ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN
Oleh: Fikarwin Zuska
Pada tahun 1999-2001, di sebuah desa yang tak terlalu jauh dari pusat pasar Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, ada sejumlah projek atau program pemerintah yang sudah dan sedang berjalan di desa tersebut. Projek atau program itu beraneka ragam wujudnya, di antaranya seperti pembagian bibit jeruk manis oleh Dinas Pertanian kepada masyarakat. Menurut Kepala Desa setempat, bibit jeruk yang dibagikan melalui tangan Kepala Desa tersebut dimaksudkan oleh pemerintah untuk menambah sumber pendapatan masyarakat, sekaligus meningkatkan jumlah keanekaragaman jenis komoditas pertanian agar masyarakat tidak bergantung hanya pada beberapa macam komoditas saja.
Maksud pemerintah yang demikian itu, tentu, sangat baik dan mulia. Namun karena jumlah bibit jeruk yang sampai ke tangan Kepala Desa hanya 4 polibek, maka bibit itu sengaja tidak dibagikan kepada warganya karena Kepala Desa takut tidak merata. Lagi pula, kata Kepala Desa : “Manalah ada artinya 4 pohon jeruk untuk menambah pendapatan warga se desa. Yang ada hanya akan bikin heboh, rusuh, fitnah di antara warga lantaran pembagian tidak bisa merata”. Atas pertimbangan itu Kepala Desa memutuskan, meletakkan saja 4 polibek bibit jeruk manis tersebut di bawah kolong tangga rumahnya (tidak dibagikan). Selaku pemerhati saya hanya tertengun, memikirkan betapa siasianya uang pemerintah dikeluarkan untuk membeli, mengangkut dan membagi-bagikan bibit jeruk ke desa-desa, tetapi tidak mempunyai makna cukup berarti bagi masyarakat.
Sementara itu dari kantor BKKBN meluncur pula projek/ program Dasa Wisma yang intinya mengelompok-ngelompokkan ibu-ibu berdekatan rumah untuk mengadakan kegiatan-kegiatan pembangunan, tidak hanya dalam bidang reproduksi dan atau Keluarga Berencana, tetapi malahan yang lebih penting lagi dalam bidang ekonomi pertanian. Ibu-ibu yang terlibat dalam kelompok ini diminta membuat rencana kegiatan ekonomi bersama, yakni bertanam tanaman sayur-sayuran di sebidang tanah, yang disewa/pinjam dari seseorang, lalu dikerjakan bersama oleh anggota Dasa Wisma. Biaya yang diperlukan, di antaranya untuk pengadaan bibit, pupuk dan pestisida, ditanggung oleh pemerintah (termasuk bimbingan dan penyuluhan teknis dari Dinas Pertanian). Kegiatan Dasa Wisma ini sebenarnya overlap dengan kegiatan Kelompok Tani yang telah dibentuk sebelumnya dari pos anggaran berbeda, tetapi hasilnya sama, yaitu: gagal panen. Cabe yang ditanam dalam program itu tidak dapat dirawat karena anggota dari kelompok yang dibentuk secara instan itu sebenarnya tidak terorganisir walaupun ‘pembagian kerja’ di antara anggota dan ‘jadwal kerja’ di ladang cabe (untuk memelihara) sudah dibuat secara konsepsional. Namun hal itu tidak terlaksana karena kian hari kian bertambah kendor semangat orang-orang yang sebelumnya mau bekerja tetapi kemudian tidak, gara-gara yang lain ogah-ogahan. Mereka tidak yakin dengan tanaman cabe sebagai jenis komoditi pertanian yang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan mereka selaku petani turun-temurun.
Menurut keterangan anggota Dasa Wisma dan anggota Kelompok Tani saat ditanya mengenai alasan mengapa cabe yang dipilih sebagai jenis komoditas yang ditanam/diproduksi oleh kelompok mereka, maka dijawab bahwa hal itu sudah ditetapkan lebih dahulu oleh aparat pemerintah pengelola program. Jadi ada semacam ‘pemaksaan kehendak’ dari pihak penyelenggara program yang umumnya selalu merasa lebih tahu, lebih mengerti dan juga lebih berhak menentukan apa yang terbaik untuk komunitas yang tengah “dibangunnya”. Masyarakat, dalam pandangan semacam ini, dianggap dan diperlakukan sebagai objek.
Begitupun dalam mata kegiatannya yang lain, yaitu kegiatan semacam dana-bergulir yang pernah dianjurkan dalam program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Kegiatan atau program-program tersebut juga gagal karena berbagai macam konflik terjadi, baik di antara sesama anggota maupun antara anggota dengan pengelola. Pihak pengelola seringkali menunjuk seseorang untuk mengetuai atau memimpin kelompok tanpa mengindahkan aspirasi anggota, sehingga kepemimpinan (leadership) kelompok menjadi tidak berjalan karena kurang mendapat kepercayaan dari anggota. Sebaliknya persekongkolan antara ketua dan pengelola program terjalin semakin baik sehingga, secara administratif dapat diatur, bahwa program dapat dikatakan “berjalan”.
Masih di desa yang sama dan dalam waktu yang relatif sama, datang lagi projek jambanisasi dari Dinas Kesehatan. Tujuannya untuk meningkatkan kesehatan lingkungan desa dengan cara tidak membiarkan warga ber-MCK di pancur. Pancur adalah MCK umum tradisional yang dinilai kurang higienis oleh aparat kesehatan. Lagi pula bangunannya ada di luar rumah, tak elok dipandang, menurut kacamata modern. Tetapi Kepala Desa, dan juga warga, sebenarnya tidak merasa terganggu dengan pancur. Bahkan pancur yang ada dinilai sudah cukup nyaman, sehingga mereka tidak butuh sama sekali dengan jambanisasi (pembuatan WC di dalam setiap rumah). Alasannya macam-macam, mulai dari kurangnnya suplay air hingga lanskap rumah yang sudah terlanjur dirancang tanpa WC.
Lagi pula, seperti kata seorang remaja kepada saya, bahwa orang yang MCK-nya di dalam rumah adalah orang sakit dan jompo. Orang sehat, menurut dia, sebagusnya ber-MCK di pancur karena lebih leluasa, bebas, dan air juga banyak. Selain itu, tambah anak muda tadi, “Tidak enak kalau ada bunyi dari dalam WC terdengar oleh orang-orang dalam rumah”, tambahnya.
Tetapi walaupun demikian, petugas kesehatan memaksa, bahkan dengan meminta belas kasihan, agar kiranya Kepala Desa mau menerima dan menandatangani bukti penerimaan material dan biaya pembuatan masing-masing jamban dengan paket masing-masing: 1 lembar seng, 1 buah kloset, 2 keping papan dan ongkos Rp 20.000,- Lagi-lagi, seperti biasa, jumlah paketnya tidak selalu pas dengan jumlah warga. Kepala Desa terpaksa pusing kepala untuk membaginya karena kalau salah-salah melangkah bisa dituduh KKN. Setahu saya, hanya kakek Jahopuk alias empu Damri yang memanfaatkan jamban tersebut. Jamban-jamban selebihnya dibiarkan terbengkalai.
Sapi bantuan presiden, terdiri dari 2 betina 1 jantan, yang diluncurkan ke desa yang berada di lembah perbukitan ini mengalami nasib lebih lucu lagi. Maaf, ini ceritanya agak porno. Oleh aparat pemerintah (Dinas Peternakan?) tiap sapi disuruh pelihara oleh keluarga berbeda. Keluarga yang ditunjuk mengangon sapi betina tentu lebih berkesempatan memperoleh salah satu anak sapi kalau sudah lahiran. Maka itu mereka lebih bergairah memeliharnya. Yang tidak jelas hasilnya adalah keluarga yang ditunjuk memelihara sapi jantan. Keluarga ini ogah-ogahan memelihara. Lebih sering anaknya yang masih kecil disuruh ngangon, memberi rumput, mengasi garam atau membuat perapian. Entah karena mau iseng atau bereksprimen, sang “pengangon-anak” ini kerap menggosok-gosok, memain-mainkan sambil membaluri dengan tanah alat kelamin sapi jantan yang dilihatnya lucu, hingga suatu ketika ternyata alat vital itu tak bisa lagi berfungsi membuahi sapi betina.
Melihat kejadian itu seorang pengangon sapi betina diam-diam ambil tindakan. Dia pindahkan sapinya ke desa lain, desa yang juga mendapat program bantuan sapi dengan maksud mendekati pejantan. Namun karena desa itu jauh, lalu di desanya sendiri beredar khabar bahwa sapi dimaksud sudah dijual. Akibatnya muncullah rencana baru dari para pengangon yang lain untuk memperlakukan sapinya di luar program. Akhirnya program bantuan sapi atau sapi bantuan ini, di desa ini, tidak berbuah hasil. Kasus ini serupa dengan bantuan-bantuan sebelumnya --bantuan kambing, itik, dan ayam—yang sama-sama berakhir ricuh dan tidak mencapai tujuan.
Masih banyak program/projek lain yang dapat dilihat dan disoroti prosesnya di masyarakat. Biayanya sudah pasti sangat banyak. Waktu dan tenaga yang dikeluarkan juga banyak. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Mengapa?
Antropologi pembangunan berusaha menyoroti dan berusaha pula memberikan alternatif untuk memecahkan persoalan pembangunan dengan mengajak semua pihak, terutama para pihak yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, untuk lebih peka melihat dan memahami persoalan-persoalan sosial-budaya. Maksudnya adalah bahwa para pelaku pembangunan hendaknya tidaklah menganggap masyarakat sebagai ruang vakum yang dapat saja diisi dengan berbagai pembangunan, apalagi kalau pembangunan itu nantinya ditangani hanya secara sambil lalu tanpa tanggungjawab. Perlu disadari bahwa masyarakat itu merupakan sebuah kancah yang di dalamnya terejawantah relasi-relasi kekuasan, kontestasi, dan kompetisi yang dapat saja membuat pembangunan menjadi baik atau buruk. Antropolog yang cermat, yang diberi waktu cukup untuk mengenali relasi-relasi secara lebih komprihensif dan konkret di masyarakat, sedikit-dikitnya bisa membantu bagaimana caranya memulai suatu pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar