08 Juli 2018


LIBUR LEBARAN: SAMPAH DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Oleh: Fikarwin Zuska

                Libur Lebaran 2018 ini aku sempat mengunjungi secara singkat dan secara sepintas melihat-lihat beberapa kota dan tempat wisata di Provinsi Sumatera Utara. Mulai dari Kota Medan, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, Kota Sibolga, Kota Pandan (Tapanuli Tengah), Kota Padang Sidimpuan, Kota Kecamatan Sipirok (Kabupaten Tapanuli Selatan), Kota Kecamatan Porsea (Kabupaten Toba Samosir), Air Terjun Ponot (Kabupaten Asahan), Pulu Raja (Asahan), Kota Kisaran dan seterusnya kembali lagi ke Medan. Jarak jalan yang ditempuh, menurut Google Map, adalah sepanjang 909 kilometer. Apa yang dilihat? Yang dilihat, sebenarnya, sangat banyak. Tetapi khusus untuk tulisan ini, sesuai judulnya, kutujukan pada sampah dan tali-temalinya. Budaya dan kebijakan, sebagai aku dari kalangan antropolog, tentu tidak bisa lepas dari mempertimbangkannya dalam analisis. Termasuk, tentu saja, kesejahteraan.
                Kuawali tulisan ini dari kesejahteran sosial masyarakat penduduk negeri ini. Apakah mungkin, jika tidak banyak orang yang sejahtera, akan terselenggara acara mudik lebaran? Kalau di Jawa, lihat saja siaran televisi, orang nampak berbondong-bondong dengan berbagai macam barang bawaan. Baik barang maupun orang, banyak sekali jumlahnya; melimpah ruah rasanya. Segala macam moda transportasi ada, dan semuanya padat. Darat, laut maupun udara.  Dari yang paling mahal hingga yang paling murah harganya, semuanya ada dan melimpah-limpah.  “Uang dari mana?”, tanyaku sering dalam hati. Dan, selalu kujawab sendiri: “itu pertanda rakyat makin sejahtera”. Orang melarat, tentu tidak bisa mudik. Mudik itu mahal ongkosnya. Meski selalu ada yang menyediakan tiket gratis untuk beberapa kalangan, namun biaya-mudik lainnya per orang bisa lebih mahal lagi: untuk pakaian baru, makanan di jalan, oleh-oleh dan ang paw di kampung halaman. Buat item-item ini belum ada darmawan yang mau turun tangan. Saya tidak tahu kalau para peserta Pilkada, mungkin ada yang ‘berinvestasi’ untuk mengatasi hal ini.
                Gajala mudik lebaran ini sudah berlangsung lama. Selama gejala itu masih ada dan terus bertahan, tidak mungkin bisa dibantah, bahwa itu refleksi kesejahteraan penduduk. Makin marak pelaksanaannya, makin sejahtera pulalah rakyat yang merayakannya. Tahun ini libur lebaran cukup panjang. Orang mudik punya waktu lebih leluasa (fleksibel). Kemacetan (atau desak-desakan), sesuai logika, sudah pasti berkurang. Terlebih akses jalan tol tahun ini sudah lebih memadai dari tahun-tahun sebelumnya. Ruas jalan tol makin banyak, dan panjang. Alternatif lalu-lintas menjadi lebih luas. Ini pun, tentu saja, cermin dari kesejahteraan yang meningkat. Tetapi, kemacetan secara sporadis masih saja terjadi sebagaimana dilaporkan oleh media televisi nasional.
                Pemudik di Kota Medan juga turut merasakan nikmatnya mudik melalui tol tahun ini. Menjelang lebaran, tol dari Medan ke Bandara Kualanamu terbuka. Begitu juga tol dari Medan menuju ruas tol Lubuk Pakam- Sei Rampah, sudah bisa dilalui. Aneka masalah seputar kemacetan yang makin mendera Kota Medan akhir-akhir ini, dengan dibukanya tol, sedikit teratasi. Hanya, sesuai amatan sepintas, sampai hari Minggu 17 Juni 2018 kemarin, pengendara yang memanfaatkan tol, masih banyak yang tidak memiliki Kartu Tol. Mereka masih membayar cash di pintu keluar. Akibatnya tidak terhindari penumpukan kendaraan. Pada hari pertama lebaran, 15 Juni 2018, kendaraan mengular sampai lebih satu kilometer di pintu keluar tol Sei Rampah. Di dalam antrian inilah saya mulai melihat kelakuan norak pengendara/penumpang mobil: buang sampah di jalan tol. Banyak sekali serakan sampah yang dicampakkan oleh penumpang mobil sesaat mereka mengantri di pintu tol. Ada botol  bekas minuman, kotak dan puntung rokok, serta plastik-plastik bekas kemasan atau kantong plastik. Merek mobil, yang mencerminkan kekayaan pemiliknya, tidak berhubungan dengan kelakuan pemilik membuang sampah. Pemilik mobil mewah atau bukan mobil mewah, sama saja: sama-sama norak tak tahu aturan, dari dalam mobil lemparkan sampah ke jalan.
                Pukul 02.00 WIB saya dan keluarga tiba di Kota Sibolga. Tidak menyangka kalau orang akan memenuhi hotel-hotel di sana. Beberapa hotel yang kami datangi dini hari itu, termasuk hotel yang pemiliknya sudah kami minta tolong membantu, tetap saja penuh. Maka kami pelan-pelan berjalan menuju Pandan, ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah, sembari melirik dan bertanya ke hotel-hotel yang terdapat di sepnjang jalan. Jawabnya sama: sudah penuh. Untung ada satu hotel di Desa Kalangan yang menyatakan masih ada kamar. Demi agar bisa tidur sejenak, dapat mandi, sikat gigi serta buang air, kamar dengan “tarif lebaran” seakan bintang tiga tetapi fasilitas sangat kurang, itu pun terpaksa dibayar. Tidak ada pilihan. Kamar mandi sangat sempit, sulit jongkok, dan yang paling parah, dindingnya sangat jorok penuh bercak tanda tidak pernah digosok/disikat. Jika dihubungkan dengan adanya sepasang insan yang check in bersama dengan kami ―tanpa luggage― tetapi 1-2 jam kemudian mereka check out, maka sulit mengusir kesan bahwa hotel ini tergolong hotel “kitik-kitik”; disewa jam-jaman oleh mereka yang sedang syahwat-an sehingga tidak memerlukan kamar mandi bersih.  
                Dari hotel ini kami bertolak ke pantai.  Imajinasi tentang pantai telah memanggil kami datang pada pekan liburan lebaran 2018 ini. Sebab, menurut apa yang ada dalam bayangan, Pantai Barat Sumatera memiliki panorama indah dan lebih berpasir ketimbang Pantai Timur. Sehingga, kalau nanti akan bermain-main pasir dan air laut di pantai yang terus didesir oleh gelombang Samudera Hindia itu, maka lelah berjalan seharian menuju lokasi itu pun akan sirna. Ayunan di kendaraan saat melewati tikungan yang tak kunjung henti antara Tarutung dan Sibolga sepanjang 61 km, itupun akan pupus. Namun, karena pantai penuh sesak oleh pengunjung dan sampah hari sebelumnya juga masih bergelimpangan di sana, akhirnya kami hanya singgah sejenak mengambil foto. Meski para turist guide (tepatnya pengemudi boat) berkali-kali membujuk kami untuk nyebrang dengan boat yang mereka kemudikan ke pulau Poncan, tentu dengan tarif di luar kemampuan saku, dan saya tetap tidak yakin akan menemukan pantai bersih di sana. Alasannya, orang yang diangkut ke sana, saya yakini seragam budayanya dengan yang tidak nyebarang.  Di samping itu penanganan sampah di sana pun masih tak meyakinkan saya: entah ada atau tidak ada penanganannya. Dari pada kecewa, atau sedih melihat destinasi yang bagus tetapi tak diurus, padahal dijangkau dengan biaya besar, saya berketetapan hati untuk meninggalkan saja pantai Bosur dan Pandan Tapanuli Tengah. Kami bergerak menuju Padangsidimpuan, salah satu Kota Besar di Selatan Tapanuli.
Suasana Lebaran hari ke dua di sepanjang jalan menuju Sidimpuan sungguh terasa. Desa-desa yang dilewati ramai dengan mobil-mobil parkir, yang menjadi pertanda pemudik ada di sana. Anak-anak yang mengenakan baju baru, baju lebaran, dengan tembakan (senjata mainan) di tangan, tidak henti tembak-tembakan dengan anak sebayanya yang kebetulan melintas. Orang-orang dewasa, laki perempuan, mengenakan busana-muslim tampak dari tampilannya, datang bersilaturrahmi ke rumah-rumah sanak saudara. Riang gembira sangat dominan menyertai hari Idul Fitri ini. Muda-mudi yang menggunakan sepeda motor, hilir mudik, dan sangat sering kelihatan agak ugal-ugalan mengemudikan kendaraannya, sehingga terkesan tidak berhati-hati. Kesan ‘mentang-mentang orang setempat lalu berkendara sesuka hati’ itu sangat kuat tertangkap dalam laku perbuatan mereka. Melaju di tengah-tengah jalan, berhenti juga di tengah jalan. Tidak mau minggir walau diklakson. Sangat jarang pemotor yang mengenakan helm, bahkan banyak yang melaju di jalan tanpa plat nomor polisi.
                Kota Padangsidimpuan relatif sepi saat itu. Toko-toko nyaris tutup seluruhnya. Penjual makanan menumpuk di seputuar pusat perbelanjaan Ramayana, kota itu. Di sini banyak pedagang yang menjual makanan seperti sate, kue pancung, mie bakso, martabak, gorengan dan lain-lain. Pada hari itu, sudah ada juga pedagang yang menjual pakaian. Toko kelontong pun ada yang buka, dan penjaganya mengenakan busana muslim yang agak khas lebaran. Kami makan di kawasan ini, di sebuah warung makan bernama Mila Karmila. Tak kami sangka di sini ada makanan khas berupa soto yang cukup asik bagi saya dan keluarga. Suiran ayam sedikit, ada bihun, tauge, potongan tomat, tahu, kentang, telur, serta daun bawang dan seledri ditambah bawang goreng plus kerupuk. Wadahnya adalah piring kaca cekung dan bukan mangkuk seperti banyak terdapat di mana-mana. Soal rasa memang klasik. Maklum, yang meracik juga nenek-nenek. Pelayan warung yang berusia muda, tampaknya hanya melihat si nenek meracik sambil membantu-bantu apa yang diminta oleh nenek. Sempat saya dengar si nenek bicara dengan tamu, dan Ia menggunakan bahasa Jawa. Orang Jawa, seperti diketahui, sudah lama ada dan tersebar luas di Sumatera, termasuk Padangsidimpuan. Oleh sebab itu akulturasi Jawa-Angkola, sepertinya terpancar pada rasa soto yang asin, pedas, tetapi tetap tersedia kecap manis dan saus sebagai penyedap rasa.
                Sesepi-sepinya Kota Padangsidimpuan (16/6/18) dari hiruk-pikuk orang dan kendaraan, sebenarnya tetap saja ramai. Hanya saja ramainya orang dan kendaraan yang ada itu tidak menyebabkan kemacetan. Dengan keadaan agak lengang macam itu, pemandangan lebih leluasa. Di sinilah saya melihat banyak tumpukan ―kalau tidak boleh disebut gunungan― sampah. Nyaris di setiap pangkal gang atau jalan, terdapat onggokan sampah yang cukup tinggi. Ada kesan sudah cukup lama tidak ditangani. Libur lebaran (11/6/2018) barangkali menjadi alasannya. Perlu digarsibawahi para pekerja di kedinasan pemerintah sudah bersemangat libur sejak dari Jum’at (8/6/18). Tapi apakah karena libur panjang lalu sampah boleh dibiarkan bertumpuk-tumpuk mengotori wajah kota? Ini mis-management namanya. Manajemen mestinya tidak demikian. Berikan tugas kepada mereka yang tidak berlebaran untuk bekerja menangani sampah yang menghasilkan bau, kotor dan penyakit itu. Sampah tidak boleh dibiarkan menumpuk atau terserak dalam waktu lama.  Selain jelek, jorok dan tidak rapi, juga rawan penyakit. Namun kenyataan memang demikian. Liburan lebaran tahun 2012 saya juga mendapati banyak tumpukan sampah di kota ini.

               
    Perjalanan dilanjutkan ke Sipirok. Di jalan, yang saya tidak tahu namanya, terdapat tempat rekreasi. Orang ramai sekali berhenti di situ, di pondok-pondok kecil yang leluasa memandang hamparan sawah semi-kuning yang indah. Nun di sana ada bukit-bukit berlapis diselimuti awan tipis, dan gerimis membuat hati dan tubuh terasa sejuk. Sangat kompatibel rasanya jika suasana alamiah ini dipadu dengan hidangan makanan dan minuman hangat. Namun itu hanya dibayangan saja karena kami merasa akan terlalu lama menunggu giliran mengingat banyaknya pengunjung yang mengantri.  Kami cukup melihat dan mengambil foto buat kenangan, dan selanjutnya berangkat meneruskan perjalanan ke Sipirok.

Hujan gerimis menyertai perjalanan ini. Doa rerumputan yang kuning meranggas diterpa panas jelang lebaran kemarin, yang minta agar mereka dicurahi hujan, sepertinya sudah mulai terkabul meski hujan masih enggan turun lebat. Sejuk pegunungan tambah terasa di badan. Jalan berkelok mendaki terus dilalui, hingga tak terasa melewati gerbang Hotel Tor Sibohi yang pernah begitu tertanam dibenakku untuk kuinapi barang sebentar. Semua yang pernah ingat Gubsu Raja Inal Siregar, putra Sipirok yang melontarkan jargon Martabe (Marsipature Huta na Be), itulah yang mewujudkan hotel dengan desain yang indah meski kini mulaui renta itu.
Kubelokkan arah kemudi ke kiri agar singgah sebentar di Hotel Tor Sibohi. Ada maksud di hati untuk bermalam di hotel yang berdiri di punggung bukit dengan pemandangan indah panorama alam, tetapi setelah ditanyai ke petugas, jawabnya sama dengan yang sudah-sudah: maaf sudah penuh. Akhirnya, sesuai niat semula, cukup melihat pemandangan dari restorannya yang klasik sembari mencicipi kopi Sipirok dan goreng pisang kepok yang amat lezat. Hingga mentari hilang, barulah pinus dan pepohonan yang asri, itu lenyap dari pemandangan. Saat di mana kopi tegukan terakhir, dan makanan di meja sudah ludes, kami bergerak melanjutkan petualangan.
Kota Sipirok tidak lagi jauh rasanya, lampu-lampu sudah kelihatan. Makanan yang kuiklankan ke istri dan anak, seperti sudah ada di mulut. “Daging bakar itu ya Pa”, kata anakku. Memang itulah salah satu hal yang membuatku ingin datang lagi ke Sipirok. Bagiku, makanan tersebut, sangat cocok di lidah. Ada bawang iris, ada cabai giling halus, dan jeruk nipis. Ciirrr...liur mengambang di lidah, setiap kali itu kubayangkan. Kucari-cari warung tempatku pertama kali mencicipi makanan ini tahun 1999, dan terus berlanjut hingga tahun 2001, karena Sipirok menjadi tempat penelitianku. Tak kelihatan olehku, di mana warung itu berada. Bolak-balik aku ke arah yang dulu aku sangat kenal, tetapi juga tidak kutemukan. Mau bertanya, aku juga enggan karena apa yang kudapati sekarang jauh berbeda dari bayanganku. Perubahan lingkungan fisik agaknya ikut membuat kebingungan ini terjadi. Begitu juga mungkin karena gelap malam hari. Akhirnya, kami makan makanan lain di warung yang lain, yang kusangka enak, rupanya sangat tidak enak menurut lidahku yang tradisionalist ini. Berbeda apa yang disantap dengan apa yang dibayangkan.
Tidak aku lupa untuk melihat-lihat tempat yang kini ternyata sudah bertuliskan Alun-Alun Sipirok. Warung rempah-rempah tempat aku dulu membeli ikan sale dan madu sudah tidak ada lagi. Bangunan pasar reot dan kumuh itu sudah diratakan dan disulap menjadi taman. Di situ sekarang anak-anak bermain, beristirahat, sambil  bercengkerama. Di situ ada tempat duduk, ada tanaman yang menghiasi kota. Tetapi, hal yang salalu membuat saya bertanya, kenapa kotor? Kenapa sampah harus berserak-serak di tempat itu? Begitu pun di jalan, tempat parkiran. Luar biasa banyaknya sampah bertebaran. Tidak berlebih kalau saya mengatakan malam itu, saya sedang berjalan di atas sampah. Tak ada yang peduli. Orang yang ada di sana malam itu, sama sekali tidak menggubris kotornya pemandangan karena sampah. Seolah-olah itu sudah biasa; bahkan sudah seharusnya kotor demikian. Kutinggalkan malam itu Sipirok dengan catatan kurang elok. Bukan lantaran kecewa tak bertemu daging bakar, tetapi lebih karena sampah yang dibiarkan mengotori lingkungan. 
Di kawasan Aek Latong, tempat di mana selalu tercium aroma belerang, tidak hujan. Kendaaraan pun tidak antri. Meski aspal jalan merekah, yang rekahnya membuat PUPR repot dari dulu untuk menutup dan menimbun, kendaran berjalan relatif lancar. Beberapa anak muda, seperti biasa, selalu mengadakan sesuatu seakan di sana ada keadaan yang kurang baik. Mereka memandu mobil-mobil yang akan menanjak, dan memberi aba-aba untuk mobil yang menurun. Jika tidak hujan,jalan seperti malam ini misalnya, sebetulnya kendaaran lewat saja dengan lancar. Tetapi entah kenapa ada saja sesuatu yang merintangi. Kali ini ada pagar bambu yang membuat jalan menjadi satu jalur. Kendaraan harus bergantian lewat. Pemuda-pemuda tadi, sambil memandu dan menengadahkan wadah kosong ke supir-supir kendaraan, memberikan jasanya kepada pengendara. Tidak ada tarif tetap berapa harus diberi oleh setiap supir. Yang penting, supir semestinya memberi. Berapa pun boleh saja diberi.
Penglihatanku sepintas, tidak ada yang gawat yang harus dicegah dengan pagar bambu setengah badan jalan tadi. Kalau boleh saya menduga, pagar itu sengaja dibuat untuk mempersempit jalur kendaraan, agar kendaraan lewat satu-satu. Sengaja diciptaan kerja agar terkesan seperti dibutuhkan oleh pengendara. Dengan kerja yang ‘tak semestinya’ itu, mereka dapat mengumpul uang dari semua kendaraan yang lewat malam itu. Cara macam ini sudah mentradisi di mana-mana di negeri tercinta ini. Tidak ada yang kuasa untuk mengatasinya. Siapa yang mau dan berani melaksanakan ‘pengumpulan uang melalui jasa kepalsuan’ ini, maka dia akan melakukannya. Predikat Pemuda Setempat (PS) sudah cukup kuat untuk melegitimasi perbuatan itu. Di Sumut, PS amat sangat berjaya. Tangan hukum positip atau hukum negara tidak berlaku atau lumpuh saat berhadapan dengan institusi PS. Di sini, yang berlaku non-state law yang sifatnya hibrida. Bukan dari adat saja, juga bukan dari agama saja. Ini hukum sangat situasional, kontekstual, campuran apik dari segala norma dan sumber hukum yang ada, termasuk dari hukum ‘rimba’.
Ruas jalan Sipirok – Porsea, kira-kira 141 kilometer, melalui sedikitnya 3 tempat yang cukup penting di kawasan ini, yaitu Tarutung, Siborongborong dan Balige. Beberapa hotel lama dan baru, ada di tempat-tempat ini. Di hari 2 lebaran, saat kami ingin beristirahat malam, tidak ada juga tempat tersedia untuk kami. Betul-betul aku heran. Pelataran hotel penuh kendaraan pribadi. Sungguh banyak orang yang berlibur, mengarungi jalan-jalan yang ada, memanfaatkan libur lebaran. Bukankah ekonomi sedang sulit? Ataukah ini gembar-gembor politisi menjelang Pilpres saja? Saya tidak tahu menjawabnya secara ilmiah, tapi dapat merasakan bahwa apabila ekonomi sulit, maka tidaklah mungkin seramai dan sesemarak ini orang mengisi liburannya. Tempat-tempat orang berjualan (bekerja mencari duit) kebanyakan tutup. Padahal, seliweran orang yang padat ini, kalau mau dimanfaatkan oleh yang butuh untuk cari uang melalui jualan makanan, sangatlah potensial. Tetapi nyatanya mereka liburan dan membelanjakan duitnya.
Pengalaman kami tahun 2012, nginap di SPBU, terulang lagi. Anak saya bilang nginap di Hopert (Hotel Pertamina). Tepatnya di SPBU Porsea. Tidak sedikit juga orang berisitrahat di sini. Puluhan mobil dan juga sepeda motor menghentikan kendaraanya di sini sampai pagi, ditemani ninuman instan yang dijual di supermarket yang terdapat di SPBU tersebut. Kami memilih Porsea sebagai tempat istirahat karena ada maksud akan ke Air Terjun Ponot. Sesuai informasi yang kami dapat dari GoogleMap, serta dengan tanya sana-sini, jalur terdekat ke Ponot melalui Jalan Sigura-gura yang pangkalnya ada di Porsea. Subuh sebelum berangkat, kami singgah di Masjid Raya Posea untuk Sholat dan berbasuh: Sikat gigi dan cuci muka. Tidak perlu mandi. Lepas itu, masuk warung, cari sarapan. Letaknya, lagi-lagi, dekat SPBU. Kami ke sana, dan ternyata di warung yang “tak berdinding” ini ada beberapa keluarga pelancong yang bermalam. Tempatnya tentu tidak baik-baik amat, namun cukup keren karena ada balai-balai, ada tikar dan bisa selonjor. (Selonjor adalah posisi sangat istimewa untuk traveling yang panjang).





                  

               
                   
                 
               
               
                  

10 Juni 2018

Buang Air Besar Sembarangan


BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN

Oleh: Fikarwin Zuska

                Kebetulan saja malam ini, tanpa disengaja, aku membuka sebuah link yang ternyata sudah cukup lama kuarsipkan di Blog-ku. Judulnya “Warga Lereng Merapi Berjanji Tidak Berak Sembarangan” (Kompas.com, Kamis, 2 Januari 2014 | 18:19 WIB). Tindakanku menyimpan berita macam ini tentu tidak acak; pasti ada kepentingan atau ketertarikanku padanya. Namun karena lama tak kusadari, maka malam ini aku kaget. Aku kaget karena sejak beberapa bulan terkahir ini aku sebenarnya tengah membimbing 2 orang mahasiswa membuat tugas akhir dengan topik seputar buang air besar sembarangan. Yang satu di sebuah desa di Tapanuli Selatan, dan yang satu lagi di sebuah desa di Kabupaten Dairi. Keduanya di Provinsi Sumatera Utara. Yang satu menggunakan metode survey, yang lainnya menggunakan metode kualitatif. Kebetulan, dua-duanya belum selesai; meski yang satu tinggal menunggu ujian akhir. Hasilnya, tentu, nanti akan dimuat oleh penelitinya sendiri di jurnal agar dapat dibaca oleh banyak orang (khalayak).
Tanpa kusadari hidup di dalam benakku sebuah anggapan yang ternyata sangat bias. Pikirku, yang namanya Buang Air Besar Sembarangan (BABS), itu monopoli orang-orang di Sumatera saja. Pengalaman dari lahir, hidup dan besar di Sumatera, mungkin, membuatku berpikir demikian. Tak terpikir olehku penduduk desa di Jawa, seperti termuat dalam berita di atas, masih berbuat demikian: meluncurkan tinjanya di alam terbuka. Ternyata, aku salah besar. Dan oleh sebab itu kini aku mulai curiga. Jangan-jangan penduduk di pulau lain, semisal Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lainnya, itu pun masih banyak berbuat begitu. Hanya aku harus terus terang: aku tidak/belum memiliki informasi. Berbeda dengan keadaan di Sumatera. Untuk Sumatera aku cukup yakin bisa memaparkan beberapa informasi. Memang sebagian (mungkin) sudah basi alias kurang update. Tetapi tidak ada salahnya ―kalau nanti datanya basi― anggaplah itu sebagai data sejarah kelakuan BAB penduduk di sebagian tempat dan era di Sumatera.
Tahun 1970-an, atau lebih dini dari itu, di kampung tempatku dilahirkan ―Baleatu, namanya, di kota kecil  berhawa dingin Takengon, Aceh Tengah― jarang kudapati rumah memiliki kakus. Kakus, saat itu, tidak termasuk sebagai bagian integral dari sebuah rumah tinggal. Orang-orang dewasa, penghuni rumah-rumah tinggal yang ukurannya tidak terlalu besar, itu umumnya buang hajat di alam sekitar: sawah, ladang dan tanah lapang. Satu dua orang, sesekali, pergi buang hajat ke Sungai Pesangan ―di situ ada WC milik Mersah Padang (untuk laki-laki) dan Mersah Kelaping (untuk perempuan), masing-masing terdiri atas beberapa kamar yang dibangun di atas sungai dengan disokong sejumlah tonggak terbuat dari kayu atau tiang beton. Kebanyakan orang Baleatu, khususnya Baleatu Ujung alias Baleatu Utara (nama formalnya), memanfaatkan lahan sawah di sekitar untuk BAB. Buntul Temil ―sebuah tempat di mana terdapat sumber mata air―sangat penting saat itu bagi kaum ibu Orang Baleatu. Selain menjadi tempat mereka mencuci piring dan pakaian, tempat yang relatif agak terlindung dari pandangan mata itu juga menjadi tempat mereka buang hajat.
Tidak usah kuceritakan betapa harus hati-hatinya orang ―agar tidak menginjak kotoran manusia dan lalu tergelincir― saat berjalan melalui pematang sawah, yang harus dia lewati saat akan menuju ke atau kembali dari Kampung Tetunyung atau jalan Kebayakan (Dua di antara beberapa tempat terdekat yang berbatas dengan Kampung Baleatu).  Juga tidak usah pula kukatakan betapa banyaknya lalat yang terbang akibat rumput-rumput terkibas kaki saat melintas, dan bau menyengat hidung gara-gara kotoran setengah-kering terinjak orang lain yang barusan melintas (Biasanya ia melap-lapkan telapak kaki atau sandalnya ke rumput-rumput yang tumbuh di tepi pematang itu). Tetapi dalam lima sampai sepuluh tahun kemudian (1980-an), sawah ladang di Baleatu beralih cepat menjadi lahan bangunan. Di sekitar itu Pemerintah Daerah membangun Pasar Inpres, membangun sekolah, membangun terminal, yang kemudian diikuti dengan pembangunan ruko-ruko sebagai pertanda adanya perluasan kota. Pemandangan tahun 1970-an betul-betul lenyap. Penduduk Baleatu pun beradaptasi mengubah pola BAB di alam ke BAB di WC. Program pembagian jamban oleh pemerintah daerah saat itu, meski tak semuanya terserap sebagaimana mestinya, ikut mempercepat perubahan laku perbuatan sebagian penduduk Baleatu BAB sembarangan di alam.

Terinjak Pincang
Masih di sekitar tahun 1970-an, saat aku pertama kali diajak ―entah pun juga barangkali mengikut alias ngintil― Bapak bertugas ke pesisir Aceh, di situlah pertama kali aku melihat pantai, dan laut dengan air asin. Di kampungku hanya ada ‘Laut Tawar’, tak lain sebuah danau yang untuk ukuran orang di kampungku dipandang sangat besar. Udara pantai yang panas, membuat tubuhku sangat berkeringat, mataku silau akibat cahaya matahari menerpa pasir pantai. Tapi gelombang laut yang menghempas pantai tiada henti, yang belum pernah kulihat di kampungku, itu tak dapat menahan rasa inginku untuk berlari mendekat. Kubiarkan kakiku diterpa ombak agar basah dan sedikit dingin. Pasir-pasir kucoba-coba untuk dimainkan sampai akhirnya basah semua pakaian yang kukenakan.
Beberapa peringatan dari orang-orang dewasa yang menemani Bapak tidak terlalu kufahami saat itu. Salah satunya, kata dia, “awas kaca lunak, kalau terinjak pincang!”. Tak dapat kumaklumi kata-kata itu, sampai akhirnya benar kurasakan. Ternyata, orang-orang sekitar pantai buang hajat di tepi laut. Sebelum gelombang-pasang menghanyutkan, ‘si kuning’ itu sempat mengering. Kalau terinjak kaki, langsung pincang karena dalamannya yang masih basah membuat telapak kaki malas merapat ke tanah. Pada saat itu kotoran manusia akibat BAB sembarangan di tepi pantai memang sangat banyak. Tak terpikir olehku saat itu jika rumah-rumah penduduk di sekitar pantai tidak memiliki jamban.   

Shock
                Tahun 1994 aku melakukan penelitian di sebuah desa di kaki Hutan Damar di daerah Krui, Lampung Barat. Aku tiba di desa itu senja hari. Tak ada seorang pun yang aku kenal. Begitu turun dari kendaraan angkutan umum trip terakhir di rute itu, aku mencari rumah Kepala Desa. Kutanya kepada orang-orang yang kutemui, lalu kuikuti arahannya, hingga akhirnya aku menemukan rumah tersebut. Aku dipersilahkan naik ke rumah panggung milik Pak Kades, yang saat itu ternyata ia sedang bersama dengan Pak Sekdes dan salah seorang pengurus pemerintahan desa. Kunyatakan maksud dan kedatanganku, serta kuutarakan dari mana asal kedatanganku. Muncul berbagai tanya-jawab, termasuk ihwal tempat tinggalku selama di desa tersebut. Pak Haederus, nama Kades itu, menyuruhku tinggal di rumah Pak Sekdes saja karena di rumah Sekdes ada kamar kosong. Lebih dari itu bahwa di rumah pak Sekdes ada anak lajang yang bisa menemaniku. Namanya Herri, kelas 2 Sekolah Menengah Atas.
                Dengan senang hati arahan pak Kades kuterima. Rasa was-was, takut bakal tak ada tempat tinggal, yang bergelayut di benakku sejak kemarin,  terjawab sudah. Aku langsung dibawa oleh pak Sekdes ke rumahnya. Bapak bernama Ali Bakri ini sangat baik, isteri dan anak-anaknya juga sangat ramah. Malam itu juga aku diperkenalkan, dihidang makan, di bawah cahaya lampu minyak. Lepas makan dan berbasa-basi sebentar aku dipersilahkan naik ke loteng, menuju kamar yang akan kutempati berdua Herri. Lelah seharian membuatku cepat terlelap, dan pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan keluar dari kamar. Kuperhatikan denyut kehidupan desa dari jendela ruang tamu dengan leluasa: di depan rumah ada sungai kecil (siring, kata orang setempat); di seberangnya ada sawah yang terhampar luas, satu-dua rumah muncul di tengah-tengahnya; dan jauh di ujung sana tampak hijauan yang menyejukkan mata (itulah rupanya yang kemudian aku kenal sebagai kebun damar alias repong).  
                Sekitar pukul 07.00 Wib aku mencoba turun melalui tangga yang terdapat di samping. Tangga rumah ini ada belokan dan langsung ke luar (halaman) rumah. Sambil melihat ke sana ke mari, pak Ali Bakri ―yang kemudian kusapa Udo (abang)― nongol dari pintu depan lantai bawah rumah. Seperti bapak-bapak lainnya, dia mengenakan kain sarung. Sambil menyalakan rokok masing-masing, kami bercakap-cakap. Belum ngopi, belum sarapan, kami sembari berjalan perlahan bergerak ke arah rumah kades. Di bagian samping rumah Kades kulihat sudah ada beberapa bapak-bapak, ngobrol sambil berdiri dengan Kades. Kami datang dan ikut nimbrung bercerita. Aku tentu tidak tahu apa yang mereka cakapkan. Aku hanya memperlihatkan sikap hormat saja, mendengarkan percakapan di antara mereka.
                Aku memperhatikan Sungai Way Laai yang mengalir deras dengan riam serta batu-batu yang cukup besar. Kudengarkan gemercik air sungai yang sendu. Asalnya tak jauh dari tempat kami berdiri. Bahkan, ada satu anak sungai ―siring kata orang sana― yang letaknya lebih dekat lagi dengan tempat kami berdiri pagi itu. Itu pun mengeluarkan bunyi gemerincing yang menghadirkan haru. Tapi yang kemudian membuatku terbelalak di situ ada titi kayu buat melintas ke areal kebun damar (repong). Ibu-ibu yang akan pergi ke ladang, banyak lewat dari titi itu. Setiap yang lewat selalu disapa atau menyapa bapak-bapak yang berdiri. Basa-basi menanyakan sesuatu. Termasuk ketika, tiba-tiba, pak Kades mengangkat sarungnya, lalu jongkok di titi yang dilewati itu, dan ternyata ia buang hajat di situ. Bapak-bapak yang lain, yang sedari tadi bercerita dengannya, tidak bereaksi apa-apa. Mereka terus saja bercerita. Tidak merasa ada sesuatu yang aneh. Bahkan pak Kades yang lagi buang hajat itu pun masih saja sempat menyapa ibu-ibu yang lewat. Terus terang aku shock melihat adegan Pak Kades buang hajat di ruang umum seperti ini. “Tidak sopan, tidak senonoh”, kataku dalam hati.  
                Ternyata yang aneh justeru aku. Buang air besar di desa ini memang demikian caranya. Satu dan lain orang yang sedang buang hajat di batu-batu di sungai, saling bercerita; ketawa dan bercakap-cakap. Yang satu sedang buang hajat, yang lain tidak, itupun bisa saling bercakap-cakap. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Maka, waktu pertama kali aku melakukannya, meski sempat ditunda-tunda, akupun merasa canggung. Aku harus memakai kain sarung terlebih dahulu. Aku tidak boleh mengenakan jeans, atau celana pendek. Adegan jongkok buang hajat tanpa mengenakan sarung bisa timbul aib. Sarunglah satut-satunya pakaian yang paling fleksibel untuk keperluan begini. Untuk yang pertama kulakukan, sarung milikku terpaksa basah kena air sungai. Masih untung kain sarung tidak kena unsur yang lainnya.

Wajah Membiru
                Setelah satu bulan aku berada di desa, datang temanku seorang mahasiswi S1 yang juga masuk dalam rombongan peneliti Antropologi Ekologi UI untuk memahami Pengelolaan Hutan Damar Krui. Sebelumnya ia meneliti kegiatan prosessing damar mata kucing di gudang-gudang damar di Kota Kecamatan, Krui. Sekarang giliran dia menelusuri proses produksi damar mulai dari hulu (desa).
Tidak ada persoalan pada awal dia tiba. Dia dengan senang hati tinggal di desa melakukan penelitian. Persoalan muncul perlahan-lahan dalam dirinya, terutama ketika ia harus BAB. Di mana ia akan melakukannya? Di rumah keluarga tempatnya tinggal, tidak ada fasilitas WC. Warga rumah, seperti penduduk lainnya, melakukan BAB di sungai. Itulah yang dia tidak bisa lakukan. Dia tidak mampu BAB di ruang terbuka. “Malu, dilihat orang”, katanya. Akibatnya ia menahan sakit (kebelet) hingga tiga hari. Dalam pandanganku, wajahnya sampai berwarna biru. Biru karena menahan kebelet berlama-lama.
                Semua perempuan di desa ini BAB di pinggir sungai. Coba kamu pelajari bagaimana mereka bisa seperti itu. Lalu coba kamu perhatikan, adakah orang ―baik laki-laki atau perempuan― yang dengan sengaja melihat-lihat orang lain sedang BAB?”, terangku padanya. “Tidak, kan? Tidak!”, kataku berulang-ulang untuk meyakinkannya. Akhirnya, dia memberanikan diri. Diam-diam ia mengikuti cara-cara orang setempat BAB di sungai. “Pakai kain sarung. Itu kuncinya”, kataku.  Aduh, akhirnya berakhir juga penderitaan ini”, katanya melaporkan ‘prestasinya’ kepadaku. “Orang sini tidak melihat aneh orang BAB di sungai”, tambahnya. Sejak itu, normalitas kehidupannya mulai berjalan. Dengan normalitas itu dia dapat melanjutkan penelitiannya.

Penutup
                Persoalan yang sempat teramati olehku sejak 1970-an, itu ternyata belum rampung hingga kini di seluruh negeri. Paling tidak seperti yang sedang dan akan ditulis oleh 2 orang mahasiswa yang sedang kubimbing di atas. Tempat kasusnya memang di pedesaan sehingga orang yang membaca hasilnya nanti, terkhusus yang membaca sepintas, mungkin akan berkata: “di kampung kayak gitu, ya biasa lah”. Ini sesungguhnya salah. Di salah satu sudut, katakanlah pinggiran, Kota Medan, praktik buang air besar di sungai masih berlangsung. Fany, bakas mahasiswaku, yang skripsinya aku bimbing mengenai program sanitasi, menyebut   pesismismenya setelah meneliti. Gab antara masyarakat dengan inovator program masih ada; ketidaksesuaian teknologi dengan lingkungan dan kebutuhan belum sesuai, ditambah pula proses sosialisasi dan pendampingan yang kurang mendalam.
                Sebagai orang yang meyakini bekerjanya relasi-kekuasaan dalam segala kancah sosial, aku cukup yakin bila pemerintah, dalam hal ini orang-orang (petugas) yang menjalankan fungsi pemerintahan di lapangan, itu persisten dengan visi-misi pemerintahan, perubahan perilaku BABS pasti bisa terjadi. Kampungku sudah tamat dengan masalah itu sejak tahun 1980-an. Memang bukan hanya karena pemerintah, tapi ke-agency-an anggota masyarakat dalam memodernisir diri ―terutama melalui pendidikan sekolah sebelum dekade itu― pun sangat menentukan.
               









               
               


LIBUR LEBARAN DI ASAHAN-BATUBARA

Dua atau tiga kilometer sebelum Inderapura, ada areal perkebunan yang terbelah oleh jalan raya pantai timur Sumatera ruas Medan-Kisaran bernama Perkebunan Tanjung Kasau. Matahari sangat terik ketika itu. Suhu udara di alat pencatat sekitar 35 derajat Celcius. Perut sudah agak keroncongan karena hari sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Lontong lebaran yang disantap pagi tadi,  sudah pupus daya tahannya. Saat itulah kendaraan saya tepikan, lalu belok ke kiri memasuki jalan kebon, dan parkir dengan tenang tanpa mengganggu arus lalu-lintas yang sangat ramai.

Pohon-pohon sawit yang rindang membuat teduh dan sejuk udara di sekitarnya. Terik jalan aspal yang memancarkan fatamorgana hilang seketika di bawah sawit yang bergiat menyemprot oksigen kepada manusia yang sedang berteduh dengan sehelai tikar sembari bersantap di bawahnya. Lontong, nasi, roti jala, dan semua penganan lebaran yang diangkut dari rumah, pun lalu dimakan di situ dengan lahapnya. Orang-orang yang berseliweran di jalan, mungkin ada yang melihat kami berteduh di situ --duduk-duduk sambil makan--  rupanya tertarik juga dengan tempat ini. Buktinya satu mobil Katana yang penuh penumpang, datang dan memarkirkan mobilnya dekat kami. Penumpangnya turun, menggelar tikar, dan ada yang bergolek sambil mengunyah penganan.

Hal yang tidak bisa dilewatkan oleh orang-orang masa kini dalam segala situasi adalah membuat foto. Gadget yang tak pernah luput di tangan, spontan saja membidik sana-sini panorama ataupun potret. Kata anak saya "selfi". Bagi saya, entah kenapa, tanaman palm sangat indah untuk difoto. Begitu  juga kalau dijadikan latar sebuah foto. Orang-orang jadi tampak indah dan cantik. Apalagi kalau pakaiannya juga baru, pakaian lebaran, tentu akan lebih bagus dari hari biasa. "Ada banyak kita dapat dari momen ini", kata anak saya. Satu, istirahat melepas lelah karena perjalanan yang macetnya banyak; dua, kenyang, karena sudah bisa dengan nyaman melapas haus dan dahaga; tiga, indah, karena ada panorama; empat, bisa berselfi ria.

Setelah berkemas, perjalanan dilanjutkan ke Lima Puluh, dan belok kiri menuju Tanjung Tiram. Saya sudah beberapa kali datang ke wilayah ini dengan berbagai tujuan. Ada datang karena penelitian ekonomi rumahtangga nelayan; ada karena ekspedisi geografi Indonesia (EGI), bahkan pernah datang karena saya menjadi anggota tim seleksi KPUD Batubara tahun 2008. Peran ini membuat saya datang berkali-kali ke Lima Puluh (Ibukota Kabupaten Batubara).Namun yang saya ingin catat, baru kali ini saya datang pada waktu Hari Raya Lebaran; sebuah momentum yang orang lain selalu gunakan untuk bersilaturrahmi dengan sanak keluarga. Sementara saya dengan keluarga tidak sedang bersilaturrahmi, melainkan berwisata alias tamasya. Jadilah hiruk pikuk warga masyarakat di jalanan menjadi perhatian kami (khususnya saya). Baju dan sepatu yang dikenakan, gaya rambut dan celana yang ditampilkan, jilbab dan baju kurung yang disandang, semuanya menjadi perhatian. Kegiatan yang dilakukan, atraksi jalanan penumpang kendaraan yang ditampilkan, seluruhnya memberi makna yang tak lepas dari lebaran: ekspresi kegembiraan dan keagamaan.





                             
                                      Foto-foto di Jalan Raya Ruas Medan - Limapuluh


















    

07 Februari 2016

Pendekatan Pluralisme Hukum

PENDEKATAN PLURALISME HUKUM
Fikarwin Zuska
Antropologi FISIP USU

Abstrak
Makalah ini akan menjelaskan perkembangan pemikiran atau pendekatan pluralisme hukum (legal pluralism), perdebatan-perdebatan di seputarnya, serta tokoh-tokoh yang menonjol dalam bidang itu. Bahan yang digunakan untuk menyusun makalah ini berasal dari  beberapa sumber bacaan yang dapat diakses dan dinilai berkompeten menjelaskan topik pluralisme hukum beserta perkembangannya. Sumber-sumber bacaan itu secara tidak langsung akan disebut dalam makalah ini, baik sebagai kutipan, catatan kaki, ataupun daftar pustaka. 

Pluralisme hukum dalam antropologi hukum
Berdasarkan sumber-sumber bacaan yang dapat diakses dan difahami isinya, saya melihat bahwa pluralime hukum yang dibahas dalam Antropologi Hukum adalah pluralisme hukum sebagai salah satu hasil atau pencapaian dari proses perkembangan pemikiran dan kegiatan-kegiatan ilmiah ahli-ahli antropologi yang menjadikan hukum sebagai objek studinya. Pluralisme hukum, oleh karena itu, bukan hanya salah sebuah tema kajian (fenomena hukum) tetapi juga sebuah pendekatan yang mengejawantahkan di dalam dirinya aliran-aliran pemikiran teoritis dan metode-metode yang disesuaikan dengan konteks dan kepentingan. 
Ketika pertama kali hukum dijadikan objek studi oleh para ahli Antropologi, pemikiran teoritis yang menguasai mereka pada masa itu bukanlah pluralisme hukum melainkan teori-teori evolusionistik. Karakter utama teori evolusionistik adalah mengkonstruksikan perkembangan (evolusi) masyarakat di muka bumi―termasuk hukum yang terdapat di dalamnya―ke dalam skala evolusi universal, mulai dari tahap yang paling sederhana (awal) hingga   tahap yang paling kompleks. Benda-Beckmann (1989:69 ) menyebut sebagai contoh dari pekerjaan semacam itu, antara lain buku “Ancient Law’  (1861) dari Maine dan ”Das Mutterrecht” (1861) dari Bachofen. Saya melihat teori evolusi sosial universal dari Spencer mengenai hukum, seperti diuraikan Koentjaraningrat (1987:36), juga dapat digolongkan ke dalam kategori: pengkajian evolusi hukum ini.  Metodologi mereka saat itu, lanjut Beckmann, dikenal sebagai ‘armchair anthropology’. Armchair Anthropology berarti bekerja di balik meja tanpa fieldwork dan hanya memanfaatkan bahan-bahan dari bacaan-bacaan berupa laporan perjalanan para musafir, laporan para peneliti alam, penyiar agama nasrani, dan adminstrator kolonial (Benda-Beckmann 1989:69). Pembicaraan mengenai pluralisme hukum belum kelihatan atau, dengan lain perkataan, belum menjadi perhatian para ahli antropologi pengkaji hukum. 
Begitu juga ketika teori-teori evolusi mulai menurun pengaruhnya dan teori-teori fungsionalis serta struktural-fungsional mulai berkembang dalam antropologi, pembahasan mengenai pluralisme hukum belum sepenuhnya menarik perhatian para antropolog pengkaji hukum. Pengkajian hukum oleh para ahli antropologi pada masa ini (paroh pertama abad 20), sesuai dengan watak pendekatannya,  adalah menganalisis fungsi dari bagian-bagian suatu masyarakat tertentu di lapangan (fieldwork), termasuk hukum, terhadap keseluruhan masyarakat yang dipelajari. Perdebatan antara Bronislaw Malinowski dan Redcliffe-Brown tentang ada tidaknya hukum dalam masyarakat ‘primitif’, seperti sering diangkat Koentjaraningrat dalam beberapa tulisannya (1989; 1987), merefleksikan tema dan pendekatan yang berpengaruh masa itu. Tetapi  “Ambisi universalis dan evolusioner sebagian besar dikesampingkan…..  Sejarah menjauh dan studi perbandingan menjadi langka. Pembatasan yang lebih tegas tentang apakah hukum menjadi sangat penting ”, kata Beckmann (1993:5). Namun kerja lapangan  (fieldwork) menjadi syarat mutlak.
Menyusul kebutuhan akan definisi yang jelas tentang hukum serta fungsinya di dalam masyarakat, kegiatan akademik antropolog pengkaji hukum kian terfokus pada kasus sengketa dan proses-proses sengketa. Menurut Hoebel, sebagaimana dikutip Ihromi (1993:197), bahwa metode kasus sengketa merupakan metode paling tepat untuk mengungkapkan hukum yang memang ‘bekerja’ (hukum substantif) di dalam masyarakat, termasuk pada masyarakat yang tidak mengenal tulisan. Hukum, yang tidak lain adalah untuk membereskan gangguan di masyarakat, kata Hoebel, akan terungkap bila kasus-kasus sengketa dipelajari. Hukum bersemai dari sengketa-sengketa, berkembang berdasarkan sengketa-sengketa atau pada prospek mengenai timbulnya sengketa. Hukum bereksistensi supaya dapat mengendalikan perilaku, sehingga pertentangan-pertentangan kepentingan tidak tercetus menjadi konflik terbuka. Bahkan suatu prinsip hukum tidak bisa dikatakan berlaku dan bertahan apabila tidak pernah muncul sengketa, di mana prinsip tersebut akan teruji.  Bidang antropologi hukum, menurut Charlotte Seymour-Smith (1986:163), sangat erat kaitannya dengan teori-teori konflik dan filosofi konflik. 
Setelah pengkajian mengenai kasus sengketa dan penyelesaian sengketa berkurang, muncul kecenderungan baru di kalangan antropolog pengkaji hukum pada apa yang dinamakan pluralisme hukum. Benda-Beckmann (1993:6) menyebut kecenderungan ini muncul pada akhir 1960-an dan yang pada tahun 1970-an mendapat perhatian secara sistematik. Perhatian sistematik pada pluralisme hukum tidak hanya dalam bidang penyelesaian sengketa, melainkan juga di luar penyelesaian sengketa. Karya dari ahli antropologi hukum Amerika, Sally F. Moore, kata Benda-Beckmann (1993:7), sangat mengilhami perkembangan pengkajian pluralisme hukum di luar bidang sengketa tersebut.  

Teori Pluralisme Hukum
Uraian di atas hanyalah sekedar untuk menggarisbawahi bahwa ada banyak tema perhatian dan alur pemikiran teoritis yang mempengaruhi antropolog pengkaji hukum. Pengkajian mengenai pluralisme hukum, dan teori-teori yang berkembang di bawah payung pluralisme hukum,  hanya salah satu di antara hasil aktivitas ilmiah mereka.  Dan makalah ini akan mencoba memaparkan perkembangan dan kedalaman dari kajian tersebut hingga dewasa ini.  
Pandangan bahwa hukum di masyarkat tidaklah tunggal-melainkan plural- sudah lama terdapat dalam literatur. Tetapi pluralitas yang dimaksud lebih cenderung menunjuk pada adanya satu situasi khusus yang ‘pluralistik’ dikarenakan raja (pemegang kedaulatan), misalnya, bertitah atau grundnorm  mengakui adanya badan-badan hukum yang berbeda (different bodies of law) untuk kelompok-kelompok yang berbeda (etnik, agama, dll) di dalam suatu masyarakat sebagaimana halnya hukum adat (the customary law). Griffiths (1986a) menamai pluralisme hukum dalam pengertian seperti ini, weak legal pluralism (pluralisme hukum lemah). Pengertian ini, menurut Griffiths, dipengaruhi oleh ideologi legal centralism (sentralime hukum). Legal centralism, menurut Griffiths, merupakan warisan ideologis revolusi borjuis dan hegemoni liberal mengenai hakekat hukum dan tempatnya dalam kehidupan sosial. Menurut ideologi ini hukum adalah hukum negara dan harus merupakan hukum negara, seragam bagi semua orang, eksklusif dari semua hukum yang lain, dan dijalankan oleh seperangkat institusi-institusi negara. Tatanan-tatanan hukum yang lain, sejauh tatanan itu diakui oleh negara, maka tatanan hukum lain itu secara hirarkis harus merupakan subordinat dari hukum dan institusi-institusi negara. Menurut Griffiths ideologi sentralisme hukum inilah yang lama sekali menghambat pengembangan teori hukum deskriptif (a discriptive theory of law) dan juga observasi yang akurat (accurate observation) mengenai realitas hukum dalam kehidupan sosial. Lawyer dan ilmuan sosial, gara-gara ideologi ini, tidak mampu melihat realitas hukum negara modern yang sebenarnya. 
Sistem hukum negara modern, kata Griffiths, sebenarnya berupa kumpulan taksistematis dari bagian-bagian yang takkonsisten dan overlaping. Itulah sebabnya dengan didukung antara lain temuan penelitian Galanter bahwa hukum dalam masyarakat modern adalah plural ketimbang monolitik, Griffiths mengatakan sentralisme hukum adalah sebuah mitos, klaim dan ilusi. Walaupun selama ini ideologi sentralisme hukum sudah dijadikan batu fondasi bagi banyak teori sosial dan hukum, itu tidak lain karena keberhasilan ideologi itu menyamarkan ilusinya itu seolah-olah merupakan fakta. Padahal yang sebenar-benar fakta, lanjut Griffiths,  adalah pluralisme hukum. 
Pandangan pluralisme hukum dalam arti lemah, sperti tersebut di atas, mengakui pluralisme hukum sepanjang negara mengakuinya. Hukum-hukum mana saja yang dianggap ikut membentuk pluralitas hukum dalam masyarakat, menurut faham ini,  tergantung atau ditentukan keberadaannya oleh seberapa jauh negara mengakui keberadaan hukum-hukum lain selain dari hukum negara. Dan hukum-hukum lain itu, selanjutnya, harus tunduk kepada atau menjadi sub-ordinat dari hukum negara. Biasanya, kata Griffiths, pengakuan akan adanya hukum-hukum lain bagi kelompok tertentu di dalam suatu negara, seperti tersebut di atas, hanyalah sebuah teknik pemerintahan demi alasan-alasan pragmatis (Griffiths 1986a:5) .  
Berbeda dengan pluralisme hukum dalam arti lemah, pluralisme hukum dalam arti ‘kuat’ (strong legal pluralism), menurut Griffiths, menunjuk kepada situasi dimana tidak semua hukum merupakan hukum negara dan tidak juga semua hukum dilaksanakan oleh perangkat institusi-institusi hukum negara, sehingga dengan demikian hukum tidaklah sistematis dan juga tidaklah seragam. Jadi, sesuatu hukum menurut pandangan ini akan tetap sebagai hukum meski tidak mendapat pengakuan dari negara. Begitu pula dengan kedudukannya terhadap hukum negara. Pandangan‘strong’ ini, menurut hemat saya, membuat “hubungan  antara hukum-hukum non-negara (non-state or unofficial law) dengan hukum negara  menjadi tidak relevan. Hirarkis ataukah setara, berubah-ubah atau bahkan tak terkaitkah sama sekali, menurut hemat saya, adalah soal ‘nanti’ setelah keluar dari lapangan. 
Ahli antropologi hukum, menurut Griffiths, tidak sulit menerima faham pluralisme hukum dalam arti kuat (strong) atau empirik ini, karena mereka mendefinisikan hukum bukan menurut negara tetapi menurut otoritas atau institusi. Mereka dengan ringan saja dapat menggambarkan sebuah desa atau tribe sebagai sebuah social field yang memiliki hukum sendiri, berada dalam konteks negara dan hukumnya yang lebih besar.
Makalah ini berada dalam jalur pluralisme hukum dalam arti kedua, yaitu jalur ‘strong legal pluralism’. Jalur ini adalah jalur yang dapat membuka dan menggali serta memperkenalkan sebegitu banyaknya hukum atau jumlah hukum yang hidup di masyarakat sehingga hampir takterbatas jumlahnya. Jalur ini adalah jalur di mana teori-teori hukum  deskriptif bisa dibuat dan diperkembangkan secara empirik. Griffiths (1986a) mengungkapkan sejumlah teori yang ada di ‘jalur’ ini dan mengurutnya berdasarkan tingkat kecanggihannya. Dimulai dengan teori “legal level’ dari Pospisil, teori “corporations” dari Smith, teori “living law” dari Ehrlich, dan terakhir konsepsi “semi-autonomous social field” dari Moore. Tentu saja tidak ketinggalan komentar dan pendirian Griffiths sendiri selaku penulis artikel mengenai teori-teori yang dibahasnya. 
Pembahasan tentang pluralisme hukum setelah penerbitan artikel Griffiths (1986) tentu tidak henti-hentinya. Bermacam interpretsi tentang pluralisme hukum berkembang.  Hal ini pun, sejauh diketahui, akan dikemukakan dalam makalah ini. 
Legal Level dari Pospisil
Griffiths (1986a) mengatakan bahwa Pospisil  mengajukan teori “legal level” untuk menerangkan gejala pluralisme hukum yang terdapat dalam masyarakat. Hukum dalam masyarakat, menurut konsepsi Pospisil, itu adalah bertingkat-tingkat, sebangun dengan konsepsi dia tentang masyarakat sebagai suatu mosaik yang terpola, yang terbentuk dari sub-sub kelompok yang termasuk ke dalam tipe-tipe tertentu, dan yang biasanya terdefinisi (atau dapat didefinisikan) dengan baik, dengan keanggotaan, komposisi dan tingkat keinklusifan yang berbeda-beda. Tiap-tiap sub-kelompok itu sangat menggantungkan eksistensinya kepada sebuah sistem hukum milik kelompoknya sendiri yang mengatur perilaku anggota-anggotanya. 
Kemudian Pospisil menambahkan bahwa sistem-sistem hukum yang mewujudkan dirinya dalam struktur masyarakat itu, membentuk sebuah hirarki yang merefleksikan tingkat keinklusifan dari sub-sub kelompok yang saling terkait. Total dari sistem-sistem hukum milik sub-sub kelompok dari tipe dan keinklusifan yang sama itu disebut ‘legal level’. Sistem-sistem hukum itu dapat dipandang sebagai milik dari level-level hukum yang berbeda-beda, yang berlapisan satu di atas yang lain. Sistem dari kelompok yang lebih inklusif  akan berlaku bagi anggota-anggota semua sub-kelompok konstituennya. 
Griffiths melihat dalam apa yang dijelaskan Pospisil dengan teori ‘legal level’ ini terkandung perspektif ‘a whole-society’ yang dominan. Level-level hukum dikonsepsikan sebagai tatanan dari ‘self-regulating’ sub-sub kelompok yang merupakan balok-balok dari bangunan masyarakat. Tatanan hukum dianggap sama dan sebangun dengan struktur sosial, tetapi eksistensi empirik dari hukum kelompok itu tak bergantung pada pengakuan negara. Inilah, kata Griffiths, konsepsi Pospisil tentang pluralitas hukum dalam artian ‘strong'. 
Tetapi menurut Griffiths konsepsi ini terlalu dibatasi dan terlalu ideal untuk suatu realitas sosial yang pantas. Bagaimana orang bisa berurusan dengan hukum-hukum dari kelompok-kelompok yang bukan merupakan bagian dari penataan hirarkis dan tidak dapat ditempatkan pada sebuah ‘legal level” di masyarakat? - misalnya kelompok-kelompok seperti klub, gang, gereja dan lain-lain. Pospisil, dalam hal ini, tidak memberikan instrumen lain yang lebih akurat, kata Griffiths.
Selain itu, kelemahan konsepsi ‘legal level’ dari Pospisil, menurut Griffiths, adalah atas pengertiannya  mengenai hukum yang terpacak pada kelompok-kelompok spesifik dengan keanggotaan yang terdefinisi dengan baik; hukum tidak ‘float around’ dalam masyarakat manusia secara bebas. Hal ’terdefinisi dengan baik’ dan ‘spesifik’ ini mengesankan adanya keterjalinan struktural yang statis yang tidak bisa dibenarkan dalam teori deskriptif. Persoalannya bagaimana kalau kita tidak melihat kenyataan ‘terdefinisi dengan baik’ atau ‘spesifik’ seperti itu?. 
Teori pluralisme hukum lainnya datang dari M.G. Smith, yaitu teori ‘corporations’. Teori ini, menurut Griffiths, berangkat dari pertanyaan politik. Smith menganggap bahwa korporasi merupakan unit dasar dari struktur sosial dan merupakan lokus tindakan politik. Keanggotaan seseorang dalam suatu korporasi adalah sumber original dan fundamental dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosialnya. Korporasi, dengan demikian, menjadi ‘sociological framework of law’ di masyarakat. Dan karena dalam masyarakat ada banyak korporasi-korporasi, maka terjadilah apa yang dinamakan pluralisme hukum di masyarakat. 
Politik, menurut Smith, mengacu pada urusan publik; apapun kiranya urusan publik itu. Dan ‘organisasi politik’ mengatur urusan-urusan publik tersebut. Publik, kata Smith, adalah suatu kelompok yang dapat dianggap kekal dan abadi, dengan keanggotaan dan batas-batas yang sudah tertentu, mempunyai sebuah organisasi internal dan seperangkat relasi-relasi eksternal, suatu satuan dari urusan-urusan bersama yang eksklusif, serta mempunyai otonomi dan prosedur-prosedur yang cocok untuk mengaturnya. Kalau sejumlah kelompok dibentuk sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya, identitas, otonomi, organisasi, dan urusan-urusan eksklusivnya tidak terganggu oleh keluar-masuknya anggota-anggota individualnya, maka kelompok-kelompok itu berarti telah mempunyai karakter publik. Ia, dengan demikian, dapat dikatakan sebagai kelompok korporasi, dan proses pemerintahan seperti yang  inheren dalam suatu publik, juga merupakan salah satu ciri dari semua korporasi-korporasi itu. Smith mengatakan hukum (law)  adalah ‘internal self-regulation by corporate groups of their public affairs’. Korporasi-korporasi memberikan kerangka hukum (framework of law) dan regulasi otoritatif bagi masyarakat yang terbentuk dari kelompok-kelompok korporasi itu. Hak-hak dan status hukum seorang individu diperoleh dari keanggotaannya di dalam beberapa kelompok korporat.
Pluralisme hukum yang dimaksudkan oleh Smith adalah sejalan dengan pluralitas-pluralitas aspek yang lain, seperti pluralisme kultural, sosial atau struktural.   Karena itu deskripsi tentang suatu situasi pluralisme hukum, menurut Smith terdiri dari deskripsi tentang berbagai kelompok korporat, deskripsi tentang aktivitas regulasi internalnya, dan deskripsi mengenai hubungan-hubungan eksternalnya dengan korporat yang lain. 
Grifiths selanjutnya memunculkan teori ‘living law’ yang berasal dari Ehrlich. Seperti dilukiskan oleh Griffith, kunci dari teori ‘living law’  ini  adalah distingsi antara rules for decision dan rules of conduct.  ‘Rule for decision’, kata Ehrlich ada dalam konsepsi hukum positivis: hukum didefinisikan dari sudut pandang petugas negara, seperti  misalnya: menurut aturan yang mana petugas negara itu musti memutus sengketa-sengketa hukum yang diajukan sebelumnya. Ehrlich menganggap bahwa konsepsi hukum seperti ini tidak bisa disebut ilmiah. Yang demikian ini  hanyalah sebuah bentuk publikasi yang lebih emphatik dari statuta-statuta. Sebaliknya, kata Ehrlich, bahwa konsepsi ilmiah tentang hukum haruslah berkaitan dengan rules of conduct. Untuk mencapai itu ada tiga elemen yang musti dikeluarkan dari konsep hukum. Pertama, bahwa hukum dicipta oleh negara, kedua,  hukum merupakan basis keputusan-keputusan dari pengadilan atau ‘tribunal’ lain; ketiga, hukum merupakan basis dari suatu keharusan/paksaan yang sah (legal compulsion) menyusul suatu keputusan pengadilan. Dan yang tetap dipertahankan dalam konsep hukum justru elemen keempat, ialah konsep hukum sebagai sebuah pengaturan (the law is an ordering). Ini ditemukan dalam asosiasi-asosiasi di manapun; ia menata dan menopang setiap asosiasi-asosiasi manusia. 
Ehrlich mendefinisikan asosiasi sosial  sebagai suatu pluralitas (kumpulan yang beranekaragam) dari manusia-manusia (a plurality of human beings) yang, dalam relasi-relasinya dengan yang lain, mengakui rules of conduct tertentu sebagai pembatas, dan sekurang-kurangnya secara umum, benar-benar mengatur tindakan mereka menurut rules of conduct itu.  "Thess rules are of various kinds, and have variuous names: rules of law, of morals, of religion, of ethical custom, of honor, of decorum, of tact, of etiquette, of fashion” (Griffiths 1986a:25). . 
Ehrlich selanjutnya menandaskan bahwa kita semua hidup dalam asosiasi-asosiasi yang terorganisir,  takberbilang, lebih atau kurang bersifat kompak, dan terkadang sangat longgar. Nasib kita dalam kehidupan, akan dikondisikan terutama sekali oleh pelbagai posisi yang dapat kita capai dalam asosiasi-asosiasi itu. Musti ada resiprositas pelayanan yang diberikan di sini. Mustahil asosiasi memberi sesuatu kecuali kalau anggotanya juga memberi. Jadi asosiasi sosial itu adalah sumber dari coercive power, sanksi, semua norma sosial,  dan hukum. Orang bertindak menurut hukum, adalah karena dipersyaratkan oleh relasi-relasi sosialnya. Norma hukum, dalam hal ini, tidak berbeda dengan norma sosial.  Negara bukan satu-satunya asosiasi yang melaksanakan kekerasan; ada sejumlah asosiasi yang takterbilang jumlahnya dalam masyarakat, melakukan hal serupa bahkan lebih kejam dari negara.
Akhirnya Ehrlich mengatakan bahwa hukum-hukum itu, walaupun tidak disebut dalam proposisi hukum,  akan tetapi ‘hukum-hukum’ itulah yang mendominasi kehidupan. Yang penting, konsepsi deskriptif hukum harus berkaitan dengan rules of conduct ketimbang rules for decision. Sebab actual use (fungsi aktual) dari rules itu lah yang lebih sentral peranannya terhadap hukum ketimbang rules yang terdapat dalam penyelesaian sengketa. Rules of conduct adalah sebuah aspek dari organisasi kehidupan sosial (asosiasi). Konsep kelompok sosial dan konsep rules of conduct tidak bisa dipisah satu sama lain. 
Penjelasan Ehrlich tentang living law ini, kata Griffiths, membuka lebih terang tabir kemajemukan hukum yang sebenarnya dalam masyarakat. Terlebih bila hukum itu diartikan sama dengan pengaturan. Maka dalam asosiasi-asosiasi, tempat semua kita hidup, akan ditemukan aturan-aturan yang takterbilang jumlahnya. Hukum negara, menjadi sangat tidak berarti, dalam jagat aturan-aturan yang digunakan secara aktual dalam kehidupan. 
Terakhir Grifiths mengangkat konsepsi ‘semi-autonomous social field’ dari Sally F. Moore. Moore, kata Griffiths, memulai diskusinya dengan pertanyaan mengenai bidang sosial yang cocok untuk penelitian mengenai hukum dan perubahan sosial dalam masyarakat kompleks. Termasuk juga menjadi pertanyaan utamnya adalah tentang gagasan kaum instrumentalis mengenai perubahan sosial yang cepat, yang katanya dapat dilakukan dengan cara-cara legislasi.  Apakah benar perubahan sosial yang cepat dapat dilakukan dengan cara-cara legislasi? 
Griffiths  mengutip langsung dari Moore pengertian Semi-autonomous social field berikut ini: 
Semi-autonomous Social Field ini didefinisikan dan batas-batasnya diidentifikasikan, bukan oleh organisasinya (mungkin sebuah kelompok korporasi, mungkin juga tidak) melainkan oleh suatu karakteristik prosesual (a processual characteristic), yaitu fakta bahwa ia dapat melahirkan aturan-aturan dan memaksa atau mendorong kepatuhan kepada aturan-aturan tersebut. Oleh karena itu sebuah arena di mana ada sejumlah kelompok-kelompok korporasi yang berkaitan satu sama lain, bisa saja merupakan sebuah Semi-autonomous Social Field. Namun masing-masing kelompok korporasi itu bisa juga merupakan sebuah Semi-autonomous Social Field tersenidri. Banyak bidang-bidang seperti itu yang mungkin bersambungan dengan yang lain dengan suatu cara seperti membentuk rantai yang kompleks, layaknya jaringan sosial individu-individu, yang bila dikaitkan satu sama lain, seperti sebuah rantai yang tak berkesudahan. Persambungan secara interdependen dari bidang-bidang sosial yang banyak dan berbeda-beda itu merupakan salah satu dari ciri-ciri dasar masyarakat kompleks. (Griffiths1986a:29-30).
Moore mengatakan bahwa Semi-autonomous Social Field itu ‘bisa melahirkan  aturan-aturan dan adat-istiadat dan simbol-simbol secara internal’, tetapi “it is also vulnerable to rules and decisions and other force emanating from the larger world by which it is surrounded (Griffiths 1986a:29). Ini berarti bahwa bidang sosial yang dimaksudkan Moore itu tidak lepas dari lingkungan sekitarnya, meskipun dia otonom; bahkan bidang sosial itu rentan (mudah terpengaruh) oleh dunia (yang lebih besar) yang mengitarinya. Namun seperti apa pengaruh-pengaruh kekuatan yang datang dari lingkungan sekitar, terhadap bidang sosial yang mempunyai kapasitas mencipta aturan-aturan itu, maka Moore memperlihatkan tumuannya pada industri garmen di New York dan pada masyarakat Chagga di Tanzania. Pada kedua bidang sosial itu Moore menemukan apa yang dinamainya  dengan ‘legal, illegal, and non-legal norms’ yang berlaku. 
Griffiths mengatakan bahwa ketika Moore mengaplikasikan konsep Semi-autonomous Social Field ini, Moore mempunyai ‘point sentral’, yaitu bahwa ‘legislasi eksternal tidak memiliki, dan tak dapat diharapkan untuk mempunyai akibat-akibat yang diharapkan nyata, justeru oleh karena semi-otonomi dari bidang sosial itulah yang harus beroperasi. Kenyataan bahwa ikatan-ikatan ‘mutual obligation’ (kewajiban berbalas-balasan) yang ada di dalam bidang sosial itu seringkali lebih kuat dari pada hukum eksternal (external law), dan dalam berbagai kasus ‘mutual obligation’ itu membelokkan operasi dari exsternal law. (Griffiths 1986a:30).  
Griffiths  melukiskan industri garmen yang dianalisis oleh Moore itu terdiri dari interkasi bermacam-macam person dan organisasi-organisasi (jobber, contractor, union, trade assosiation). Interaksi ini sampai tingkat tertentu diatur oleh the general law (hukum umum), sampai tingkat tertentu lainnya diatur oleh kontrak dan tatanan-tatanan yang serupa di antara para pihak, dan sebagian lagi diatur oleh adat-istiadat dan harapan-harapan yang tak tertulis. Industri ini ditandai oleh interdependensi yang sangat tinggi, dan jaringan obligasi mutual yang mengiringinya, dan itu selanjutnya diperkuat oleh sebuah sistem hadiah dan kemurahan hati yang luas serta oleh fakta bahwa para pihak cenderung untuk mengembangkan modal kerja yang penting  melalui pinjaman-pinjaman tanpa bunga dari yang lain-lain dalam industri yang sama. Pendeknya, relasi-relasi dalam bidang sosial itu adalah multiplex dan overlappings.  Penyimpangan-penyimpangan dari pola perilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum negara adalah sesuatu yang sering terjadi, sistematis dan diatur oleh pola ekspektasi yang berlaku secara internal. 
Moore sendiri misalnya menyatakan :
  “….ada hal-hal yang merupakan tuntutan dari bisnis  ini (dalam kasus industri garmen -penulis), sehingga akan mustahil untuk mendapatkan keuntungan kecuali kalau syarat-syarat yang sangat rinci di dalam kontrak-kontrak (dokumen resmi yang dibuat dan disepakati secara tertulis oleh para pihak -penulis) tersebut secara teratur dapat dilanggar; …………sudah ada pengertian di antara wakil bisnis dari serikat pekerja dan kontraktor bahwa kontrak tidak akan dijalankan kata demi kata. …  (Moore 1993:156)
Sebagai balasan atas ‘kebaikan’ ini agen serikat pekerja mendapat banyak kemudahan dari pihak kontraktor. Mungkin padanya diberikan hadiah-hadiah ….. berkunjung di rumah sakit saat dia sakit…….. ‘menjaga hubungan baik agar dapat menjamin bahwa dia memperoleh bisnis (Moore 1993:156-157).
“Semua pemberian hadiah-hadiah dan tolong menolong itu dilakukan dalam bentuk persahabatan sukarela, ……….Tidak ada di antara kegiatan ini yang merupakan kewajiban yang secara yuridis dapat dipaksakan. Seseorang tidak dapat mengajukan orang lain ke pengadilan karena ia tidak memberikan hadiah-hadiah tersebut. Tetapi sanksi-sanksi hukum memang tidak diperlukan bila tersedia sanksi-sanksi luar hukum yang demikian kuat (Moore 1993:157). 
“….hak-hak yang diakui secara hukum dapat dipakai sebagai alat untuk membalas dalam hubungan-hubungan ini” (Moore 1993:160).
“Peraturan-peraturan hukum hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan kompleks ini.” (Moore 1993: 161).
“Sanksi terhadap orang-orang yang tidak ikut bermain menurut aturan-aturan-secara hukum, non-hukum, dan yang melanggar hukum-di dalam industri pakaian gaun merupakan kerugian secara ekonomis, hilangnya reputasi, hilangnya keinginan baik, dan tersisihnya dari jalur-jalur yang dapat menghasilkan uang. Kepatuhan untuk mengikuti permainan didorong oleh keinginan untuk tetap bertahan dalam bisnis ini dan mencari keuntungan. (Moore 1993: 161). 
Griffiths mencatat bahwa kontribusi Moore  terletak pada signifikasi analisisnya pada teori deskriptif pluralisme hukum. Moore menolak gagasan bahwa hanya negara yang dapat dianggap sebagai sumber dari ‘legal rules’. Bidang sosial apa saja pun penuh dengan bahan-bahan normatif. Oleh sebab itu, teori deskriptif pluralisme hukum adalah merupakan teori heterogenitas normatif yang ditimbulkan oleh fakta bahwa ruang sosial (social space) tidaklah hampa melainkan penuh dengan norma-norma; dan di samping itu juga merupakan teori tentang kompleksitas dari bekerjanya norma-norma yang dibawakan oleh heterogenitas seperti itu.  Teori ini, kata Grifiths,  menggambarkan perhatian pada aspek dinamis dari situasi pluralisme hukum. 
Di akhir artikelnya yang cukup panjang itu, dan setelah ia menyoroti kekuatan dan kelemahan dari masing-masing teori pluralisme hukum tersebut di atas,  Grifiths akhirnya membuat semacam kesimpulan di bawah sub-judul : What is ‘legal pluralism’?. Di sini Griffiths mengatakan bahwa pengertian pluralisme hukum terkait dengan adanya kenyataan empiris (bukan normatif) bahwa terdapat lebih dari satu hukum (law)  di dalam satu bidang yang dideskripsikan.  
Pluralisme hukum adalah atribut dari sebuah bidang sosial dan bukan atribut dari hukum (law) atau dari ‘sistem hukum’ (legal system). Teori deskriptif pluralisme hukum berurusan dengan fakta bahwa di dalam bidang apasaja, yaitu bidang-bidang yang memang sudah terberikan (given), hukum dari pelbagai sumber (hukum) bisa beroperasi di dalamnya. Law (hukum) adalah ‘the self-regulation of a semi-autonomous social field’. 

Perkembangan Lanjut Teori Pluralisme Hukum
Franz von Benda-Beckmann dan Keebet von Benda-Beckmann, pasangan suami-istri yang terkenal sebagai ahli antropologi hukum, mempunyai perhatian sangat besar pada pluralisme hukum. Di dalam amatan mereka, bahwa diskusi-diskusi mengenai pluralisme hukum  akhir-akhir ini bukan lagi hanya berpusat pada ‘the coexistence of official national law and non-state traditional and religious legal orders at national and sub-state levels’ saja. Dengan semakin meningkatnya kepentingan hukum dan politik dari konvensi-konvensi dan hukum internasional, terutama isu-isu HAM dan hak-hak orang asli, kata mereka, membuat para sarjana harus memperluas perspektif mereka pada ‘transnational dimensions of legal pluralism’ (F & K. Benda-Beckmann 2000:17). 
Ada perubahan terutama pada tekanan yang diberikan dalam pembahasan mengenai pluralisme hukum pada beberapa dekade terakhir, di mana perbincangan tidak hanya tertuju pada pluralisme hukum seperti terefleksi dalam konsepsi ‘semi-autonomous social field’ dari Moore , tetapi juga kebanyakan tertuju pada kompleksitas dari hukum-hukum (normatif) yang ada dan bermain di dalam suatu bidang sosial-politik tertentu. Sebagai contoh  dapat dilihat dalam karya Benda-Bechmann (2001) di mana tekanan sorotannya adalah lebih besar pada kompleksitas normatif, sekalipun tidak melupakan kompleksitas masyarakat seperti dipersepsikan oleh Moore. Dari terminologi-terminologi yang begitu banyak dan digunakan oleh Benda-Beckmann untuk mengidentifikasi hukum-hukum normatif kecenderungan tersebut segera kelihatan: misalnya ada hukum adat, hukum agama, hukum negara, hukum tak bernama (unnamed law), hukum trans-nasional, hukum internasional, hukum lokal, folk law, lawyer law, hybrid law dan seterusnya. 
Hal serupa malahan paling jelas dalam tulisan yang dikeluarkan oleh Max Planck Institute for Social Anthropology. Max Planck Institute for Social Anthropology , dalam sebuah risalahnya mengatakan riset antropologi hukum tidak lagi terbatas pada ‘former colonial state’, tetapi juga dilakukan pada ‘industrialized states’. Khususnya pada sepuluh tahun terakhir, refleksi-refleksi teoritis dan riset-riset empiris mengenai hukum meluas ke ‘trans-national and international law and other aspects of globalisation ’.  Digambarkan bahwa ‘Legal Pluralism in the 21st Century’ seperti berikut: 
“sistem-sistem hukum kontemporer banyak mengandung regulasi-regulasi yang paralel dan sering bertentangan satu sama lain, tentang organisasi sosial, ekonomi dan politik berdasarkan tipe-tipe legitimasi yang berbeda. Tipe kompleksitas hukum ini secara singkat-menyeluruh dirancang dengan istilah pluralisme hukum, sebuah konsep yang sensitif menggambarkan perhatian pada fakta bahwa di dalam ruang sosial-politik (socio-political space) hadir-bersama lebih dari satu sistem atau institusi hukum. Di level ‘rules’ dan ‘principles’, pluralisme ini sering dipadankan dengan ‘plurality of socio-political institutions’,  misalnya peradilan-peradilan dan institusi-institusi pengelolaan sengketa yang memperoleh legitimasi dari framework-framework hukum berbeda, yang masing-masing menerjemahkan dan menerapkan aturan-aturan hukum berbeda. Konstelasi-konstelasi pluralisme hukum (constellations of legal pluralism) yang paling  jelas terdapat dalam koloni-koloni zaman dulu di mana hukum negara, tribal atau hukum adat desa hadir berdampingan, sementara hukum agama (islam, kristen, hindu dan yahudi) juga sering memainkan suatu peran penting”.
Konstelasi pluralisme hukum serupa, menurut lembaga Max Planck ini, juga terjadi ketika kemudian ilmuan dan politisi negara-negara bekas koloni dulu itu berusaha mewujudkan ‘a homogenous, dominant state legal system’, tetapi dalam kenyataannya pada saat bersamaan ‘non-state legal systems’ pun rupanya tidak hilang.  Tatanan-tatanan hukum  agama dan tradisional itu malahan mengalami ‘revitalisasi’ dan menyaingi klaim atas otoritas politik negara, bahkan di banyak bagian dunia, hak-hak ekonomi masih berdasar atas hukum tradisonal dan agama. Proses-proses interpenetrasi itu menyebabkan timbulnya ‘new legal forms’  di mana elemen-elemen tertentu dari tatanan hukum lama diperluas (merged). Aspek kompleksitas lainnya disebabkan banyaknya aktor dan institusi terlibat dalam interpretasi dan aplikasi  dari aturan-aturan hukum yang berbeda itu, sehingga terjadi suatu transformasi, seperti, dari ‘people’s law’ ke ‘lawyer’s law’ atau sebaliknya. Dikatakan, bahwa kadang-kadang bentuk-bentuk hukum yang ditransformasikan dan yang diperluas tadi menjadi sesuatu yang independen seperti suatu ‘islands of unnamed law’. 
Selain itu, hukum negara itu sendiri juga terbuka bagi pluralitas, semisal terhadap hukum internasional dan hukum trans-nasional dari PBB, GATT, WTO dan lain-lain. Hukum-hukum ini tidak hanya mengatur relasi internasional tetapi juga berpengaruh langsung pada relasi-relasi ekonomi dan sosial dalam setting-setting kecil di negara-negara bangsa (nation-state) tersebut. 
Di negara industri pun “legal landscapes” menjadi lebih kompleks dari sebelumnya karena terjadi intensifikasi, kecepatan dan persebaran relasi-relasi dan interaksi politik dan ekonomi, terutama pada periode globalisasi. Migrasi  orang-orang dari luar negeri yang membawa tipe-tipe hukum berbeda (hukum-hukum nasional, agama, dan juga adat) yang masuk ke negara industri meningkat jumlahnya. Mereka, di komunitas migran, mencipta ulang (recreated) dan memodelkan kembali (remodelled) hukum mereka di lingkungan yang baru. Sampai tingkat tertentu, variasi-variasi hukum lokal dan mekanisme-mekanisme lokal dalam pemberian sanksi pun diciptakannya meski pada saat yang sama terjadi tarik-menarik baik dari dalam maupun dari luar. Bentuk-bentuk hukum ini tidak hanya mempengaruhi hubungan internal para migran sendiri, tetapi juga masyarakat nasional yang lebih luas ikut terpengaruh: dalam hubungan perburuhan, kesejahteraan sosial, hubungan keluarga dalam kasus perkawinan campuran, pendidikan dan lain-lain. 
Pluralitas hukum seperti tersebut di atas, menurut lembaga Max Planck, terjadi karena tiga proses yang saling terkait. (Dari sini kita bisa dengan jelas melihat bahwa pluralisme hukum itu tak terbatas pada apa yang direfleksikan dalam bidang sosial semi-otonomi saja. Bahkan dari tiga proses yang disebut, hanya satu yang terkait langsung dengan bidang sosial semi-otonomi). Ketiga proses terkait itu yaitu: Pertama, banyak bidang sosial menciptakan perangkat norma dan mekanisme pemberian sanksi sendiri, yang dari perspektif antropologi bisa dikatakan sebagai hukum (legal). Bidang-bidang sosial tersebut dan struktur normatifnya secara tipikal tidak sepenuhnya independen dari sistem hukum negara melainkan terkait dengan sistem hukum negara itu dalam tingkat semi-otonomi yang berbeda-beda. Sebaliknya, implementasi hukum negara biasanya difilter melalui bidang-bidang sosial itu. 
Kedua, meningkatnya kegiatan-kegiatan global dan trans-nasional serta koneksi-koneksi sosial lainnya merupakan sumber penting pluralisme hukum, karena mereka menstimulasi masuknya hukum asing maupun trans-nasional ke dalam suatu negara.
Ketiga, perubahan-perubahan politik yang menonjol sering bergandeng dengan perubahan-perubahan fundamental sistem hukum negara, misalnya pada saat revolusi, kolonisasi atau de-kolonisasi atau, contoh yang paling anyar, transisi dari tatanan sosialist ke post sosialist. Biasanya pemerintahan baru mencoba mengurangi banyak hal dari struktur hukum yang telah ada dan menggantikannya dengan tatanan hukum yang baru. Akan tetapi, rejim hukum lama terus mendesakkan pengaruhnya sehingga secara efektif menimbulkan situasi pluralisme hukum. 
Apa yang dilakukan oleh pasangan suami-istri Benda-Bechmann dan Max Planc Institute di atas sangat selaras dengan apa yang diharapkan oleh Moore untuk mempertajam analisis. Moore (2001:11) mengatakan pluralisme hukum tidak cukup hanya didefinisikan dengan ‘the whole aggregate of governmental and non-governmental norms of social control, without any distinctions drawn as to their source”. Baik karena alasan analisis maupun kebijakan, lanjut Moore, distingsi-distingsi untuk mengidentifikasi asal dari aturan-aturan dan kontrol-kontrol itu harus dibuat. Usul ini tentu sangat mendasar karena debat di seputar pluralisme hukum dewasa ini, kata Moore, bukan lagi hanya di seputar istilah, tetapi sering kali merupakan debat mengenai ‘the state of the state today’; debat yang mempertanyakan di mana sebenarnya power itu berada.  Diskursus mengenai topik-topik ini bercampur dengan perdebatan-perdebatan mengenai transformasi negara akibat ‘the empowerment of sub-national collective entities, through transnational phenomena, and globalism’. Oleh sebab itu, ‘pluralisme’ dewasa ini bisa mengacu pada (1) cara negara mengakui bidang-bidang sosial yang beragam di masyarakat dan cara negara merepresentasikan dirinya terhadap bidang-bidang sosial tersebut secara ideologis maupun secara organisatoris; (2) keragaman internal administrasi negara, arah perjuangan yang jamak dari sub-bagian-sub-bagiannya, serta persaingan untuk mendapatkan otoritas hukum; (3) Cara-cara dari negara itu sendiri berkompetisi dengan negara lain dalam arena yang lebih besar dan dengan negara-negara di arena yang lebih besar lagi; (4) cara di mana negara berang (secara internal atau eksternal) kepada LSM, bidang sosial semi otonom yang melahirkan sendiri norma-norma hukum (non legal) yang kepadanya mereka bisa patuh atau memaksa kepatuhan; (5) cara bagaimana hukum bisa bergantung pada kolaborasi bidang-bidang sosial non-negara untuk pelaksanaannya; dan seterusnya.  

Puluralisme Hukum dan Tindakan Sosial
Sally F. Moore, melalui ‘semi-autonomous social field’, berhasil membawa kita melihat pluralisme hukum secara empiris. Moore, menurut hemat saya, tidak hanya berkonsentrasi untuk menjawab apa yang secara normatif orang harus lakukan, tetapi juga melihat orang-orang menciptakan norma-norma taktertulis untuk dilaksanakan di antara mereka jika mereka tidak mau ‘rugi’  sesuai dengan kepentingannya di dalam suatu bidang sosial tertentu. Pluralisme hukum, menurut konsepsi Moore, tercipta melalui proses-proses seperti itu. Moore mengatakan:
 “…Suatu pengkajian yang dilakukan terhadap bidang-bidang sosial yang semi-otonom, memberi kesan yang kuat bagaimana berbagai proses yang memungkinkan aturan-aturan yang timbul dari dalam menjadi efektif, juga seringkali merupakan kekuatan-kekuatan yang menentukan cara tunduk atau sebaliknya tidak tunduk kepada aturan–aturan hukum yang dibuat oleh negara” (Moore 1993:152). 
Sedikit berbeda dari Moore, jika dibandingkan dengan Benda-Beckmann, terutama bila dilihat dari beberapa karya terakhirnya, maka pakar yang disebut terakhir ini meneruskan perbincangan Moore hingga meliputi persoalan-persoalan berdimensi sangat luas, globalisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi di tataran empiris sebagai dampak proses globalisasi, direkam dan didalami dengan mengakji proses-proses mikro  aksi dan interaksi hukum (Griffiths 1986b) dalam suatu bidang-sosial semi-otonom.
Meskipun Benda-Beckmann (1993:11), memperlakukan hukum sebagai “bagian dari data empiris yang seharusnya dikaji  oleh para ahli antropologi hukum (ibid)”, Benda-Beckmann berpendirian bahwa:
 “Penelitian antropologi hukum berhubungan dengan semua hukum yang relevan bagi masalah penelitian khusus yang dikaji. Dalam mengkaji hukum dalam masyarakat, antar hubungan serta interdependensi berbagai bentuk normatif serta lembaga-lembaga, serta hubungan-hubungannya dengan perilaku manusialah yang merupakan tema pusat dalam penelitian antropologi hukum” 
“Masalah penelitian khusus yang dikaji”, kata Benda-Beckmann, dan “bidang sosial semi-otonom”, kata Moore, menurut hemat saya adalah sama-sama peka terhadap pluralisme hukum. 













DAFTAR BACAAN


  • Ahmed, Akbar S. & Shore, Cris N., “Introduction: Is Anthropology Relevant to the Contemporary World?, dalam Akbar S. Ahmed dan Cris N. Shore (ed), The Future of Anthropology, Its Relevance to the Contemporary World (London & Atlantic Highlands: Athlone 1995) hal. 12-45. 
  • Benda-Beckmann F. von & Benda-Bechmann, Keebet von,  “Jaminan Sosial, Sumber Daya Alam dan Kompleksitas Hukum”, dalam Franz von Benda-Bechmann, Keebet von Benda-Bechmann, & Juliette Koning (editor), Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.: 28-31. 
  • Benda-Beckmann F. von & Benda-Beckmann, Keebet Von., “The Law of Thing: Legalization and De-legalization in Relationship Between The First and The Third World”, dalam E.K.M. Masinambow, ed, Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O. Ihromi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2000), hal.: 17-31. 
  • Cheater, Angela, ‘Power in the Postmodern Era’, dalam Angela Cheater (ed), The Anthropology of Power: Empowerment and Disempowerment in Changing Structures (London and New York: Routledge  1999) hal.:1-12. 
  • Contreau, Sandra J., “Pengelolaan Limbah Padat di Negara Berkembang”, dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1991), hal.: 3-12.
  • Griffiths, John , “What is Legal Pluralism?”, (Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, Number 24/1986), hal.: 1-55.
  • Griffiths, John., ‘Recent Anthropology of Law in the Netherland and its Historical Background’ dalam Keebet von Benda-Beckmann & Fons Strijbosch (ed), Anthropology of Law in The Netherlands (Dordrecht-Holland/Cinnaminson- USA: Foris Publications, 1986) hal. 11-66. 
  • Ihromi, T.O., “Beberapa Catatan Mengenai Perkembangan Antropologi Hukum Sebagai Disiplin Akademik di Indonesia” (Antropologi Indonesia No.47, Th.XIII Agustus-September  1989), hal.:7-25). 
  • Inda, Jonathan Xavier & Rosaldo, Renato, ‘Introduction to Aworld in Motion’, dalam Jonathan Xavier Inda & Renato Rosaldo (ed) The Anthropology of Globalization (Melden, Massachusetts, Oxford: Blackwell Publisher 2002) hal: 1-36.
  • Koentjaraningrat, “Antropologi Hukum” (Antropologi Indonesia No.47, Th.XIII Agustus-September  1989), hal.:26-34. 
  • Max Planck Institute for Social Anthropology, “Research Programe”,  http://www.eth.mpg.de/research/legal/recearchprograme.htm#towards. 
  • Moore, Sally Falk, “Certainties Undone: fifty turbulent years of legal anthropology, 1949-1999” The Journal of Anthropological Institute 7 (2001):95-116, To be published also in Transnational legal Processes, edited bay Michael Likosky, Buterworth. Terdapat pada http://www.sos-net.eu.org/red&s/dhdi/amis/sally.pdf   
  • Moore, Sally Falk, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi (penyunting) Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993), hal.: 148-193. 
  • Moore, Sally Falk., The international production of authoritative knowledge: The case of drought-sticken West Africa (Ethnography vol 2(2) 2001) 161-189.
  • Patton, Paul, ‘Michel Foucault’, dalam Diane J.Austin-Bross,ed, Creating Culture (Sydney, London, Boston: Allen & Unwin 1987) hal: 226-242.
  • Seymour-Smith, Charlotte., Macmillan Dictionary of Anthropology (London and Basingstoke: The Macmillan Press Ltd. 1986). 
  • Sicular, Daniel T., “Kekuasaan dan Praktik Dalam Sistem Pemulungan di Bandung, Jawa Barat”, dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1991), hal.: 35-65.
  • Sicular, Daniel T., “Pengelolaan Limbah Padat di Indonesia” dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1991), hal.: 13- 34.
  • Vayda, Andrew P., “Actions, Variations, and Change: The Emerging Anti-Essentialist View in Anthropology”, dalam Robert Borofsky,ed, Assessing Cultural Anthropology (Newyork: McGraw-Hill,Inc 1994) hal.:320-330.
  • Vayda, Andrew P., Methods and Explanations in the Study of Human Actions and their Environmental Effects (Jakarta: CIFOR dan WWF 1996).
  • Vayda, Andrew P., Progressive Contextualization: Methods for Research in Human Ecology, (Human Ecology Vol.11.No.3) 265-281).