29 Mei 2011

BUS MEDAN TANAH KARO 1

Kalau pekara pemandangan, itu sudah biasa. Cantik. Yang menarik justeru peristiwa-peristiwa rutin yang terjadi dalam bus. Begitu masuk bus, kita disambut oleh lagu-lagu Karo. Sound systemnya bagus. Berbunyi terus sepanjang perjalanan. Sesewaktu cassete/cd-nya ditukar oleh supir. Tangan kiri menjamah tape/cd player yang terletak di sebuah kotak berkunci; persis di atas kepala sang supir. Tangan kanannya memutar stir, dengan rokok terselip di bibir. Jalan berliku-liku tidak jadi soal. Bahkan masih sempat Ia bersapaan dengan bus sejenis dari arah berlawanan. Bunyi klaksonnya khas: tet tot tet tet....berulang-ulang. Ada yang mau menambahkan.......? Plisss

Selain lagu-lagu Karo, asap rokok dalam bus juga lumayan banyak menemani keberadaan kita. Para perokok tidak ragu2 sedikitpun menyulut rokok dan memuntahkan asapnya ke langit-langit bus. Rengek anak-anak yang minta nenen ke ibunya, serta para perempuan yang kurang suka rambutnya bau asap, tak jadi halangan buat perokok. Isyarat tak suka yang diekspresikan penumpang lain tak terbaca oleh perokok 'kakap' itu. Aroma rokoknya macam-macam. Selaku mantan perokok, saya tahu persis jenis tembakau yang diisapnya. Jarang sekali aroma yang saya sukai dulu.

Tetot tetot klierirk kliriik..bunyi klakson saat akan mendahului kendaraan yang ada di depannya. Bila kendaraan agak lama menepi, sang kernet yang selalu berjuntai di pintu tengah, mengeluarkan bunyi-bunyi dari mulutnya. Suitan mulutnya sangat kencang. Cuit cuit cuit......memberi peringatan sambil melongokkan kepala dari pintu. Ada kesan seperti mengintimidasi. Dan sebentar kemudian bus mendahului kendaraan di depannya. Para penumpang tidak tampak cemas atau takut. Atau mungkin karena sudah 'kenyang' berdoa. Penumpang percaya kepada supir. Sang supir pun bertambah gaya, apa lagi kalau yang duduk di sisinya seorang gadis. Gas pun semakin digeber, dan badannya seperti mengayun digerakkan ke kanan dan ke kiri.

Kalau di jalanan dalam kota ada privileges terhadap ambulan, atau sering juga terhadap kendaraan aparat (TNI/Kepolisian), maka hal serupa tampaknya 'diberikan' kepada bus-bus trayek Tanah Karo (Sinabung, Sutra, Aronta, Borneo, Murni dll.).Mereka bisa nyalip kendaraan2 lain yang lagi antri (macet). Yang lain-lain itu harus maklum. Suatu ketika ada macet panjang gara2 sebuah bus patah as belakang di Bandar Baru (Maklum kodisi jalanan saat ini banyak sekali yang rusak, misalnya setelah tanjakan curam Bandar baru). Dari arah berlawanan tidak ada kendaraan yang lewat. TIba2 saja bus yang saya tumpangi nyelonong curi jalan. Mausuk mendahului puluhan mobil yang antri sedari tadi. Tau2 di depan ada pengkolan di mana sebuah truk sedang kepayahan membelokkan kepalanya gara-gara jalan yang sempit. Mau gak mau bus saya harus minggir. Tetapi tidak dikasi tempat oleh sebuah minibus bertuliskan "samosir pribumi". Lalu kernetnya berteriak ke telinga supir minibus itu: "Tahan dulu, tahan dulu". Minibus tak juga memberi cealh. Kemudian diteriaki sekali lagi: Tahan! Tahan Dulu! Ini tanah Karo bung!", katanya. O begitu..... sekarang saya baru tahu alasan dari privileges tadi....hehehehe.

Tidak ada kata penuh. Tiap kali orang mau menumpang, bang supir dan kondektur selalu mengangkutnya. Gak bisa duduk, ya berdiri. Gak muat dalam bus, ya di atas atap bus. Anak-anak sekolah, terutama laki-laki, umumnya naik ke atas atap bus. Dari pakaiannya, mereka anak SMP dan SMA (Saya membayangkan anak saya yang SMP, pasti gagap kalau disuruh naik turun ke atas atap bus, apalagi tiap hari). Lepas dari bahayanya naik di atas bus, para pelajar sudah tentu tertolong oleh layanan tukang bus penumpang umum ini. Yang sayang pelajar putri. Mereka tidak bisa naik di atas atap bus. Pemerintah, menurut pikiran saya, perlu menyediakan bus anak sekolah di jalur ini. Operasinya cukup pada jam-jam pergi dan pulang sekolah. Bila bisa diberi gratis sangatlah mengesankan. Tapi kalau pun harus membayar, asal tidak mahal, layanan bus sekolah dari pemerintah daerah terkait (Tanah Karo dan Deli Serdang), itu bisa mencerminkan besarnya perhatian negara pada pendidikan anak negeri. Merekalah yang kelak akan jadi pemimpin, jadi jenderal, jadi bupati, walikota, dan ilmuan.

Hari ini saya bertemu pula satu kejadian yang tidak terbayangkan oleh anak2 orang kaya di kota. Seorang anak putri kelas dua SD, bersekolah di SD Alwashliyah Berastagi, naik dari Penatapen menuju Berastagi. Ia yang masih sangat imut itu dititipkan emaknya kepada kenek bus, dan kenek bus menggendongkannya naik ke dalam bus. Ia tidak duduk, hanya 'nyempil' di dekat bangku saya. Di tangannya tergenggam uang kertas 2000......nanti ia pulang sendiri lagi, tentu dengan bus yang lain........ah....apalah arti semua ini.....

Ini satu lagi: Minyak angin! Ya, minyak angin. Entah siapa yang mengajarkan, hingga begitu kuat tertanam di benak banyak orang, bahwa kalau naik bus harus membawa minyak angin. Disapukan ke kening, ke perut, dan ke hidung. Kalau tidak percaya boleh buktikan sendiri. Naiklah bus ke Tanah Karo. Kurang sempurna sebuah perjalanan ke Tanah Karo tanpa minyak angin. Cukup satu orang yang pakai, yang lain seisi bus pasti merasakan baunya. Bagi yang memakai, itu memang sudah sesuai 'pakem'. Tapi bagi yang tidak biasa, atau yang menganggap minyak angin adalah mitos 'obat pusing' dalam perjalanan, aroma minyak angin bisa membuat mual. Bagi saya bau minyak angin mengingatkan saya pada tahun 70-an, saat penumpang bus, disediakan satu atau dua kantong plastik untuk menampung 'bubur' hasil 'huakkkkkk huakkkkk' mereka yang mabuk.....haaaahhhh asyiknya. Tapi untung.....huak-huak di perjalanan sudah tidak musim. Musimnya sudah berlalu seiring dengan membaiknya fasilitas, dan frekwensi orang berlalu-lalang.

BUS MEDAN TANAH KARO 3

Seorang bapak yang ber-Pakaian Seragam Harian sebuah instansi pemerintah yang berkedudukan di Kabanjahe, yang duduk sebangku dengan saya, sudah lebih setahun belakangan ini lalu lalang Medan Kabanjahe. Pagi hari berangkat dari Medan ke Kabanjahe dan sore hari kembali lagi ke Medan. Semua jenis moda angkutan darat yang melayani jalur ini telah ia coba. "Semuanya ada kelebihan dan kekuarangan", ungkapnya. Tak diragukan lagi tentunya pengalaman hari-hari sang Bapak berada dalam bus yang berjalan di atas aspal yang katanya "sebentar diperbaiki, sebentar terkelupas".

Sarjana Pertanian jebolan IPB puluhan tahun silam, ini bercerita bahwa air adalah salah satu faktor paling jago membuat aspal terkelupas dan berlobang. "Air itu kalau terus-terusan menggenang di jalan, itu bisa mempercepat kerusakan jalan", terangnya. Padahal daerah tempat aspal rusak yang sedang kami bicarakan, itu merupakan daerah 'penghasil' air yang sangat banyak. Truk-truk tangki pengangkut air isi ulang ke Medan dan sekitarnya, yang kebanyakan namanya ke-Inggris-Ingrisan seperti "............ Water", dan "..........Water", itu semua mengambil air dari sini: Sembahe - Bandarbaru. Termasuk PDAM Tirtanadi; sumber airnya antara lain berasal dari kawasan ini.

Penglihatan sepintas saya dari dalam bus, air yang melimpah ruah, itu ke luar begitu saja dari selang-selang dan pipa-pipa yang dibuat sedemikian rupa agar bisa 'dikucurkan' langsung ke dalam truk tangki. Banyak air terbuang-buang, mengalir di permukaan tanah, dan melintasi jalan aspal. Begitu juga air dari selang-selang plastik yang disediakan oleh pengelola warung atau tempat parkir kendaraan truk atau mobil niaga lainnya, itu juga mengalir ke jalan. Sehabis disemprotkan ke kaca, bodi, atau bahkan ke roda kendaraan yang kotor atau yang panas tromolnya gara-gara kebanyakan nge-rem, itu semua mengalir ke tempat yang rendah melalui jalan-jalan aspal. Dalam hati saya bertanya, "kenapa air dibiarkan berjalan di jalan kendaraan? Enak aja ini air! Bagaimana nanti kalau kendaraan juga berjalan melalui saluran air?", bisik-bisik saya di dalam hati.

Pertanyaan itu tentu mudah menjawabnya. Jawabnya adalah ketiadaan parit. Atau kalau mau lebih gagah, sistem drainase jalan tidak berfungsi. Tidak susah membuktikan ini. Di banyak titik kita bisa lihat, parit kering tetapi jalan aspal berair.

Karingnya parit jalan tentu tidak salah, karena sebagian hanya dimaksudkan untuk menyalurkan air hujan. Yang menjadi soal adalah bila parit-parit itu buntu. Tidak nyambung antara ruas yang satu ke ruas yang lain. Atau boleh jadi karena semak (belukar) hidup dalam parit. Pemandanagan macam ini pun sering kelihatan di beberapa titik. Kita gak tahu persis kenapa ini bisa terjadi. Dugaan kita tentu karena terlalu lama tidak dibersihkan. Pertanyaan kemudian, siapa yang mau membersihkan? Aduhhhhh panjang kali kalau mau dibahas. Saya takut nanti ada yang tersinggung.


BUS MEDAN TANAH KARO 2

Bahasa kerennya "sentra produksi pertanian", dan kalau mau dibuat lebih asoi lagi dapat saja dikatakan 'mandala wisata agro' di Sumatera Utara. Tanah Karo tidak berlebihan dengan julukan itu. Sayur mayur melimpah ruah di negeri yang sejuk dan nyaman ini. Buah-buahan segar negeri tropis, bejibun banyaknya. Ada jeruk, markisa, alpokat, kesemak, dan sebagainya. Kalau ditumpuk bisa "silangit" hehehehe.... Wisatawan suka dengan suasana itu.

Namun ada satu hal yang orang banyak tidak tahu bahwa tanaman-tanaman itu semua memerlukan pupuk supaya subur. Tidak cukup dengan 'pupuk' yang diseburkan gunung berapi Sinabung atau Sibayak. Perlu pupuk tambahan. Dan pupuk tambahan itu datangnya dari arah Medan.

Karena Medan adalah daerah industri, orang mungkin akan mengira pupuk asal Medan itu pastilah pupuk pabrikan. Ternyata bukan. Sama sekali bukan pabrikan. Pupuk dimaksud adalah pupuk organik. Termasuk golongan kotoran....

Medan tentu banyak menghasilkan kotoran karena penduduknya banyak. Tapi, jangan takut, bukan kotoran itu yang diangkut ke Karo untuk pupuk tanaman pertanian. Yang diangkut adalah kotoran ternak......atau sering juga dinamakan 'pupuk kandang'. Asalnya bisa dari mana-mana, dari Pakam, Perbaungan, Binjai atau entah dari mana lagi. Cakap orang di 'gunung' sana mengatakan 'dari bawah'. Medan itu bawah atau hilir (jahe).

Namanya juga pupuk kandang, baunya tentu bukan main. Memancar ke segala penjuru mata angin. Kali ini, saya agak sial. Di depan bus yang saya tumpangi ada truk pengangkut 'kotoran ternak'. Jalan menanjak dan menikung, membuat truk itu berjalan terseok-seok bak kura-kura. Lambat bukan main. Mau disalip oleh bus kami, jalannya berlobang, hancur berantakan. Pak supir gak berani, takut patah as atau pecah ban. Akhirnya apa boleh buat, kami lah yang paling menikmati aroma yang diterbangkan oleh kotoran dari dalam truk.

Sebelumnya saya menduga orang di sebelah saya masuk angin atau belum gosok gigi. Maklum masih pagi. Rupanya saya keliru. Kekeliruan saya terkoreksi setelah melihat langsung 'kotoran ternak' yang dibawa truk, itu meleleh ke jalan. Guncangan body truk akibat jalan sangat buruk di daerah Bandar Baru, itu membuat 'barang berharga' yang diangkutnya tadi melompat dan meluncur ke jalan. Sekarang bau itu melekat rapat di jalan. Sampai dua hari telah berlalu, bahkan sudah terguyur hujan deras, baunya tetap 'nyaring' (kayak suara aja.....).

Dalam hati saya bertanya, siapakah di negeri ini yang bertanggungjawab mengurusi soal "jalan menjadi bau" gara-gara ada yang mencecerkan kotoran secara tidak sengaja atau karena cerobah? Pertanyaan sejenis saya ajukan untuk 'jalan hancur'. Siapakah yang membuat jalan hancur; jalan yang membuat kami gak bisa nyalip sehingga kebauan dan membuat 'barang' orang tertumpah/tercecer? Jawabnya bisa macam-macam (Nanti akan disambung lagi....xixixixi).