(Kasus MCK di Sebuah Desa)
Fikarwin Zuska
(Departemen Antroplogi
Sosial, FISIP-USU Medan)
Saya
sebut saja namanya desa Kenangan, karena desa ini memang cukup berkesan buat
saya. Saya banyak belajar mengenai proses pembangunan yang dijalankan oleh
pemerintah, justeru dari desa ini. Desa ini terletak di Kecamatan Sipirok,
Kabupaten Tapanuli Selatan. Kurang lebih 1 tahun lamanya saya dan kawan-kawan
melakukan penelitian di desa itu. Penelitian yang dilakukan saat itu bermula
dengan penelitian yang diorganisir oleh LIPI, yang kebetulan melibatkan saya
sebagai peneliti lapangan, dalam rangka FHN (Family Health and Nutrition).
Kemudian, setelah berselang 2 tahun, saya dan kawan-kawan hadir lagi di desa
tersebut dengan agenda penelitian aksi mengenai kesehatan reproduksi.
Penelitian terakhir ini diketuai oleh saya sendiri, di bawah skema Singarimbun
Research Award PPK Universitas Gajah Mada, dengan dana berasal dari Ford Foundation
tahun 1999.
Tulisan ini tidak berkaitan dengan
kedua peneltian di atas. Tulisan ini dibuat atas catatan-catatan yang boleh
dibilang hanya merupakan by product
dari kedua penelitian dimaksud. Banyak hal tentang desa Kenangan yang sekarang
mungkin sudah berubah, dan itu tentu luput dari perhatian saya. Begitu juga
dengan kelengkapan datanya, tentu saja sudah banyak yang hilang. Maklum cerita
yang dinukilkan di sini sudah berlangsung sekitar 14 tahun yang lalu. Namun
substansi yang ingin saya sampaikan, sejauh penglihatan saya terhadap
pelaksanaan pembangunan selama ini, tampaknya tidak berubah. Intinya,
pemerintah masih sangat dominan dalam menentukan proses pembangunan. Ungkapan
seperti ‘pembangunan berbasis masyarakat’, itu masih sekedar jargon.
‘Perencanaan pembangunan mulai dari bawah’, yang diwujudkan misalnya melalui
“Musrenbang Desa” (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa), itu pun masih
sekedar formalitas. Sekedar memenuhi prosedur dan tata-urut pentahapan suatu perencanaan
pembangunan, sembari melengkapi kelengkapan administratif yang dipersyaratkan
oleh aturan perundang-undangan. Ruh dan semangat pelaksanaannya masih tetap ‘top-down planning’ dan ‘project oriented’.
Projek MCK
Projek MCK yang akan saya ceritakan
ini hanyalah contoh, betapa masyarakat desa tidak tahu apa yang direncanakan
pemerintah untuk mereka. Kepala Desa saja terkaget-kaget ketika pada suatu
sore, saat ia duduk-duduk di warung kopi sepulang dari kebun mengambil nira,
seorang ibu aparat Kabupaten Tapsel menghampirinya. Sang ibu memberitahu bahwa
bersama dengan kedatangannya ke desa itu, saat itu, ada kiriman yang ia bawa
berupa 5 (lima) paket MCK, masing-masing paket terdiri atas: 1 buah kloset
jongkok, 2 keping papan, 100 batang bata, 1 zak semen, 2 lembar seng, dan uang
Rp 20.000,-. Paket ini merupakan bagian awal dari projek MCK (baca: pilot
project) yang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan
―ditangani oleh Dinas Kesehatan, khususnya Bidang Kesehatan Lingkungan― untuk maksud dan tujuan mengubah, mengganti
dan sekaligus menyehatkan lingkungan fisik desa-desa yang selama ini masih
menggunakan MCK-Umum tradisional. Sang ibu yang ternyata pegawai Dinas
Kesehatan Tapsel itu, ingin menyerah-terimakan paket tersebut kepada Kepala
Desa sore itu juga, sembari menyodorkan selembar kertas tanda terima barang
untuk ditanda tangani dan distempel.
Saya ―dengan dua orang teman saya― melihat
Kepala Desa Kenangan menolak alias tidak berkenan menerima kiriman paket yang
masih berada dalam truk engkel yang mengangkutnya. Berkali-kali pak Kades itu
saya dengar mengatakan ‘tidak’ dalam Bahasa Sipirok kepada Ibu, yang untuk
mudahnya saya sebut saja Ibu Indah. Ibu Indah pun tampak risau dan gelisah atas
penolakan itu. Dia khawatir akan dimarahi atasan kalau tidak berhasil
menyerahkan paket yang dia bawa, sementara saat itu hari sudah semakin gelap. Azan Maghrib sudah
dekat. Ia masih harus kembali ke rumahnya di Padang Sidimpuan. Cukup jauh dari
desa Kenangan ini.
Dalam tatapan saya, Pak Kades cukup
keras hatinya untuk ditaklukkan walau oleh keluh seorang ibu yang sudah nyaris
menangis. Saya melihat Pak Kades malahan pergi meninggalkan warung. Ia bergerak
menuju ke arah rumahnya. Ia bermaksud pulang, tampaknya. Saya melihat Ibu Indah
kecewa, tetapi tidak mau menyerah. Ibu Idah mengikuti dari belakang.
Melihat adegan tersebut saya dan
teman saya, seorang ibu juga, bermaksud untuk membantu. Kami ikuti mereka
sampai ke rumah Pak Kades. Dalam hati, kami berharap Pak Kades akan lunak
hatinya. Ternyata memang benar. Sesampainya di rumah, kami pun mencoba
‘nimbrung’, membujuk Pak Kades agar beliau mau menerimakan saja dan menerakan
tanda tangannya di surat tanda terima yang dipegangi Ibu Indah sedari tadi.
Kami hanya bilang, dengan sangat hati-hati, dan tentu saja dengan berkat kedekatan
hubungan kami dengan beliau, bahwa Ibu Idah hanyalah seorang bawahan yang
diperintah atasannya. “Sebagai seorang Ibu”, kata saya kepada Pak Kades, “ia
sedang ditunggu oleh anak dan suaminya di rumah. Malam hari begini belum
bergerak pulang ke Sidimpuan? Apa yang terjadi nanti? Besok, mungkin akan kena
marah atasan lagi, kalau tugasnya tidak selesai malam ini!”. Singkat cerita,
Pak Kades berkenan menerima, Ibu Indah pun lega, dan ia pulang membawa senyum.
Diam-diam saya berfikir dan ingin
bertanya kepada Pak Kades. Apa sesungguhnya alasan Pak Kades menolak projek MCK
itu? Ketika hal itu saya tanyakan, jawaban yang pertama keluar dari Pak Kases adalah
sebuah pertanyaan bernada gugatan:
“Apa yang salah
dengan pancur (MCK Umum Tradisional)
kita ini? Apa yang kurang? Jenderal pun
ada dari desa ini! Pejabat pun ada dari sini!”, tantang Pak Kades.
“Tidak perlu
diubah, tidak perlu diganti. Tidak ada
masalah apa-apa sebenarnya dengan pancur.
Dibilang tidak bersih, tidak sehat? Apanya yang tidak bersih? Apanya yang tidak
sehat?”, tantang Pak Kades berapi-api.
“Di situ air
mengalir terus-menerus. Siang malam air mengalir. Dari mana datangnya tidak
sehat?”
“Orang-orang pemerintah
ini sering kali buat-buat pekerjaan yang akhirnya membikin saya susah dengan
warga saya”, terang Pak Kades sambil menyebut contoh-contoh projek yang sia-sia
saja di desanya.
“Padahal”, terangnya, “warga desa
ini kerabat saya semua”.
Rupanya alasan kebersihan dan kesehatan
telah diajukan oleh Ibu Indah sebagai alasan Dinas Kesehatan meluncurkan projek
MCK ini. Dinas Kesehatan menilai bahwa pancur,
sebagai MCK-Umum, rentan menularkan penyakit. Satu orang terkena penyakti
tertentu, akan mudah menular ke orang lainnya. Selain itu, sarana umum macam
itu juga cenderung tidak bersih. Sebagai tempat umum, tidak ada satu orang yang
bertanggung jawab untuk membersihkannya. Dalam keadaan yang kotor seperti itu,
bibit penyakit akan mudah muncul dan menyebar. Oleh sebab itu, untuk
meminimalisir kemungkinan tersebut, Dinas Kesehatan meluncurkan program MCK
yang bersifat pribadi (private).
Masing-masing rumah memiliki MCK sendiri, seperti biasanya pola kehidupan
orang-menengah-atas di kota besar, agar penyakit menular via MCK-Umum tidak
pernah lagi terjadi.
Keberatan Kepala Desa yang
berikutnya bersifat teknis dan kontekstual. Keberatan ini diutarakannya dengan
gaya seperti berikut:
“Caba kalian lihat
rumah-rumah di desa ini. Semuanya panggung. Bagaimana mau bikin MCK dalam rumah?
Di luar tidak ada tanah kosong! Jadi, secara teknis tidak bisa. Susah membuat
WC dalam rumah!”, tegas Pak Kades yang ternyata semasa lajang pernah bekerja
menjadi tukang bangunan hingga ke Aceh Tengah.
“Lagi pula”, terang
Pak Kades dengan nada agak berbisik, “orang di sini malu kalau saat buang air
ada bunyi-bunyi yang didengar anggota keluarga dari dalam WC.Itu sumbang. Malu.
Gak enak didengar”, tegas beliau.
Tacit Knowledge: Orang Sakit dan Jompo
Apa yang diterangkan Pak Kades
sebagai keberatannya atas projek MCK ini, mendorong saya untuk mencari lebih
banyak lagi informasi. Suatu siang, setelah beberapa hari berselang, saya dengan
sengaja bertanya kepada seorang remaja Desa Kenangan. Namanya, saya sebut saja
Farhan. Ia anak seorang kepala sekolah. Bapaknya memimpin sebuah SMA Negeri
yang agak jauh letaknya dari desa ini. Rumah mereka, dapat dikatakan, model
baru. Terbuat dari beton, dan merapat ke tanah (depok). Secara fisik nampak
masih sangat baru. Dugaan saya, rumah pak Kepsek itu pasti ada WC di dalam
rumahnya. Tetapi saya tidak tahu sumber airnya. Sepengetahuan saya, sumber air hanya
ada 2 selain pancur. Yang satu berupa
Bak Besar di tengah-tengah desa. Airnya bersumber dari bukit sekitar. Air ini
terutama sekali digunakan untuk minum. Orang datang ambil air dengan ember,
untuk keperluan di rumah: minum, masak, cuci piring dan lain-lain. Sesekali,
anak kecil, dimandikan ibunya di dekat bak penampungan air bersih ini.
Sumber air lainnya berupa pancuran
yang dulu pernah sangat utama kegunaannya sebelum bak besar di tengah desa
dibangun. Airnya, menurut amatan saya bagus. Bening dan lancar mengalir.
Rumah-rumah sekitarnya, masih lebih sering menggunakan pancuran ini ketimbang
bak besar yang dibangun dengan dana Bantuan Pembangunan Desa (Bandes) itu.
Kepada Farhan saya tanya sumber air
di rumahnya. Jawabnya, seperti saya duga, mereka mengambil air minum dari Bak Besar
dan ber-MCK di pancur.
“Apakah di rumah
Farhan tidak ada WC?”, tanya saya.
“Ada”, kata Farhan. Farhan ini lulusan SMA yang saat itu sedang berada
dalam pekan-pekan menunggu pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi. Ia
baru saja menyelesaikan SMA-nya di dekat Sipirok.
“Airnya dari
mana?”, tanya saya lagi.
Dia menjawab “tidak
ada air”.
“Berati tidak
dipakai WC-nya?”, tebak saya.
“Tidak”, katanya
tenang. “Tidak ada yang pakai. Orang
sakit tidak ada, orang jompo juga tidak ada”, katanya lancar.
Mendengar jawaban Farhan ini,
wawasan saya jadi bertambah. Mungkin justeru inilah yang merupakan tacit knowledge, pengetahuan yang tidak
sempat terungkap dalam percakapan dengan Kades sebelumnya. Bahwa WC dalam
rumah, itu adalah WC bagi orang sakit dan jompo. Orang sehat, muda, ber-WC
tentulah di pancur. Ini ―kalau dihubungkan dengan projek MCK― bisa saja
bermakna menghinakan atau merendahkan. Pemerintah, bisa saja dianggap secara emic, merendahkan Orang Desa Kenangan
sebagai orang penyakitan. Atau, kalau bukan itu, bahwa program MCK dianggap
secara emic ‘tidak masuk akal’. Jalan pikirnya seperti ini, “Masak orang sehat
disuruh bertingkahlaku seperti orang sakit atau jompo?”.
Persoalan WC dalam rumah atau buang
air besar dalam rumah ini ternyata memang bukan pekara sederhana bagi Orang
Desa Kenangan. Mereka, bukan saja merasa sungkan, sumbang, melakukan buang air
dalam rumah tapi juga tidak bisa. Secara fisik mereka tidak bisa, tidak nyaman,
tidak lancar, bila buang air besar di dalam WC yang terletak di dalam rumah.
Isteri Kepala Desa Kenangan memberi
tahu saya bahwa dirinya punya adik yang tinggal di Jalan Perjuangan Medan.
Sesekali Ibu Kades ini datang ke Medan, entah apa pun keperluannya, sering menginap
di rumah keluarga adiknya. Setiap kali datang ke Medan, maka yang menjadi
persoalan baginya, salah satunya, adalah buang air besar di WC dalam rumah.
Keengganan mereka untuk buang air “dalam rumah” itu membuat ia tidak tahan
berlama-lama di Medan. “Hanya 3 hari paling lama saya tahan di Medan”. “Lewat 3
hari sudah tidak enak badan saya”, katanya.
Kebiasaan ber-MCK di Pancur, dengan
air mengalir, untuk yang sudah melakukannya sejak kecil atau bertahun-tahun,
memang mempunyai efek tersendiri terhadap tubuh. Tubuh menjadi akan lebih
nyaman saat buang air besar dengan cara yang sama. Inilah barang kali yang
dirasakan oleh Ibu Kades. Ia tidak bisa buang air besar di dalam WC yang
terdapat di dalam rumah milik adiknya di Medan. Oleh sebab itu ia selalu
memilih pulang lebih cepat ke kampung halaman ketimbang beralama-lama di Medan.
WC 8 Kamar
Di
Pancur ―tentu saja di Pancur khusus laki-laki― ada 8 kamar WC. Atau, dengan
istilah lain, ada 8 kamar kecil. Saya tidak tahu keadaan di Pancur khusus
perempuan, walaupun letaknya bersebelahan. Menurut cerita, bangunan WC di
pancur yang bersebelahan tempat, itu sama bentuk dan jumlahnya. Bahan
bangunannya juga sama; dari kayu. Terletak di atas parit atau tali air. Airnya
mengalir walaupun tidak deras. Tapi cukup untuk menghanyutkan kotoran (tinja)
yang jatuh. Terkadang jatuh bersahut-sahutan: plung, plung, pluunggg ―seakan
berirama.
Kedelapan kamar WC itu saling bergandengan.
Dinding penyekat antara satu dengan yang lain hanya setengah. Kalau orang yang
menggunakan sedang jongkok, kepala orang yang sebelah-menyebelah, itu
kelihatan. Terkadang kalau didongakkan lebih tinggi, bisa saling melihat wajah.
Itulah sebabnya, mereka bisa bercerita atau ngobrol bersama sambil buang air.
Kalau ceritanya asyik, mereka bisa berlama-lama di dalam WC. Apalagi biasanya
dibarengi dengan rokok. “Merekok sambil buang air besar, memang sangat asyik.
Apalagi sambil ngobrol dengan yang di sebelah, itu bisa lama siapnya”, kata
Opung J. Pane kepada saya. Opung ini memang jago cerita. Ia pernah lama
marantau di Jakarta, saat muda. Saya betah tinggal selama penelitian di
rumahnya.
Kendati saya tidak mengerti benar
apa yang mereka bincangkan saat itu, tapi saya sempat menyimak satu dua kata
yang bisa saya mengerti. Mereka ada di kamar nomor 2 dan 3, sedangkan saya di
kamar nomor 4. Pagi itu orang tidak sedang ramai, saat saya buang air besar.
Saya duluan masuk. Mereka berdua menyusul, setelah keduanya menyelesaikan
sholat subuh lebih dulu di mushalla yang terletak di dekat masjid. Dari luar
mereka berdua sudah memulai cerita, dan terus berlanjut sampai di dalam WC.
Saya tidak tahu kapan berakhir ceritanya karena saya sudah ke luar duluan. Tapi,
seperti saya katakan tadi, saya tidak terlalu mengerti apa yang mereka bahas. Namun
kesannya normal-normal saja. Kata-kata yang saya dengar cukup penting
kelihatannya adalah mengenai gula merah. Membuat dan menjual gula merah memang
salah satu mata pencarian penduduk Desa Kenangan ini. Di banyak rumah saya
melihat orang memasak nira dalam kuali-besi-ukuran-besar. Bahan bakarnya kayu. Orang
desa itu bilang soban untuk menyebut
kayu api. Kayu api diperoleh dari hutan sekitar. Umumnya dicari oleh kaum
perempuan, dan sebelum dipergunakan kayu
api di simpan di bawah kolong rumah. Rumah yang kolongnya penuh soban, dan soban-nya tersusun rapi, lurus-lurus, itu ―pada zaman dahulu―
menjadi simbol yang menandakan gadis di rumah itu sangat rajin. Gadis macam
itulah yang menjadi preferensi oleh para tetua yang sedang mencari jodoh bagi anak
lelaki mereka.
Peristiwa di dalam WC ini, sebagai
suatu peristiwa sosial, pasti akan hilang kalau MCK-Umum yang disebut pancur
ini jadi digantikan oleh WC pribadi yang ditempatkan di rumah-rumah. Di dalam
setting desa Kenangan sebelum reformasi 1998, saat media massa dan teknologi
komunikasi belum serami sekarang, peristiwa sosio-biologis di WC cemplung 8
kamar itu sangat penting. Saya katakan penting tidak lain karena arena ini berfungsi
sebagai wahana tukar-menukar informasi pagi untuk orang-orang yang akan bekerja
tani hari itu. Tidak gampang mencari substitusinya, manakala pancur dihancurkan demi program/proyek
MCK rumahan yang dirancangkan Dinas Kesehatan Kabupaten Tapsel. Hal serupa
tentu berlaku pada pancur perempuan yang juga berfungsi antara lain untuk
tempat saling tukar informasi mengenai berbagai hal yang disukai atau biasa
dilakukan oleh perempuan di desa itu.
Kebiasaan lain yang juga akan hilang
kalau pancur sudah tiada, yaitu
kebiasaan para bapak-bapak menjelang mandi sore hari. Dari rumah masing-masing,
mereka tidak langsung menuju pancur. Mereka mampir atau berhenti sejenak di
setiap titik orang atau anak-anak berkumpul di sepanjang jalan. Dengan stelan
sarung se-lutut, timba/ gayung di tangan yang satu dan rokok di tangan yang
lain, serta handuk di leher, ia berenti sejenak sembari menyapa orang atau
anak-anak. Tawa-canda, itu ciri khasnya. Tidak kurang 15 menit habis waktu
untuk proses menuju pancur. Padahal, kalau berjalan langsung tanpa singgah
kiri-kanan, ia hanya menghabiskan waktu
2-3 menit. Ini adalah laku yang mencerminkan keakraban dan kebersamaan di antara sesama warga. Ada yang
harus di sapa, diakrabi, supaya kehidupan sosial itu terasa hangatnya sampai ke
dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar