Moda angkutan umum darat yang paling nyaman, kecuali mobil pribadi, untuk jalur Medan – Sibolga tentulah taxi. Taxi di sini jangan dibayangkan sedan ber-AC dengan sistem argo. Taxi di sini bukan sedan, tetapi mini-bus L-300. Memang ada juga Kijang Inova, Avanza dan lain-lain. Namun semuanya, termasuk L-300 yang saya bicarakan, ini tidak pakai argo dan tidak juga pakai AC. Instalasi AC hanya terpasang di mobil, tidak pernah dipakai. Kata si Adi, mantan supir taxi yang sementara ini menjadi supir di sebuah perusahaan yang sedang mengerjakan proyek pemerintah yang didanai oleh ADB di Tapanuli Tengah, itu terjadi karena supir dan perusahaan atau pemilik mobil bermaksud menghemat bahan bakar. “Ongkos yang berlaku belum setimpal dengan biaya mengoperasikan AC”, terang si Adi.
Ongkos yang berlaku saat ini adalah Rp 100.000 per penumpang atau per seat. Tiap mobil menyediakan 8 seat. Dua di samping supir (nomor 1 & 2), 3 di belakang supir (3, 4, & 5), dan tiga lagi di bangku paling belakang (6, 7, 8). Jadi, sekali berangkat, dapat diperkirakan besar omsetnya sekitar Rp 800.000,- Biaya yang dikeluarkan antara lain untuk BBM, gaji supir, dan lain-lain. Biaya di jalan, termasuk kemungkinan kerusakan kecil seperti bocor ban, tambah angin, dan juga pungutan-pungutan ‘tak terduga’ oleh para pihak secara liar, itu ditanggung oleh supir. Saya tidak tahu persis berapa liter solar yang diperlukan tiap kali berangkat. Yang pasti, saat berangkat, tangki mobil penuh dan di perjalanan diisi sekali lagi sebesar 22,22 liter (Rp 100.000,-).
Di antara delapan sit (kursi) yang dijual, ada satu kursi paling istimewa, paling disenangi penumpang, dan sering kali harus dipesan beberapa hari sebelam keberangkatan; yaitu kursi nomor 3, bertempat tepat di belakang supir langsung. Keistimewaan sit ini antara lain ‘ruang selonjor’ lebih lebar; kaki bisa diangkat-rentangkan tegak lurus ke depan; tas/barang bisa diselipkan di ruang kecil yang tersedia di belakang kursi supir. Selain itu tentu pemandangan ke luar, keselamatan, tidur lebih nyaman, dan sebagainya. Untung ketika saya akan berangkat, ada teman, orang yang sudah dikenal oleh perusahaan, membantu memesankan. Saya pun akhirnya dapat di kursi yang dijuluki kawan saya itu “kursi VIP”.
Beda halnya bila duduk di kursi nomor 5. Walaupun masih dianggap istimewa, tapi memiliki kelemahan. Pertama, kursinya tepat di samping pintu penumpang ke luar masuk. Tiap kali orang naik atau turun, orang yang duduk di kursi itu harus buka pintu dan turun lebih dulu; bahkan tidak jarang selalu harus melipatkan kursinya agar orang bisa naik atau turun. Memang supir biasanya cepat-cepat turun, membuka pintu dan melipat kursi agar penumpang yang duduk di bangku no 5 itu tidak usah repot. Namun, seperti yang saya sudah alami, saya selalu lebih cepat dari supir untuk melakukan segalanya. Kelemahan kedua, bahwa duduk di kursi no. 5, dekat pintu, seringkali ‘mudah masuk angin’. Tidak selalu karet-karet pintu berfungsi baik, mengisi segala celah yang mudah dimasuki angin, ketika supir memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi. Berjalan malam hari, meski tidak pakai AC, udara cukup dingin. Penumpang rata-rata pakai jaket. Lubang kecil yang disusupi angin saat mobil melaju di malam hari, dan menerpa bagian tubuh, itu bisa membuat perut kembung. Paling tidak, demikian pengalaman, yang pernah saya rasakan. Masih untung kalau “kenalpot” kita juga sering mengeluarkan angin: dut dut duuuuut…… Perut terasa lega….
Taxi Medan Sibolga, sama seperti travel di Pulau Jawa, melayani antar-jemput penumpang. Hari ini saya dan keluarga dijemput agak lama. Kuatir dilupakan atau ditinggal pergi, Isteri menelpon loket tempat penjualan tiket yang sekaligus menjadi pool kendaraan perusahaan taxi tersebut di Jalan Sisingamangarja Medan. Pukul 20.00 WIB Taxi belum juga datang menjemput. Jawaban dari loket hanya mengatakan: “Tunggu saja bu. Kendaraan sudah di perjalanan ke tempat ibu”. Tidak lama, masuk telepon dari nomor tidak dikenal, menyatakan dirinya supir taxi yang sedang mencari tempat tinggal kami. Setelah dipandu melalui telepon, sang supir pun tiba, dan kami bergegas naik sambil meletakkan barang di bagasi. Supir bilang kepada kami, “Duduk saja dulu di mana kursi kosong. Nanti di loket akan diatur kembali”. Supir tampaknya menangkap sesuatu yang kurang enak dari wajah isteri saya karena dia berharap kami duduk di ‘bangku istimewa’ walupun dalam pemesanan sudah dikatakan bahwa kami duduk di kursi 6, 7, 8. Hanya kalau ada ‘armada tambahan’, kami akan diberi ‘bangku istimewa’.
Di “bangku istimewa’ sudah ada penumpang lain yang duduk. Seorang ibu setengah baya, pakai selendang, sambil ‘nyuntil’. Di sampingnya ada seorang anak kecil, dan seorang laki dewasa kepala gundul. Dugaan saya lelaki gundul yang berbadan gempal ini adalah anak sang ibu. Sementara anak yang duduk di antara mereka adalah cucu sang ibu. Kami duduk di belakang mereka. Sepanjang jalan dari rumah ke loket, saya mendengar percakapan mereka. Saya tidak mengerti, tetapi saya tahu bahwa mereka berbahasa Karo. Dalam hati saya lalu berkata: “pantas ibu itu nyuntil”. Dan saya pun teringat pada mahasiswa saya yang sedang menulis skripsi tentang kebiasan “Man Belo” pada orang Karo. Dia saya harap akan menjawab pertanyaan umum: kenapa orang Karo doyan makan sirih? Ada makna apa di balik makan sirih itu?
Sampai di loket, saya mendaftar ulang sebagai penumpang sekalian membayar tiket. Jam pada malam itu sudah menunjuk pukul 20.30 WIB. Petugas loket mengatakan saya dan keluarga duduk di bangku 3, 4, & 5. Bangku istimewa. “Terima kasih”, kata saya. Mobilnya mobil yang menjemput. Tidak usah pindah mobil. Orang yang semula duduk di bangku itu pindah ke mobil lain. Saya bertanya ke supir yang datang menjemput ke rumah:
“Abangkah supirnya?”
“Tidak, ini lay ini supirnya”, jawab dia sambil menunjuk seseorang yang wajahnya agak kusut.
“O….”, kata saya mengangguk, sambil melihat ke si abang supir yang sedang bantu-bantu menyusun barang-barang di bagasi.
Mulanya saya kurang simpati melihat sikap abang ini yang kurang bersahabat. Waktu dia naik ke mobil dengan tergesa-gesa, lalu berkata: “penumpang depan mana?”, seraya melihat ke belakang, saya malah diam saja dan sebel. Saya malahan menganggap dia tidak sopan. Dia pun turun, dan langsung ke loket.
Tiba-tiba naik supir yang menjemput ke rumah tadi. Dalam bahasa angkutan, dia dinamakan supir raon. Dalam hati saya bertanya: “kok supir raon lagi?” Dan ternyata benar. Ada penumpang yang belum dijemput. Dan itu terjadi karena kesalahan komunikasi. Kesalahan komunikasi, bisa bedampak luas.
Ceritanya begini: Sesuai asumsi yang melandasi adanya supir raon, bahwa ia lebih tahu seluk beluk jalan di kota Medan ketimbang supir luar kota (supir asli), maka loket memberi perintah kepada supir raon: “Jemput penumpang di Perumnas Simalingkar”. Tanpa meminta penjelasan lebih lanjut, sang supir raon langsung berangkat. Jam saat itu sekitar pukul 17.00 wib. Sementara itu supir asli (marganya Hutagalung), bilang kepada supir raon: “Jemput penumpang di Simalingkar. Ini keluarga bos. Duduknya di bangku 1 dan 2”.
Supir raon mengira penumpang yang dimaksud oleh loket dan supir asli adalah sama. Oleh sebab itu ketika ia berhasil menemukan penumpang di Simalingkar, yang ternyata adalah ibu yang ‘nyuntil’ tadi, ia pun kembali. Padahal semestinya ia masih harus menjumput penumpang di rumah lain di Simalingkar.
Malam itu juga semua kami dibawa dulu menjemput penumpang ke Simalingkar. Berputar-putar lagi. Tanya sana, tanya sini. Akhirnya ketemu. Tapi dalam gang yang tidak lebar. Mobil sulit berputar arah. Mengembalikan arah mobil ke jalan besar, bukan hanya makan waktu. Tenaga pun terkuras juga. Stiur mobil non-power steering. Keringatan juga sang supir raon. Supir asli pun terpaksa turun tangan. Dia pun berkeringat. Jaketnya dibuka, keringatnya bercucuran. Tapi memang berhasil diputar. Kami pun ke luar dan berangkat dari Medan sekitar jam 23.00 wib.
Di sepanjang jalan saat menjemput ulang, perdebatan antara supir raon dan supir asli terus terjadi. Maklum, meski merasa salah, tapi supir raon tidak mau mengaku. Dia tetap beranggapan bahwa loket salah mengasi tahu.
Dengan cara yang penuh geram, supir asli akhirnya berkata kepada kami bahwa supir raon itu sok tahu. Anggar jago. Pakek kacamata segala. Dibilang gak mau mendengar. Akibatnya, orang lain merugi. Dari jam lima dia pergi menjemput, jam 10 baru pulang. Hasilnya salah pula lagi. “Aku palak kali sama dia. Cukup sekali dia kupakek”, tambahnya.
Benar. Yang dibilang supir asli ini benar. Di jalanan sepajanag Medan Sibolga ia tidak lagi punya kawan. Kawan-kawannya sudah melaju duluan. Tidak mungkin lagi bisa dikejar.
Selain itu, bila bergerak terlalu malam, tentu tiba di tujuan akan terlambat. Waktu istirahat di tempat-tempat peristirahatan mesti dipersingkat. Pelanggan yang harus masuk kerja, akan terlabat. Ini semua akan membuat perusahaan atau pemilik mobil marah. Marahnya mereka ditumpahkan kepada supir. Tidak mustahil supir dipecat gara-gara kesalahan seperti ini. Supir termasuk orang yang posisinya paling lemah dalam struktur kekuasaan di perusahaan. Meski mereka sangat fungsional, tapi posisi tawarnya rendah. Di era orang banyak mengnggur dan bisa nyupir, tenaga supir sepertinya enteng. Dan itu betul-betul terjadi pada perusahaan taksi. Seksi berikut akan kita bahas persoalan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar