17 Januari 2011

KOK HANYA SEKOLAH
Oleh: Fikarwin Zuska
Dalam keadaan di mana kepercayaan antar sesama kita dalam masyarakat (social trust) sudah begitu rendah (Kompas, 5 Februari 2005), maka sulit rasanya untuk mulai dapat melangkah maju bangkit dari keterpurukan. Prasangka negatip terhadap sesama mendominasi pikiran kita. Kita pun disibuki oleh pertengkaran yang tak habis-habisnya sementara ‘tetangga’ terus bergerak maju. Itulah juga yang terjadi pada dunia pendidikan dewasa kita ini. Kita berdebat soal kebijakan Depdiknas mengadakan Ujian Nasional sehingga kita lupa pada substansi pendidikan itu sendiri.
Substansi Pendidikan
Substansi pendidikan yang diakui oleh hampir semua ahli pendidikan adalah belajar. Belajar (learning), secara kamus, adalah ‘the act, processes, or experiences of gaining knowlodge or skill’. Sepanjang otak (brain) manusia tidak terhalang menjalani proses ‘pengisiannya’ secara normal, maka belajar akan terus berlangsung; di manapun dan kapanpun. Baik di sekolah maupun di luar sekolah intinya sama saja. Yang penting menambah pengetahuan atau keahlian.
Yang jadi persoalan sekarang adalah kenyataan bahwa hanya sekolah dianggap satu-satunya tempat belajar yang paling baik. Semua orang berlomba-lomba ingin masuk atau memasukkan anaknya ke sekolah. Sekolah menjadi barang mahal sehingga banyak anak miskin drop-out lantaran kurang biaya. Sekolah menjadi barang langka sehingga tiap tahun terjadi rebut-rebutan: ada yang tersisih dan ada yang berhasil. Sekolah menjadi komoditi sehingga banyak orang kaya berinvestasi mendirikan ‘perusahaan’ sekolah. Sekolah menjadi faktor ketidaksamaan sosial (social inequlity factor), sehingga terjadi pembelahan sosial ke dalam dua kategori sosial ‘orang sekolahan’ dan ‘orang tak bersekolah’; yang satu dianggap lebih tinggi daripada yang lain. Anggapan ini selanjutnya dimantapkan pelbagai lembaga di masyarakat. Satu yang terpenting adalah dalam hal mencari dan menerima tenaga kerja: ijazah menjadi prasyarat.
Mengapa kita jadi begitu menggantungkan pendidikan (belajar) anak-anak pada sistem sekolah sementara di luar sekolah juga ada atau bisa dicipta suatu tempat belajar? Bukankah sudah cukup banyak bukti bahwa hasil belajar di luar sekolah pun sebenarnya bisa melebihi hasil bellajar di sekolah? Yang penting sekarang bagaimana pemerintah bisa berbuat adil terhadap semua lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Caranya cukup mudah: pertama, pemerintah menetapkan tolok-ukur kemampuan dalam mata pelajaran yang harus dimiliki sebelum seseorang mendapatkan ijazah setingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat Pertama dan Atas. Tolok ukur ini disebarluaskan kepada masyarakat sehingga semua tahu apa yang harus dikuasai sebelum seseorang memegang ijazah tertentu. Dengan begitu maka tidak ada lagi warga yang takut membiarkan anak-anaknya belajar di luar sekolah saja; tidak merasa terpaksa harus mengantar anak-anaknya belajar ke sekolah.
Kedua, pemerintah wajib mengeluarkan ijazah nasional melalui proses Ujian Nasional dalam mata-mata pelajaran yang telah ditetapkan tadi. Semua orang diberi hak ikut Ujian Nasional, dari mana pun tempat asalnya belajar tanpa embel-embel seperti ‘ujian persamaan’ yang menimbulkan kesan inferior. Kepada mereka yang lulus Ujian Nasional diberi hak menerima ijazah nasional yang di keluarkan pemerintah. Dan orang tahu apa kualifikasi minimal yang dimiliki oleh setiap pemegang ijazah karena apa yang dijadikan tolok-ukur kelulusannya dalam ujian sudah jelas.


Ketiga, pemerintah tidak perlu mengatur dan mengarahkan ke mana orang harus pergi belajar; siapa yang mengajar, apa pakaiannya, dan apa buku, pengarang, serta penerbitnya. Pemerintah cukup menentukan standar kualifikasi yang harus dimiliki sebelum seseorang boleh memegang suatu ijazah dari jenjang tertentu. Bagaimana mencapai standar kualifikasi tersebut, itu tergantung pada kretivitas dan kemampuan guru mengajar dan mencari bahan ajar.
Akses tertutup
Kebijakan pendidikan nasional serupa ini sudah patut diterapkan mengingat kesadaran untuk ‘menambah pengetahuan dan keahlian’ di masyarakat sudah cukup luas. Kebanyakan orang tidak bersekolah atau putus sekolah dewasa ini bukanlah karena tidak ingin belajar atau menolak ilmu barat. Mereka tidak bersekolah umumnya karena akses mereka ke sekolah tertutup: kurang biaya, jauh dari atau tidak ada sekolah yang dekat, serta terlanjur kerja membantu orang tua. Ini tidak berarti mereka yang tak sekolah itu tidak belajar. Secara substantif mereka tetap belajar walaupun tidak sekolah. Cuma pemerintah selama ini tidak mengakui hasil belajar mereka kecuali mereka bersedia mengikuti ujian persamaan untuk mendapatkan ijazah ‘kelas kambing’.
Diskriminasi sosial akibat pengalaman sekolah akan menghilang dan berganti menjadi kompetisi sosial dalam penguasaan atas pengetahuan dan keahlian. Orang tidak lagi menanyakan sekolah atau tidak, tapi menanyakan ‘anda tahu dan biasa apa’. Standar kualifikasinya jelas. SD apa, SMP apa dan SMA apa. Dari mana orang mendapatkan pengetahuan dan keahliannya (belajar), serta berapa lama waktu mendapatkannya, menjadi tidak signifikan. Berbeda dengan sekarang, orang lebih terpukau oleh tempurung ketimbang isi. Dan ini merupakan masalah struktural yang terjadi karena pemerintah tidak menghargai orang dari hasil belajarnya melainkan dari tempatnya belajar. Hal yang sama diikuti oleh lembaga-lembaga pencari dan dari tempatnya belajar. Hal yang sama diikuti oleh lembaga-lembaga pencari dan penyedia lapangan kerja yang membuat prasyarat pelamar ada pemgalaman sekolah.
Pembelaan pemerintah kepada sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar menutup kemungkinan orang-orang ‘terpelajar’ untuk mengajar. Mereka harus mendaftar dan diterima dulu sebagai tenaga pengajar di suatu sekolah baru diakui mengajar. Banyak orang ‘terpelajar’ bisa dan mampu mengajar pengetahuan dan keahlian untuk tingkat SMP atau SMA misalnya, tetapi tidak melakukannya, karena mereka bukan guru sekolah, di samping itu apa yang mereka ajarkan ─kalau kebetulan mau─ diangap kurang dianggap kurang berarti dan tidak mendapat penghargaan dari pemerintah dibanding apa yang diajarkan oleh guru di sekolah. Pengetahuan yang diberi guru di sekolah termasuk cara-caranya memberi pelajaran dianggap lebih benar. Otoritas formal dalam belajar, tampaknya, menjadi kunci dan bukanlah kebenaran. Sebab itu tidak mengherankan bila seorang anak yang ibunya kerja di kantor menolak pendapat ayahnya setelah gurunya memberi tahu jawaban yang benar adalah (a) dari soal pilihan berganda “ibu bekerja di: a) rumah; b) kantor; c) pabrik”.
Pembagian kerja struktural seperti ‘belajar di sekolah’ dan ‘bekerja di kantor’, membuat percuma arti dari ‘mengajar’ di luar sekolah. Kita buang begitu banyak energi dan sumberdaya untuk mengajar di luar sekolah tapi tidak berarti hanya karena soal formalitas. Dan kita beli segengam formalitas hanya untuk memberi tahu anak pengetahuan dan keahlian yang mestinya sudah bisa diperoleh melalui belajar di luar sekolah. Akhirnya semua orang yang punya perhatian dan keahlian dalam pendidikan, persis seperti yang terjadi dewasa ini, hanya memusatkan perhatian pada sekolah. Keterbatasan sekolah menampung partisipasi banyak orang membuat mereka yang ada ‘di luar gelanggang’ hanya menjadi pengamat dan tidak bisa menjadi ‘pemain’. Situasi inilah yang sedikit-banyaknya membuat penyelenggaraan sekolah menjadi kebanjiran wacana dan usul. Semua pengetahuan, dengan argumen masing-masing, penting dipelajari di sekolah lalu dipadatkan dan dijejalkan kepada anak-anak. Seiring itu lapangan kerja terbuka, tenaga pengajar direkrut guna mengurangi pengangguran.
Mencegah dan mengatasi kepadatan usul atau wacana itu, pemerintah perlu membuka keran dan mengadakan kebijakan pendidikan nasional tanpa bertumpu hanya pada wadah sekolah. Pemerintah harus mengembalikan pendidikan kepada substansinya, yaitu belajar, tanpa mengaitkannya pada wadah apalagi hanya pada sekolah. Dalam keterbukaan gelanggang belajar seperti itu orang terpelajar bisa berpartisipasi dan berkompetensi meraih keunggulan dalam melakukan transfer pengetahuan dan keahlian kepada anak didik masing-masing. Tugas pemerintah dalam hal ini hanya mengadakan ujian nasional untuk menjaga standar-mutu yang ditetapkan, dan diuji melalui ujian nasional, maka yang bersangkutan berhak menerima ijazah pendidikan nasional dari pemerintah.
Pemerintah boleh mengadakan sekolah-sekolah sebanyak-banyaknya, begitu juga pihak swasta, tetapi tidak memaksa orang harus belajar melalui sekolah. Sekolah adalah suatu di antara banyak jalan untuk menambah ‘pengetahuan dan keahlian’. Sehingga program ‘wajib belajar’ yang sudah dicanangkan pemerintah mestinya tidak diartikan sebagai program membelajarkan masyarakt dalam beberapa mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional dan sama sekali bukan ‘wajib sekolah’.
Bagi yang mau belajar lewat jalur sekolah atau bagi yang mau belajar lewat jalur non-sekolah, di mata pemerintah harus sama. Tekanan perhatian harus pada kata ‘belajar’ dan dalam hal inilah pemerintah wajib memberi dukungan baik administratif, finansial dan lain-lain. Antara sekolah dan ─katakanlah misalnya─ kelompok belajar dengan metode belajarnya sendiri, musti sama dalam pandangan pemerintah. Yang penting kelompok-kelompok belajar tersebut tidak melanggar aturan-aturan dasar dan ideologi pancasila.
Sarat Beban
Pendidikan konvensional mungkin saja keberatan dengan gagasan ‘menambah pengetahuan dan keahlian’ sebagai substansi pendidikan yang bisa diraih di luar bangku sekolah. Pertanyaan mereka adalah: mana pendidikan sikap dan perilaku. Anak-anak, dalam pandangan mereka, harus diajar bersikap dan berperilaku yang baik melalui sekolah. Padahal, seperti telah dilakukan selama ini di sekolah-sekolah, hasilnya persis seperti daikatakan Haidar Bagir: negatif. “Saya kira semua orang akan sepakat bahwa jawabannya negatif, dilihat dari segi akademik maupun karakter (akhlak). Juga, dalam hal inovasi, kreasi, tanggung jawab sosial, disiplin, dan hal-hal lain yang justeru merupakan tujuan puncak semua proses pendidikan” (Kompas, 16 Februari 2005)
Penjelasan atas permasalahan ini sebenarnya ada pada ‘titipan’ yang terlalu banyak dibawakan sekolah. Apa yang menurut kita baik, perlu, penting dalam hidup ini, semuanya diajarkan di sekolah kepada anak-anak. Tugas-tugas lembaga pendidikan lain, seperti keluarga dan lingkungan sosial anak-anak, sepertinya mau disita oleh sekolah. Tidak begitu jelas apa sesungguhnya alasan kita memberi begitu banyak tugas/beban kepada sekolah. Terkadang timbul perasaan negatif bahwa sekolah yang sarat beban ini dibuat lebih untuk menampung tenaga kerja. Itulah sebab mengapa semua hal mau diajarkan kepada anak-anak di sekolah. Akhirnya tidak ada pelajaran yang matang, dan anak-anak pun menjadi korban kamuflase.
Belakangan kita seperti kehilangan muka melihat mutu pendidikan di sekolah-sekolah negara tetangga. Kita lalu ingin mengajar. Tapi tanpa disadari kita terus menambah beban pelajaran anak-anak yang makin beranekaragam. Persoalan menjadi semakin kusut. Kinerja sekolah menjadi tidak fokus antara memperbaiki akhlak atau menambah pengetahuan untuk mengajar ketertinggalan dari negara tetangga. Masyarakat tidak tahu persis apa sebetulnya rencana yang guru/sekolah mau capai dengan pelajaran yang diberikannya kepada anak-anak.
Di sinilah pentingnya standar-mutu yang harus dibuat oleh pemerintah. Apa yang mau dicapai dari sesuatu pelajaran yang akan diuji secara nasional, misalnya, jelas parameternya. Dengan begini masyarakat tahu dan boleh, kalau bisa, membantu anak-anak belajar. Bahkan kalau dirasa tidak perlu pergi sekolah, anak-anak boleh belajar di luar sekolah saja pada kelompok-kelompok belajar. Sekolah menjadi alternatif, bukan satu-satunya tempat beljar yang harus dilalui setiap anak. Yang penting hasil belajarnya dinilai, dihargai dengan ijazah yang diperoleh melalui ujian nasional. Diharapkan, melalui cara belajar seperti ini, beban anak-anak bisa dikurangi dan mereka tidak perlu kehilangan banyak waktu untuk sesuatu yang seremonial dan rutinitas belaka.

Catatan: Tulisan ini merupakan tulisan lama yang belum pernah diterbitkan. Namun sisinya, saya kira, masih relevan dengan keadaan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar