun tidak sekolah. Cuma pemerintah selama ini tidak mengakui hasil belajar mereka kecuali mereka bersedia mengikuti ujian persamaan untuk mendapatkan ijazah ‘kelas kambing’.
Diskriminasi sosial akibat pengalaman sekolah akan menghilang dan berganti menjadi kompetisi sosial dalam penguasaan atas pengetahuan dan keahlian. Orang tidak lagi menanyakan sekolah atau tidak, tapi menanyakan ‘anda tahu dan biasa apa’. Standar kualifikasinya jelas. SD apa, SMP apa dan SMA apa. Dari mana orang mendapatkan pengetahuan dan keahliannya (belajar), serta berapa lama waktu mendapatkannya, menjadi tidak signifikan. Berbeda dengan sekarang, orang lebih terpukau oleh tempurung ketimbang isi. Dan ini merupakan masalah struktural yang terjadi karena pemerintah tidak menghargai orang dari hasil belajarnya melainkan dari tempatnya belajar. Hal yang sama diikuti oleh lembaga-lembaga pencari dan dari tempatnya belajar. Hal yang sama diikuti oleh lembaga-lembaga pencari dan penyedia lapangan kerja yang membuat prasyarat pelamar ada pemgalaman sekolah.
Pembelaan pemerintah kepada sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar menutup kemungkinan orang-orang ‘terpelajar’ untuk mengajar. Mereka harus mendaftar dan diterima dulu sebagai tenaga pengajar di suatu sekolah baru diakui mengajar. Banyak orang ‘terpelajar’ bisa dan mampu mengajar pengetahuan dan keahlian untuk tingkat SMP atau SMA misalnya, tetapi tidak melakukannya, karena mereka bukan guru sekolah, di samping itu apa yang mereka ajarkan ─kalau kebetulan mau─ diangap kurang dianggap kurang berarti dan tidak mendapat penghargaan dari pemerintah dibanding apa yang diajarkan oleh guru di sekolah. Pengetahuan yang diberi guru di sekolah termasuk cara-caranya memberi pelajaran dianggap lebih benar. Otoritas formal dalam belajar, tampaknya, menjadi kunci dan bukanlah kebenaran. Sebab itu tidak mengherankan bila seorang anak yang ibunya kerja di kantor menolak pendapat ayahnya setelah gurunya memberi tahu jawaban yang benar adalah (a) dari soal pilihan berganda “ibu bekerja di: a) rumah; b) kantor; c) pabrik”.
Pembagian kerja struktural seperti ‘belajar di sekolah’ dan ‘bekerja di kantor’, membuat percuma arti dari ‘mengajar’ di luar sekolah. Kita buang begitu banyak energi dan sumberdaya untuk mengajar di luar sekolah tapi tidak berarti hanya karena soal formalitas. Dan kita beli segengam formalitas hanya untuk memberi tahu anak pengetahuan dan keahlian yang mestinya sudah bisa diperoleh melalui belajar di luar sekolah. Akhirnya semua orang yang punya perhatian dan keahlian dalam pendidikan, persis seperti yang terjadi dewasa ini, hanya memusatkan perhatian pada sekolah. Keterbatasan sekolah menampung partisipasi banyak orang membuat mereka yang ada ‘di luar gelanggang’ hanya menjadi pengamat dan tidak bisa menjadi ‘pemain’. Situasi inilah yang sedikit-banyaknya membuat penyelenggaraan sekolah menjadi kebanjiran wacana dan usul. Semua pengetahuan, dengan argumen masing-masing, penting dipelajari di sekolah lalu dipadatkan dan dijejalkan kepada anak-anak. Seiring itu lapangan kerja terbuka, tenaga pengajar direkrut guna mengurangi pengangguran.
Mencegah dan mengatasi kepadatan usul atau wacana itu, pemerintah perlu membuka keran dan mengadakan kebijakan pendidikan nasional tanpa bertumpu hanya pada wadah sekolah. Pemerintah harus mengembalikan pendidikan kepada substansinya, yaitu belajar, tanpa mengaitkannya pada wadah apalagi hanya pada sekolah. Dalam keterbukaan gelanggang belajar seperti itu orang terpelajar bisa berpartisipasi dan berkompetensi meraih keunggulan dalam melakukan transfer pengetahuan dan keahlian kepada anak didik masing-masing. Tugas pemerintah dalam hal ini hanya mengadakan ujian nasional untuk menjaga standar-mutu yang ditetapkan, dan diuji melalui ujian nasional, maka yang bersangkutan berhak menerima ijazah pendidikan nasional dari pemerintah.
Pemerintah boleh mengadakan sekolah-sekolah sebanyak-banyaknya, begitu juga pihak swasta, tetapi tidak memaksa orang harus belajar melalui sekolah. Sekolah adalah suatu di antara banyak jalan untuk menambah ‘pengetahuan dan keahlian’. Sehingga program ‘wajib belajar’ yang sudah dicanangkan pemerintah mestinya tidak diartikan sebagai program membelajarkan masyarakt dalam beberapa mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional dan sama sekali bukan ‘wajib sekolah’.
Bagi yang mau belajar lewat jalur sekolah atau bagi yang mau belajar lewat jalur non-sekolah, di mata pemerintah harus sama. Tekanan perhatian harus pada kata ‘belajar’ dan dalam hal inilah pemerintah wajib memberi dukungan baik administratif, finansial dan lain-lain. Antara sekolah dan ─katakanlah misalnya─ kelompok belajar dengan metode belajarnya sendiri, musti sama dalam pandangan pemerintah. Yang penting kelompok-kelompok belajar tersebut tidak melanggar aturan-aturan dasar dan ideologi pancasila.
Sarat Beban
Pendidikan konvensional mungkin saja keberatan dengan gagasan ‘menambah pengetahuan dan keahlian’ sebagai substansi pendidikan yang bisa diraih di luar bangku sekolah. Pertanyaan mereka adalah: mana pendidikan sikap dan perilaku. Anak-anak, dalam pandangan mereka, harus diajar bersikap dan berperilaku yang baik melalui sekolah. Padahal, seperti telah dilakukan selama ini di sekolah-sekolah, hasilnya persis seperti daikatakan Haidar Bagir: negatif. “Saya kira semua orang akan sepakat bahwa jawabannya negatif, dilihat dari segi akademik maupun karakter (akhlak). Juga, dalam hal inovasi, kreasi, tanggung jawab sosial, disiplin, dan hal-hal lain yang justeru merupakan tujuan puncak semua proses pendidikan” (Kompas, 16 Februari 2005)
Penjelasan atas permasalahan ini sebenarnya ada pada ‘titipan’ yang terlalu banyak dibawakan sekolah. Apa yang menurut kita baik, perlu, penting dalam hidup ini, semuanya diajarkan di sekolah kepada anak-anak. Tugas-tugas lembaga pendidikan lain, seperti keluarga dan lingkungan sosial anak-anak, sepertinya mau disita oleh sekolah. Tidak begitu jelas apa sesungguhnya alasan kita memberi begitu banyak tugas/beban kepada sekolah. Terkadang timbul perasaan negatif bahwa sekolah yang sarat beban ini dibuat lebih untuk menampung tenaga kerja. Itulah sebab mengapa semua hal mau diajarkan kepada anak-anak di sekolah. Akhirnya tidak ada pelajaran yang matang, dan anak-anak pun menjadi korban kamuflase.
Belakangan kita seperti kehilangan muka melihat mutu pendidikan di sekolah-sekolah negara tetangga. Kita lalu ingin mengajar. Tapi tanpa disadari kita terus menambah beban pelajaran anak-anak yang makin beranekaragam. Persoalan menjadi semakin kusut. Kinerja sekolah menjadi tidak fokus antara memperbaiki akhlak atau menambah pengetahuan untuk mengajar ketertinggalan dari negara tetangga. Masyarakat tidak tahu persis apa sebetulnya rencana yang guru/sekolah mau capai dengan pelajaran yang diberikannya kepada anak-anak.
Di sinilah pentingnya standar-mutu yang harus dibuat oleh pemerintah. Apa yang mau dicapai dari sesuatu pelajaran yang akan diuji secara nasional, misalnya, jelas parameternya. Dengan begini masyarakat tahu dan boleh, kalau bisa, membantu anak-anak belajar. Bahkan kalau dirasa tidak perlu pergi sekolah, anak-anak boleh belajar di luar sekolah saja pada kelompok-kelompok belajar. Sekolah menjadi alternatif, bukan satu-satunya tempat beljar yang harus dilalui setiap anak. Yang penting hasil belajarnya dinilai, dihargai dengan ijazah yang diperoleh melalui ujian nasional. Diharapkan, melalui cara belajar seperti ini, beban anak-anak bisa dikurangi dan mereka tidak perlu kehilangan banyak waktu untuk sesuatu yang seremonial dan rutinitas belaka.

Catatan: Tulisan ini merupakan tulisan lama yang belum pernah diterbitkan. Namun sisinya, saya kira, masih relevan dengan keadaan sekarang.

14 Januari 2011

Masalah Penegakan Hukum: ANTARA CONCERN DAN RESISTENSI

MASALAH PENEGAKAN HUKUM: ANTARA CONCERN DAN RESISTENSI¨

Oleh: Fikarwin Zuska

Ada satu pertanyaan yang belum pernah bisa tuntas dijawab oleh kita bangsa Indonesia si penganut faham unifikasi hukum ini sejak lama sekali. Pertanyaan itu ialah mengapa hukum yang kita maksudkan, yaitu hukum negara, sulit sekali menegakkannya di dalam kehidupan masyarakat?

Di mana-mana kita kita selalu sering melihat, mendengar dan membaca berita tentang keetidakberhasilan aparat negara menegakkan hukum negara secara konsisten dan merata di segala lapisan masyarakat. Tulisan ini ingin coba jawab pertanyaan itu dari perspektif pluralism hukum. Tapi sebelumnya kita ulas sedikit jawaban-jawaban yang sudah ada atas pertanyaan itu.

Tidak Concern

Jawaban kita selama ini atas pertanyaan dimaksud adalah karena orang-orang yang ditugasi untuk menegakkan hukum negara tidak bias dipercaya kemampuannya, kredibilitasnya, dan juga integritas serta dedikasinya terhadap bangsa dan negara. Jawaban ini mempunyai spektrum sangat luas, dan apabila dikaji lebih dalam maka kita akan bertemu dengan bermacam-macam fakta.

Misalnya, beberapa waktu yang lalu sebuah media nasional secara khusus menurunkan tulisan perihal gaji para penegak hukum yang sangat rendah (terutama hakim); jauh timpang dengan penghasilan para pengacara yang sangat mencengangkan. Di lain pihak, lanjut tulisan itu, pendidikan para penuntut umum (jaksa) dan hakim dibandingkan pendidikan para pengacara juga demikian. Hakim lebih rendah pendidikannya. Bahkan katanya, pendidikan khusus menjadi hakim pun belum pernah ada di negeri ini. Semua hal ini menyebabkan hukum negara sulit bisa ditegakkan.

Penjelasan ini masih bisa diperluas lagi pada kemungkinan adanya usaha dari para penegak hukum kita untuk mengembalikan biaya atau perongkosan yang pernah mereka keluarkan waktu mau diangkat menjadi penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan status pegawai negeri atau penegak hukum, dulu --mudah-mudahan sekarang tidak--- sebahagian orang perlu mengeluarkan ‘uang pelican’ yang jumlahnya bisa sebesar beberapa puluh kali gaji.

Seorang ayah di sebuah desa pernah menyatakan dirinya terpaksa jual sawah untuk ‘biaya’ putra sulungnya masuk (menjadi pegawai) sebuah istansi penegak hukum. Kini, kata sang ayah, ia meminta putranya itu untuk membiayai sekolah adik-adiknya --sebagai kompensasi-- akibat terjualnya sawah gantungan keluarga karena kepentingan dia. Sebagai putra yang baik harapan orang tua dan saudara-saudaranya, si putra saban bulan harus mengirim sejumlah uang untuk menyekolahkan adik-adiknya.

Bahkan kata si ayah, si putra dengan cepat bisa membelikan ayahnya kebun sebagai pengganti sawahnya yang lenyap dulu. Jadi dalam kasus ini hukum negara tidak bisa tegak karena concern petugas bukan pada penegakan hukum tetapi mengembalikan investasi dan mencari untung.

Kalaulah kasus seperti ini banyak jumlahnya, bagaimana si penegak hukum kita bisa berbuat lurus dalam tugas? Sejak dari awal dia sudah dicaatut oleh orang-orang yang mungkin menjadi atasannya; yaitu orang yang senantiasa melakukan WASKAT atas dirinya. Kemudian ia juga harus mengangkat kembali ‘batang terendam’ dari ayah yang memberinya ongkos masuk kerja. Gaji tidak akan cukup untuk memenuhi semua itu. Putra harus bermain agar pendapatan di luar gaji bisa untuk memulangkan semua yang terutang. Belum lagi aspirasi si si putra sendiri, yang tentu lebih meningkat, setidaknya untuk isteri dan anaknya agar bisa mengikuti perkembangan zaman.

Resistensi

Jawaban kedua, berkenaan dengan pertanyaan tak bisa ditegakkannya hukum negara, adalah perihal resistensi dari sistem-sistem hukum yang lain. Meski secara resmi negara kita menganut faham unifikasi hukum namun realitasnya adalah pluralism hukum. Tidak hanya satu sistem hukum yang bekerja mengatur aktivitas dan hubungan-hubungan manusia di masyarakat. Kenyataan menunjukkan di samping hukum negara, terdapat juga hukum-hukum lain seperti hukum adat, hukum agama, dan juga hukum internasional.

Bahkan menurut ahli antropologi hukum Frans & Keebet von Benda-Bechmann (2001), ada lagi sistem hukum yang disebutnya hukum hybrid law (hukum himbrida) dan juga hukum yang disebutnya unnamedlaw (hukum tak bernama). Hukum-hukum ini sama-sama bekerja (koeksisten) mengatur aktivitas dan hubungan-hubungan manusia, sehingga terjadilah forum shopping dan shopping forum.

Istilah ‘dame-dame’ yang kita kenal dalam rangka penyelesaian suatu persoalan hukum di masyarakat kita misalnya, adalah contoh dari hukum hybrid atau unnamed law tadi. Hukum-hukum ini menjadi pesaing hukum negara. Orang diharapkan untuk memilih (shopping), misalnya dalam kasus razia di jalan raya, apakah mau memakai hukum negara atau atau ‘dame-dame’. Petugas sering tawarkan pilihan itu, baik secara terang-terangan atau terselubung.

Biasanya, kalau kita mau cepat, kita akan pilih ‘dame-dame’ dengan konsekwensi kita member uang sebesar atau kurang sedikit dari jumlah denda tilang resmi kepada petugas. Sebagian orang mungkin ‘ngomel’ diperlakukan dengan cara seperti ini, tapi sebagian lagi maklum saja. Supir kendaraan umum atau pebisnis biasanya lebih suka pilih ‘dame-dame’. Pertimbangannya adalah cepat tuntas, tidak berlama-lama tempuh prosedur dan lagi pula belum tentu akan adil kalau dibawa ke pengadilan. Tidak jarang orang merasa mekanisme ‘dame-dame’ ini lebih adil, sehingga tak heran bila Marc Galanter (1993), seorang ahli antropologi hukum, mengatakan keadilan ada di berbagai ruang: “Keadilan tidak hanya ada di pengadilan”, kata Galanter menegaskan.

Fenomena hukum hybrid atau unnamed law ini mencerminkan tidak berjalannya hukum negara secara penuh. Hanya sebagian dari hukum negara dipakai, yaitu diakuinya petugas berhak merazia para pengendara, dan pengendara menghadapi petugas perazia yang dilengkapi atribut resmi itu (beberapa saat) secara formal. Selebihnya akan berlangsung dengan tatacara non-formal atau bahkan informal. Inilah yang dikatakan Moore (1993) bahwa di dalam kenyataan hukum negara itu hanya sebagai kerangka hubungan atau latarbelakang. Isi dari kerangka itu diatur dengan aturan-aturan yang berasal dari aturan-aturan non-legal atau bahkan illegal. Moore mengungkapkan gejala semacam ini justeru terjadi di kota New York saat ia mengkaji bidang social semi otonom pada salah satu industri pakaian gaun di sana.

Berbeda dari hubungan antara hukum hybrid dan hukum negara, maka hubungan hukum negara dan hukum adat serta hukum agama justeru lebih jelas cirri resistensinya. Sebagai contoh kita ambil saja contoh dalam bidang hak kepemilikan atas sumberdaya alam hutan. Antara hutan dan manusia, dalam hukum adat telah diatur hubungannya. Kemudian setelah lahir negara, hubungan yang sama diatur lagi. Negara mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandug di dalamnya dikuasai oleh negara dan dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejak itu lahirlah Undang-Undang Pokok Kehutanan yang lebih rinci mengatur hubungan manusia dengan hutan. Tanpa manusia sekitar hutan (kalangan adat) tahu rencana pengundangannya, negara diam-diam memberangus konstruksi adat tentang hubunganmanusia dan hutan melalui Undang-Undang.

Konflik tak dapat dihindari ketika undang-undang diterapkan. Walau lembaga atau organisasi-organisasi adat sudah dititadakan dan diganti dengan desa, namun adat ¾sebagai hukum¾ tidak bisa begitu mudah dihilangkan. Ia hidup dalam batin masyarakat yang mendukungnya. Ia muncul dan bekerja kapan pun diperlukan, sementara undang-undang negara tidak pernah membatin di sanubari kelompok masyarakat tersebut. Konsekwensi dari pemaksaan dan sebaliknya perlawanan dari hukum adat, maka sekarang kita bisa saksikan hutan-hutan kita hancur berantakan seperti barang yang tidak bertuan. Tidak rakyat, tidak HPH, dan tidak aparat, semuanya bermain menghancurkan hutan untuk kepentingan pribadi.

Baru saja sebuah media local memberitakan satu bentuk hukum hybrid atau unnamed law yang sesungguhnya ikut memporak porandakan hutan di Tapteng, yaitu “stabil”. Entah dari mana istilah stabil ini berasal ¾sebab di daerah Tapsel juga ada istilah ini digunakan untuk maksud yang sama¾ yakni praktik suap yang dilakukan oleh pengusaha pencuri kayu kepada segenap aparat terkait di Tapteng agar pencuriannya sukses. Permainan ini, menurut penulis, terjadi karena pengebirian hukum adat atas hutan oleh hukum negara. Rakyat tidak bisa mencegah karena takut dituduh main hakim sendiri.

Ketidakpastian

Sisi lain dari pluralisme hukum adalah keetidakpastian hukum akibat tidak jelasnya hukum mana yang harus diacu untuk menangani sesuatu persoalan. Ketidakjelasan ini membuka peluang orang untuk melakukan shopping. Indira Simbolon (1994) pernah menelaah persoalan Inti Indorayon dari sudut penggunaan acuan hukum untuk mendapatkan sukses. Simbolon menyebutkan suatu saat Inti Indorayon Utama (IIU) gunakan hukum adat untuk dapatkan tanah dan menagkis serangan perempuan, maka di saat lain mereka gunakan hukum negara untuk mempertahankan tanahnya.

Dalam kasus perambahan Suaka Marga Satwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, ketidakpastian hukum juga terjadi. Ada kebingungan pada sementara pejabat untuk menindak perambah kerena kenyataannya perambahan itu didukung oleh Kepala Desa untuk kepentingan warganya. Semua sistem hukum tampaknya dimungkin penggunaannya, sehingga tidak dapat dihendari terjadinya konflik. Petugas tidak bisa konsisten mengacu hanya pada satu sistem hukum saja, walaupun kekonsistenan itu selalu disebutkan dalam retorika. Tidak mudah melenyapkan hukum-hukum lain selain hukum negara karena hukum hukum-hukum lain itu juga berfungsi mengatur kehidupan manusia dan bahkan akarnya ada di masyarakat.

Melihat kompleksnya persoalan dalam penegakan hukum di masyarakat ini tampaknya kita perlu membangun suatu pemahaman bahwa ketidakpastian adalah hakekat dari kehidupan bermasyarakat. Meski kita selalu berusaha menuju suatu kepastian, namun ketidakpastianlah yang akan selalu kita dapatkan. Ketidakpastian ini tampaknya lebih dapat dikelaola di dalam kesatuan-kesatuan sosial yang lebih kecil. Dalam kesatuan-kesatuan yang besar, ketidakpastian akan bertambah besar dan makin sulit mengelolanya. Ini terjadi karena ragam hukum yang ada dalam satu kesatuan yang besar lebih banyak sedangkan dalam kestuan yang kecil ragam huku itu lebih sedikit.

Tapi akhir-akhir ini bidang-bidang sosial yang kecil, seumpama hubungan antara suami dan isteri, pun sudah dimasuki oleh banyak sekali hukum. Hubungan suami isteri saat ini dimasuki oleh negara; diatur bila dan berap sebaiknya anak buah kasih mereka.

Begitu juga konvensi-konvensi internasional, juga masuk di wilayh ini dan membawa misi menghapus kekerasan dengan usulan mengadakan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semoga UU itu nanti tidak seperti UU kehutanan melabrak hukum adat dan agama yang sudah lebih dahulu mengatur hubungan suami isteri. Dan yang penting juga penegak hukum bisa melaksanakan undang-undang ini tanpa distorsi.


¨ Tulisan ini pernah dimuat di Harian Realitas, 14 Mei 2002, halaman 4. Nampaknya isi tulisan ini masih tetap relevan dengan situasi hari ini; situasi di mana kita menyaksikan kasus Gayus keluar masuk rumah tahanan, kasus Kasiyem (joki narapidana), dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.