07 Mei 2009


Politik dalam Pluralisme Budaya
Selasa, 5 Mei 2009 | 02:58 WIB

Oleh ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN

Pemilihan umum yang lalu kian menunjukkan, demokrasi kita belum menjadi kebudayaan.

Mengikuti pendapat Alexis de Tocquiville (1952[1835]), Democracy in America, demokrasi adalah seperangkat nilai dan keyakinan yang terkandung dalam pikiran warga negara mengenai kesetaraan hak-hak mereka—dimaksud secara implisit tak lain adalah kebudayaan—maka demokrasi kita masih jauh dari cita-cita itu.

Dalam pengertian itu, demokrasi yang kini kita pahami masih demokrasi teknis, mekanistik, dan superfisial. Yang terjadi adalah demokrasi sekadar tempelan nama, direduksi menjadi uang dan kursi, koalisi pura-pura, slogan-slogan, janji-janji kosmetik, dan dominannya kepentingan kelompok elite politik. Ditengarai ada dua wajah politik yang kontras dan dominannya pluralisme budaya dalam kehidupan bangsa kita sebagai pencetus utama fenomena ini.

Dua wajah politik

Jarak yang jauh antara elite politik dan rakyat pemilih menampilkan dua wajah politik berbeda. Elite politik menampilkan perilaku berubah-ubah, tidak konsisten, selama masa menuju pemilu dan sesudahnya. Rencana koalisi yang dikabarkan melalui media cetak dan elektronik berubah-ubah setiap saat. Hampir tiap hari menjelang pemilu lalu, halaman depan koran menampilkan foto dua ketua umum partai berbeda-beda (bahkan diketahui selama ini berseberangan) saling berkunjung. Mereka berdampingan sambil bersalaman seolah menunjukkan kemauan untuk berkoalisi. Pascapemilu, tampilan foto-foto ini berganti topik dengan isu pemilu presiden dan wakil presiden, tetapi dengan pola kelakuan elite yang sama.

Di kalangan rakyat pemilih, muncul kebingungan, khususnya karena kian tidak jelas bagi mereka calon anggota legislatif mana yang akan mereka pilih. Tidak hanya karena sebagian besar calon anggota legislatif tidak dikenal, tetapi juga sang caleg umumnya mengandalkan kampanye tokoh-tokoh puncak partai alias mereka tidak berkampanye sendiri dengan pemikiran dan program mereka.

Banyak warga berjubel di depan papan yang memasang gambar partai dan caleg pada tempat pemungutan suara (TPS) tanggal 9 April lalu, bingung untuk memilih siapa dan partai apa.

Pluralisme kebudayaan

Dalam pluralisme kebudayaan, tiap kebudayaan dipandang otonom dan ditanggapi apa adanya sehingga kebudayaan yang dominan dianggap selayaknya dominan karena pendukungnya yang mungkin lebih banyak. Hal ini sudah ditengarai hampir seabad lalu oleh JS Furnivall (1938), ahli kebijakan ekonomi Hindia Belanda, dalam The Netherlands Indies: A Study in Political Economy.

Dalam pikiran bangsa kita yang majemuk, hadir kotak-kotak kebudayaan yang tegas batas-batasnya dan kerap diwarnai stereotip dan prasangka. Kotak-kotak kebudayaan itu tidak hanya berbasis etnik atau agama, tetapi juga kepentingan politik berjangka pendek maupun panjang. Hal ini mewujudkan wawasan pikiran yang sempit karena kurangnya ruang berpikir tentang keberadaan pihak lain di luar kelompok sendiri. Terbentuknya banyak partai politik adalah salah satu indikasi.

Pluralisme kebudayaan adalah tantangan besar dalam membangun demokrasi. Demokrasi adalah proses kebudayaan yang menuntut keyakinan tiap warga negara untuk saling menghargai, membangun, dan memelihara toleransi, kesediaan untuk menerima kebenaran pihak lain, dan mengaku kalah dalam pemilu jika memang kalah.

Demokrasi bukan konsep hitam-putih, tetapi proses dialog antarkebudayaan. Mewujudkan demokrasi dalam pluralisme kebudayaan itu amat mungkin karena banyak bangsa lain yang juga pluralistik berhasil membangun demokrasi.

Fenomena menjelang dan pascapemilu lalu menunjukkan, kita masih jauh dari budaya demokrasi yang dicitakan. Mungkin kita baru sebatas membaca sebagian buku teks tentang demokrasi Barat dan mempraktikkannya di negeri ini dan merasa seolah kita sudah mempraktikkan demokrasi. Kita baru sebatas menafsirkan demokrasi sebagai proporsi jumlah kursi di DPR dan rakyat datang ke TPS mencontreng gambar partai dan calon anggota legislatif.

Padahal, demokrasi sebagai kebudayaan adalah suatu sistem nilai dalam pikiran dan kehidupan tentang bagaimana memandang orang lain dalam kesetaraan, menghargai hak orang lain seperti menghargai hak sendiri, yang memandang negeri ini sebagai tempat kehidupan yang sama bagi tiap warga. Demokrasi sebagai suprastruktur, bukan sekadar infrastruktur dan struktur belaka. Kontras-kontras dalam politik tentu kontraproduktif bagi pembangunan demokrasi.

ACHMAD F SAIFUDDIN Dosen Departemen Antropologi FISIP UI


Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/05/02581875/politik.dalam.pluralisme.budaya 



What can you do with the new Windows Live? Find out

 

Upah Minimum Guru Diatur

Banyak yang Tak Sanggup Beli Buku

 

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/07/03202839/upah.minimum.guru.diatur

 

 

Kamis, 7 Mei 2009 | 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Ratusan ribu guru honor atau wiyata bakti baik di sekolah negeri maupun swasta masih belum memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak. Oleh karena itu, sedang diupayakan agar terdapat aturan mengenai upah minimum pendidik.

Pemerintah tengah pula menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru Non-PNS.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo, Rabu (6/5), mengatakan, organisasi pimpinannya telah mengusulkan agar terdapat subsidi dari anggaran negara untuk guru wiyata bakti. Saat ini terdapat 922.000 guru wiyata bakti se-Indonesia.

 Para guru tersebut banyak yang memperoleh imbalan di bawah upah minimum regional untuk buruh yang ditetapkan pemerintah kota atau kabupaten. "Mereka mengalami pelecehan profesi guru karena dibayar dengan tidak wajar selama puluhan tahun," ujarnya.

Guru-guru honor, terutama di sekolah swasta, di sejumlah daerah banyak yang dibayar sekitar Rp 200.000 hingga Rp 250.000 per bulan dan tanpa tunjangan lainnya. Padahal, upah untuk pekerja lain rata-rata sudah di atas Rp 700.000, bahkan banyak yang di atas Rp 900.000 per bulan.

"Kami sudah mengirimkan surat pada 12 Februari 2009 ke Presiden RI dengan tembusan ke Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri Sekretaris Negara agar ditentukan standar upah minimal pendidikan. Besarannya harus di atas upah minimum regional buruh pabrik," kata Sulistyo.

Terlebih lagi, tidak seperti buruh pabrik, guru sekarang diharuskan minimal berpendidikan S-1 atau D-4. Persoalan kesejahteraan guru ini memengaruhi pula minat masyarakat terhadap profesi guru.

Sulistyo juga menyambut baik RPP tentang Guru Non-PNS yang tengah diupayakan pemerintah.

Dengan adanya perbaikan kesejahteraan, minat menjadi PNS juga berkurang.

RPP Guru Non-PNS

Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengatakan, Depdiknas mengajukan RPP Guru Non-PNS terutama untuk mengatur agar pengangkatan guru non-PNS lebih manusiawi. Hal itu diungkapkannya di sela-sela Pertemuan Koordinasi Asosiasi Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Seluruh Indonesia.

"Termasuk juga nanti akan diatur gaji minimal yang harus dipenuhi sekolah atau penyelenggara pendidikan. Tidak seperti sekarang, banyak guru swasta yang hanya mendapat gaji 'belas kasihan'," katanya.

Menurut Baedhowi, RPP tentang Guru Non-PNS masih terus dibahas, antara lain dengan Kantor Menneg PAN. "Kami ingin guru Non-PNS pun punya kepastian dalam sistem pengangkatan, penggajian, serta hak dan kewajibannya," ujarnya.

Ketua Serikat Guru Jakarta sekaligus Ketua Forum Guru Honorer Indonesia Supriyono menambahkan, guru membutuhkan biaya untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan profesionalnya. "Sudah seharusnya guru dapat berlangganan koran, internet, dan membeli buku paling tidak satu bulan satu judul buku," ujarnya.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan guru terus berkembang sehingga para murid mendapatkan pengajaran yang baik. "Sekarang ini mutu pendidikan merosot antara lain karena guru tidak punya kemampuan finansial mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.(INE/ELN)

Top of Form

 



Share your beautiful moments with Photo Gallery. Windows Live Photo Gallery

06 Mei 2009

FW: Professor Termuda AS ternyata adalah WNI

Ini kiriman tetangga:


 

Nelson Tansu meraih gelar Profesor di bidang Electrical Engineering di Amerika sebelum berusia 30 tahun. Karena last name-nya mirip nama Jepang, banyak petinggi Jepang yang mengajaknya "pulang ke Jepang" untuk membangun Jepang. Tapi Prof. Tansu mengatakan kalau dia adalah pemegang paspor hijau berlogo Garuda Pancasila. Namun demikian, ia belum mau pulang ke Indonesia . Kenapa?




Nelson Tansu lahir di Medan , 20 October 1977. Lulusan terbaik dari SMA Sutomo 1 Medan. Pernah menjadi finalis team Indonesia di Olimpiade Fisika. Meraih gelar Sarjana dari Wisconsin University pada bidang Applied Mathematics, Electrical Engineering and Physics (AMEP) yang ditempuhnya hanya dalam 2 tahun 9 bulan, dan dengan predikat Summa Cum Laude. Kemudian meraih gelar Master pada bidang yang sama, dan meraih gelar Doktor (Ph.D) di bidang Electrical Engineering pada usia 26 tahun. Ia mengaku orang tuanya hanya membiayai-nya hingga sarjana saja. Selebihnya, ia dapat dari beasiswa hingga meraih gelar Doktorat. Dia juga merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi Profesor di Lehigh University tempatnya bekerja sekarang.

Thesis Doktorat-nya mendapat award sebagai "The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award" mengalahkan 300 thesis Doktorat lainnya. Secara total, ia sudah menerima 11 scientific award di tingkat internasional, sudah mempublikasikan lebih 80 karya di berbagai journal internasional dan saat ini adalah visiting professor di 18 perguruan tinggi dan institusi riset. Ia juga aktif diundang sebagai pembicara di berbagai even internasional di Amerika, Kanada, Eropa dan Asia .

Karena namanya mirip dengan bekas Perdana Menteri Turki, Tansu Ciller, dan juga mirip nama Jepang, Tansu, maka pihak Turki dan Jepang banyak yang mencoba membajaknya untuk "pulang". Tapi dia selalu menjelaskan kalau dia adalah orang Indonesia . Hingga kini ia tetap memegang paspor hijau berlogo Garuda Pancasila dan tidak menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia cinta Indonesia katanya. Tetapi, melihat atmosfir riset yang sangat mendukung di Amerika , ia menyatakan belum mau pulang dan bekerja di Indonesia . Bukan apa-apa, harus kita akui bahwa Indonesia terlalu kecil untuk ilmuwan sekaliber Prof. Nelson Tansu.

Ia juga menyatakan bahwa di Amerika, ilmuwan dan dosen adalah profesi yang sangat dihormati di masyarakat. Ia tidak melihat hal demikian di Indonesia . Ia menyatatakan bahwa penghargaan bagi ilmuwan dan dosen di Indonesia adalah rendah. Lihat saja penghasilan yang didapat dari kampus. Tidak cukup untuk membiayai keluarga si peneliti/dosen. Akibatnya, seorang dosen harus mengambil pekerjaan lain, sebagai konsultan di sektor swasta, mengajar di banyak perguruan tinggi, dan sebagianya. Dengan demikian, seorang dosen tidak punya waktu lagi untuk melakkukan riset dan membuat publikasi ilmiah. Bagaimana perguruan tinggi Indonesia bisa dikenal di luar negeri jika tidak pernah menghasilkan publikasi ilmiah secara internasional?

Prof. Tansu juga menjelaskan kalau di US atau Singapore , gaji seorang profesor adalah 18-30 kali lipat lebih dari gaji professor di Indonesia . Sementara, biaya hidup di Indonesia cuma lebih murah 3 kali saja. Maka itu, ia mengatakan adalah sangat wajar jika seorang profesor lebih memilih untuk tidak bekerja di Indonesia . Panggilan seorang profesor atau dosen adalah untuk meneliti dan membuat publikasi ilmiah, tapi bagaimana mungkin bisa ia lakukan jika ia sendiri sibuk "cari makan".




Share your beautiful moments with Photo Gallery. Windows Live Photo Gallery

04 Mei 2009

Rendah Jumlah Pendonor Darah di Medan 

Kebutuhan masyarakat atau rumah sakit akan darah dari PMI di Kota Medan kurang lebih sebesar 100 kantong darah  per hari. Sementara persediaan sehari-hari di PMI kurang dari 40 kantong bahkan, tidak jarang, kosong alias tidak ada pendonor. 
Info ini saya peroleh dari seorang petugas PMI yang kebetulan kini sedang akan meneliti masalah tersebut dari sudut pendonornya sendiri. Pendonor yang rutin mendonorkan darahnya selama ini, kata petugas tersebut, umumnya dari kalangan jemaat vihara di kota Medan. Kalangan lain di luar komunitas tersebut sangat langka menjadi pendonor darah. Padahal mereka (non-jemaat vihara) juga sesewaktu akan membutuhkan darah: untuk dirinya,  keluarganya, kerabatnya, dan lain-lain. 
Menurut hemat saya, persoalan ini patut didiskusikan: 
(1) mengapa penduduk Medan yang begitu besar jumlahnya, beragam golongan agama dan sukunya, beragam profesi dan pendidikannya, dan semuanya bisa suatu ketika akan memerlukan bantuan darah dari PMI, namun demikian sangat sedikit menjadi pendonor darah? 
(2) Adakah soal donor-mendonor darah ini bertemali dengan solidaritas sosial yang melemah seiring dengan terjadinya proses komodifikasi yang diinspirasi kapitalisme, atau turunnya trust antar sesama menyusul banyaknya skandal di ruang publik?
(3) Apakah kinerja PMI sendiri yang kurang maksimal dan kurang inovatif lagi? 

Sunggauh ini suatu persoalan. Marilah kita diskusikan, mudah-mudahan dapat ditemukan ide cemerlang yang bisa disumbangkan bagi kemanusiaan. 

salam 


Fwd: Sinagoga dan Kitab Suci Yahudi Dirusak



 link berita dari Kompas.Com :

Judul : Sinagoga dan Kitab Suci Yahudi Dirusak

CARACAS, MINGGU — Sekelompok pria bersenjata merusak sinagoga tertua di
ibu kota Venezuela, Caracas, setelah menduduki gedung itu beberapa jam.
Sekitar 15 pria tak dikenal itu masuk gedung kemudian mencoret-coret dinding
dan melecehkan kitap suci Yahudi. Mereka juga meminta kaum Yahudi hengkang
dari negara tersebut.Para pemimpin Yahudi di Venezuela mengatakan,
ketegangan meningkat sejak negara itu memutuskan hubungan diplomatik dengan
Israel bulan ini menyus ...

Berita Selengkapnya :
http://www.kompas.com/read/xml/2009/02/01/13081851/sinagoga.dan.kitab.suci.yahudi.dirusak

Pesan :