BUANG AIR BESAR
SEMBARANGAN
Oleh: Fikarwin Zuska
Kebetulan saja malam ini, tanpa
disengaja, aku membuka sebuah link yang ternyata sudah cukup lama kuarsipkan di
Blog-ku. Judulnya “Warga Lereng Merapi Berjanji Tidak Berak Sembarangan”
(Kompas.com, Kamis, 2 Januari 2014 | 18:19 WIB). Tindakanku menyimpan berita
macam ini tentu tidak acak; pasti ada kepentingan atau ketertarikanku padanya.
Namun karena lama tak kusadari, maka malam ini aku kaget. Aku kaget karena
sejak beberapa bulan terkahir ini aku sebenarnya tengah membimbing 2 orang
mahasiswa membuat tugas akhir dengan topik seputar buang air besar sembarangan.
Yang satu di sebuah desa di Tapanuli Selatan, dan yang satu lagi di sebuah desa
di Kabupaten Dairi. Keduanya di Provinsi Sumatera Utara. Yang satu menggunakan
metode survey, yang lainnya menggunakan metode kualitatif. Kebetulan, dua-duanya
belum selesai; meski yang satu tinggal menunggu ujian akhir. Hasilnya, tentu,
nanti akan dimuat oleh penelitinya sendiri di jurnal agar dapat dibaca oleh
banyak orang (khalayak).
Tanpa kusadari
hidup di dalam benakku sebuah anggapan yang ternyata sangat bias. Pikirku, yang
namanya Buang Air Besar Sembarangan (BABS), itu monopoli orang-orang di
Sumatera saja. Pengalaman dari lahir, hidup dan besar di Sumatera, mungkin,
membuatku berpikir demikian. Tak terpikir olehku penduduk desa di Jawa, seperti
termuat dalam berita di atas, masih berbuat demikian: meluncurkan tinjanya di
alam terbuka. Ternyata, aku salah besar. Dan oleh sebab itu kini aku mulai
curiga. Jangan-jangan penduduk di pulau lain, semisal Kalimantan, Sulawesi, dan
lain-lainnya, itu pun masih banyak berbuat begitu. Hanya aku harus terus
terang: aku tidak/belum memiliki informasi. Berbeda dengan keadaan di Sumatera.
Untuk Sumatera aku cukup yakin bisa memaparkan beberapa informasi. Memang
sebagian (mungkin) sudah basi alias kurang update. Tetapi tidak ada salahnya
―kalau nanti datanya basi― anggaplah itu sebagai data sejarah kelakuan BAB penduduk
di sebagian tempat dan era di Sumatera.
Tahun 1970-an, atau
lebih dini dari itu, di kampung tempatku dilahirkan ―Baleatu, namanya, di kota
kecil berhawa dingin Takengon, Aceh
Tengah― jarang kudapati rumah memiliki kakus. Kakus, saat itu, tidak termasuk
sebagai bagian integral dari sebuah rumah tinggal. Orang-orang dewasa, penghuni
rumah-rumah tinggal yang ukurannya tidak terlalu besar, itu umumnya buang hajat
di alam sekitar: sawah, ladang dan tanah lapang. Satu dua orang, sesekali, pergi
buang hajat ke Sungai Pesangan ―di situ ada WC milik Mersah Padang (untuk
laki-laki) dan Mersah Kelaping (untuk perempuan), masing-masing terdiri atas
beberapa kamar yang dibangun di atas sungai dengan disokong sejumlah tonggak
terbuat dari kayu atau tiang beton. Kebanyakan orang Baleatu, khususnya Baleatu
Ujung alias Baleatu Utara (nama formalnya), memanfaatkan lahan sawah di sekitar
untuk BAB. Buntul Temil ―sebuah tempat di mana terdapat sumber mata air―sangat
penting saat itu bagi kaum ibu Orang Baleatu. Selain menjadi tempat mereka mencuci
piring dan pakaian, tempat yang relatif agak terlindung dari pandangan mata itu
juga menjadi tempat mereka buang hajat.
Tidak usah
kuceritakan betapa harus hati-hatinya orang ―agar tidak menginjak kotoran
manusia dan lalu tergelincir― saat berjalan melalui pematang sawah, yang harus
dia lewati saat akan menuju ke atau kembali dari Kampung Tetunyung atau jalan Kebayakan (Dua di antara beberapa tempat terdekat yang berbatas dengan Kampung Baleatu).
Juga tidak usah pula kukatakan betapa
banyaknya lalat yang terbang akibat rumput-rumput terkibas kaki saat melintas,
dan bau menyengat hidung gara-gara kotoran setengah-kering terinjak orang lain
yang barusan melintas (Biasanya ia melap-lapkan telapak kaki atau sandalnya ke
rumput-rumput yang tumbuh di tepi pematang itu). Tetapi dalam lima sampai
sepuluh tahun kemudian (1980-an), sawah ladang di Baleatu beralih cepat menjadi
lahan bangunan. Di sekitar itu Pemerintah Daerah membangun Pasar Inpres,
membangun sekolah, membangun terminal, yang kemudian diikuti dengan pembangunan
ruko-ruko sebagai pertanda adanya perluasan kota. Pemandangan tahun 1970-an
betul-betul lenyap. Penduduk Baleatu pun beradaptasi mengubah pola BAB di alam
ke BAB di WC. Program pembagian jamban oleh pemerintah daerah saat itu, meski
tak semuanya terserap sebagaimana mestinya, ikut mempercepat perubahan laku
perbuatan sebagian penduduk Baleatu BAB sembarangan di alam.
Terinjak Pincang
Masih di sekitar
tahun 1970-an, saat aku pertama kali diajak ―entah pun juga barangkali mengikut
alias ngintil― Bapak bertugas ke
pesisir Aceh, di situlah pertama kali aku melihat pantai, dan laut dengan air
asin. Di kampungku hanya ada ‘Laut Tawar’, tak lain sebuah danau yang untuk
ukuran orang di kampungku dipandang sangat besar. Udara pantai yang panas,
membuat tubuhku sangat berkeringat, mataku silau akibat cahaya matahari menerpa
pasir pantai. Tapi gelombang laut yang menghempas pantai tiada henti, yang
belum pernah kulihat di kampungku, itu tak dapat menahan rasa inginku untuk
berlari mendekat. Kubiarkan kakiku diterpa ombak agar basah dan sedikit dingin.
Pasir-pasir kucoba-coba untuk dimainkan sampai akhirnya basah semua pakaian
yang kukenakan.
Beberapa peringatan
dari orang-orang dewasa yang menemani Bapak tidak terlalu kufahami saat itu. Salah
satunya, kata dia, “awas kaca lunak, kalau terinjak pincang!”. Tak dapat
kumaklumi kata-kata itu, sampai akhirnya benar kurasakan. Ternyata, orang-orang
sekitar pantai buang hajat di tepi laut. Sebelum gelombang-pasang menghanyutkan,
‘si kuning’ itu sempat mengering. Kalau terinjak kaki, langsung pincang karena dalamannya
yang masih basah membuat telapak kaki malas merapat ke tanah. Pada saat itu kotoran
manusia akibat BAB sembarangan di tepi pantai memang sangat banyak. Tak terpikir
olehku saat itu jika rumah-rumah penduduk di sekitar pantai tidak memiliki
jamban.
Shock
Tahun 1994 aku melakukan
penelitian di sebuah desa di kaki Hutan Damar di daerah Krui, Lampung Barat. Aku
tiba di desa itu senja hari. Tak ada seorang pun yang aku kenal. Begitu turun
dari kendaraan angkutan umum trip terakhir di rute itu, aku mencari rumah
Kepala Desa. Kutanya kepada orang-orang yang kutemui, lalu kuikuti arahannya,
hingga akhirnya aku menemukan rumah tersebut. Aku dipersilahkan naik ke rumah
panggung milik Pak Kades, yang saat itu ternyata ia sedang bersama dengan Pak
Sekdes dan salah seorang pengurus pemerintahan desa. Kunyatakan maksud dan
kedatanganku, serta kuutarakan dari mana asal kedatanganku. Muncul berbagai tanya-jawab,
termasuk ihwal tempat tinggalku selama di desa tersebut. Pak Haederus, nama
Kades itu, menyuruhku tinggal di rumah Pak Sekdes saja karena di rumah Sekdes
ada kamar kosong. Lebih dari itu bahwa di rumah pak Sekdes ada anak lajang yang
bisa menemaniku. Namanya Herri, kelas 2 Sekolah Menengah Atas.
Dengan senang hati arahan pak
Kades kuterima. Rasa was-was, takut bakal tak ada tempat tinggal, yang
bergelayut di benakku sejak kemarin,
terjawab sudah. Aku langsung dibawa oleh pak Sekdes ke rumahnya. Bapak bernama
Ali Bakri ini sangat baik, isteri dan anak-anaknya juga sangat ramah. Malam itu
juga aku diperkenalkan, dihidang makan, di bawah cahaya lampu minyak. Lepas makan
dan berbasa-basi sebentar aku dipersilahkan naik ke loteng, menuju kamar yang
akan kutempati berdua Herri. Lelah seharian membuatku cepat terlelap, dan
pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan keluar dari kamar. Kuperhatikan denyut
kehidupan desa dari jendela ruang tamu dengan leluasa: di depan rumah ada
sungai kecil (siring, kata orang
setempat); di seberangnya ada sawah yang terhampar luas, satu-dua rumah muncul
di tengah-tengahnya; dan jauh di ujung sana tampak hijauan yang menyejukkan mata
(itulah rupanya yang kemudian aku kenal sebagai kebun damar alias repong).
Sekitar pukul 07.00 Wib aku
mencoba turun melalui tangga yang terdapat di samping. Tangga rumah ini ada
belokan dan langsung ke luar (halaman) rumah. Sambil melihat ke sana ke mari,
pak Ali Bakri ―yang kemudian kusapa Udo (abang)― nongol dari pintu depan lantai
bawah rumah. Seperti bapak-bapak lainnya, dia mengenakan kain sarung. Sambil menyalakan
rokok masing-masing, kami bercakap-cakap. Belum ngopi, belum sarapan, kami
sembari berjalan perlahan bergerak ke arah rumah kades. Di bagian samping rumah
Kades kulihat sudah ada beberapa bapak-bapak, ngobrol sambil berdiri dengan
Kades. Kami datang dan ikut nimbrung bercerita. Aku tentu tidak tahu apa yang
mereka cakapkan. Aku hanya memperlihatkan sikap hormat saja, mendengarkan
percakapan di antara mereka.
Aku memperhatikan Sungai Way
Laai yang mengalir deras dengan riam serta batu-batu yang cukup besar. Kudengarkan
gemercik air sungai yang sendu. Asalnya tak jauh dari tempat kami berdiri. Bahkan,
ada satu anak sungai ―siring kata
orang sana― yang letaknya lebih dekat lagi dengan tempat kami berdiri pagi itu.
Itu pun mengeluarkan bunyi gemerincing yang menghadirkan haru. Tapi yang kemudian
membuatku terbelalak di situ ada titi kayu buat melintas ke areal kebun damar (repong). Ibu-ibu yang akan pergi ke
ladang, banyak lewat dari titi itu. Setiap yang lewat selalu disapa atau
menyapa bapak-bapak yang berdiri. Basa-basi menanyakan sesuatu. Termasuk ketika,
tiba-tiba, pak Kades mengangkat sarungnya, lalu jongkok di titi yang dilewati
itu, dan ternyata ia buang hajat di situ. Bapak-bapak yang lain, yang sedari
tadi bercerita dengannya, tidak bereaksi apa-apa. Mereka terus saja bercerita. Tidak
merasa ada sesuatu yang aneh. Bahkan pak Kades yang lagi buang hajat itu pun masih
saja sempat menyapa ibu-ibu yang lewat. Terus terang aku shock melihat adegan Pak Kades buang hajat di ruang umum seperti ini.
“Tidak sopan, tidak senonoh”, kataku dalam hati.
Ternyata yang aneh justeru aku. Buang
air besar di desa ini memang demikian caranya. Satu dan lain orang yang sedang buang
hajat di batu-batu di sungai, saling bercerita; ketawa dan bercakap-cakap. Yang
satu sedang buang hajat, yang lain tidak, itupun bisa saling bercakap-cakap. Tidak
ada yang salah dengan hal ini. Maka, waktu pertama kali aku melakukannya, meski
sempat ditunda-tunda, akupun merasa canggung. Aku harus memakai kain sarung
terlebih dahulu. Aku tidak boleh mengenakan jeans, atau celana pendek. Adegan jongkok
buang hajat tanpa mengenakan sarung bisa timbul aib. Sarunglah satut-satunya
pakaian yang paling fleksibel untuk keperluan begini. Untuk yang pertama
kulakukan, sarung milikku terpaksa basah kena air sungai. Masih untung kain
sarung tidak kena unsur yang lainnya.
Wajah Membiru
Setelah satu bulan aku berada di
desa, datang temanku seorang mahasiswi S1 yang juga masuk dalam rombongan
peneliti Antropologi Ekologi UI untuk memahami Pengelolaan Hutan Damar Krui. Sebelumnya
ia meneliti kegiatan prosessing damar mata kucing di gudang-gudang damar di Kota
Kecamatan, Krui. Sekarang giliran dia menelusuri proses produksi damar mulai
dari hulu (desa).
Tidak ada persoalan
pada awal dia tiba. Dia dengan senang hati tinggal di desa melakukan
penelitian. Persoalan muncul perlahan-lahan dalam dirinya, terutama ketika ia
harus BAB. Di mana ia akan melakukannya? Di rumah keluarga tempatnya tinggal, tidak
ada fasilitas WC. Warga rumah, seperti penduduk lainnya, melakukan BAB di
sungai. Itulah yang dia tidak bisa lakukan. Dia tidak mampu BAB di ruang
terbuka. “Malu, dilihat orang”, katanya. Akibatnya ia menahan sakit (kebelet) hingga
tiga hari. Dalam pandanganku, wajahnya sampai berwarna biru. Biru karena
menahan kebelet berlama-lama.
“Semua perempuan di desa ini BAB di pinggir sungai. Coba kamu pelajari
bagaimana mereka bisa seperti itu. Lalu coba kamu perhatikan, adakah orang ―baik
laki-laki atau perempuan― yang dengan sengaja melihat-lihat orang lain sedang
BAB?”, terangku padanya. “Tidak, kan?
Tidak!”, kataku berulang-ulang untuk meyakinkannya. Akhirnya, dia
memberanikan diri. Diam-diam ia mengikuti cara-cara orang setempat BAB di
sungai. “Pakai kain sarung. Itu kuncinya”,
kataku. “Aduh, akhirnya berakhir juga penderitaan ini”, katanya melaporkan ‘prestasinya’
kepadaku. “Orang sini tidak melihat aneh
orang BAB di sungai”, tambahnya. Sejak itu, normalitas kehidupannya mulai
berjalan. Dengan normalitas itu dia dapat melanjutkan penelitiannya.
Penutup
Persoalan yang sempat teramati olehku
sejak 1970-an, itu ternyata belum rampung hingga kini di seluruh negeri. Paling
tidak seperti yang sedang dan akan ditulis oleh 2 orang mahasiswa yang sedang kubimbing
di atas. Tempat kasusnya memang di pedesaan sehingga orang yang membaca
hasilnya nanti, terkhusus yang membaca sepintas, mungkin akan berkata: “di
kampung kayak gitu, ya biasa lah”. Ini sesungguhnya salah. Di salah satu sudut,
katakanlah pinggiran, Kota Medan, praktik buang air besar di sungai masih
berlangsung. Fany, bakas mahasiswaku, yang skripsinya aku bimbing mengenai program
sanitasi, menyebut pesismismenya setelah meneliti. Gab antara
masyarakat dengan inovator program masih ada; ketidaksesuaian teknologi dengan
lingkungan dan kebutuhan belum sesuai, ditambah pula proses sosialisasi dan
pendampingan yang kurang mendalam.
Sebagai orang yang meyakini
bekerjanya relasi-kekuasaan dalam segala kancah sosial, aku cukup yakin bila
pemerintah, dalam hal ini orang-orang (petugas) yang menjalankan fungsi
pemerintahan di lapangan, itu persisten dengan visi-misi pemerintahan, perubahan
perilaku BABS pasti bisa terjadi. Kampungku sudah tamat dengan masalah itu
sejak tahun 1980-an. Memang bukan hanya karena pemerintah, tapi ke-agency-an anggota masyarakat dalam
memodernisir diri ―terutama melalui pendidikan sekolah sebelum dekade itu― pun
sangat menentukan.