10 Juni 2018

Buang Air Besar Sembarangan


BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN

Oleh: Fikarwin Zuska

                Kebetulan saja malam ini, tanpa disengaja, aku membuka sebuah link yang ternyata sudah cukup lama kuarsipkan di Blog-ku. Judulnya “Warga Lereng Merapi Berjanji Tidak Berak Sembarangan” (Kompas.com, Kamis, 2 Januari 2014 | 18:19 WIB). Tindakanku menyimpan berita macam ini tentu tidak acak; pasti ada kepentingan atau ketertarikanku padanya. Namun karena lama tak kusadari, maka malam ini aku kaget. Aku kaget karena sejak beberapa bulan terkahir ini aku sebenarnya tengah membimbing 2 orang mahasiswa membuat tugas akhir dengan topik seputar buang air besar sembarangan. Yang satu di sebuah desa di Tapanuli Selatan, dan yang satu lagi di sebuah desa di Kabupaten Dairi. Keduanya di Provinsi Sumatera Utara. Yang satu menggunakan metode survey, yang lainnya menggunakan metode kualitatif. Kebetulan, dua-duanya belum selesai; meski yang satu tinggal menunggu ujian akhir. Hasilnya, tentu, nanti akan dimuat oleh penelitinya sendiri di jurnal agar dapat dibaca oleh banyak orang (khalayak).
Tanpa kusadari hidup di dalam benakku sebuah anggapan yang ternyata sangat bias. Pikirku, yang namanya Buang Air Besar Sembarangan (BABS), itu monopoli orang-orang di Sumatera saja. Pengalaman dari lahir, hidup dan besar di Sumatera, mungkin, membuatku berpikir demikian. Tak terpikir olehku penduduk desa di Jawa, seperti termuat dalam berita di atas, masih berbuat demikian: meluncurkan tinjanya di alam terbuka. Ternyata, aku salah besar. Dan oleh sebab itu kini aku mulai curiga. Jangan-jangan penduduk di pulau lain, semisal Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lainnya, itu pun masih banyak berbuat begitu. Hanya aku harus terus terang: aku tidak/belum memiliki informasi. Berbeda dengan keadaan di Sumatera. Untuk Sumatera aku cukup yakin bisa memaparkan beberapa informasi. Memang sebagian (mungkin) sudah basi alias kurang update. Tetapi tidak ada salahnya ―kalau nanti datanya basi― anggaplah itu sebagai data sejarah kelakuan BAB penduduk di sebagian tempat dan era di Sumatera.
Tahun 1970-an, atau lebih dini dari itu, di kampung tempatku dilahirkan ―Baleatu, namanya, di kota kecil  berhawa dingin Takengon, Aceh Tengah― jarang kudapati rumah memiliki kakus. Kakus, saat itu, tidak termasuk sebagai bagian integral dari sebuah rumah tinggal. Orang-orang dewasa, penghuni rumah-rumah tinggal yang ukurannya tidak terlalu besar, itu umumnya buang hajat di alam sekitar: sawah, ladang dan tanah lapang. Satu dua orang, sesekali, pergi buang hajat ke Sungai Pesangan ―di situ ada WC milik Mersah Padang (untuk laki-laki) dan Mersah Kelaping (untuk perempuan), masing-masing terdiri atas beberapa kamar yang dibangun di atas sungai dengan disokong sejumlah tonggak terbuat dari kayu atau tiang beton. Kebanyakan orang Baleatu, khususnya Baleatu Ujung alias Baleatu Utara (nama formalnya), memanfaatkan lahan sawah di sekitar untuk BAB. Buntul Temil ―sebuah tempat di mana terdapat sumber mata air―sangat penting saat itu bagi kaum ibu Orang Baleatu. Selain menjadi tempat mereka mencuci piring dan pakaian, tempat yang relatif agak terlindung dari pandangan mata itu juga menjadi tempat mereka buang hajat.
Tidak usah kuceritakan betapa harus hati-hatinya orang ―agar tidak menginjak kotoran manusia dan lalu tergelincir― saat berjalan melalui pematang sawah, yang harus dia lewati saat akan menuju ke atau kembali dari Kampung Tetunyung atau jalan Kebayakan (Dua di antara beberapa tempat terdekat yang berbatas dengan Kampung Baleatu).  Juga tidak usah pula kukatakan betapa banyaknya lalat yang terbang akibat rumput-rumput terkibas kaki saat melintas, dan bau menyengat hidung gara-gara kotoran setengah-kering terinjak orang lain yang barusan melintas (Biasanya ia melap-lapkan telapak kaki atau sandalnya ke rumput-rumput yang tumbuh di tepi pematang itu). Tetapi dalam lima sampai sepuluh tahun kemudian (1980-an), sawah ladang di Baleatu beralih cepat menjadi lahan bangunan. Di sekitar itu Pemerintah Daerah membangun Pasar Inpres, membangun sekolah, membangun terminal, yang kemudian diikuti dengan pembangunan ruko-ruko sebagai pertanda adanya perluasan kota. Pemandangan tahun 1970-an betul-betul lenyap. Penduduk Baleatu pun beradaptasi mengubah pola BAB di alam ke BAB di WC. Program pembagian jamban oleh pemerintah daerah saat itu, meski tak semuanya terserap sebagaimana mestinya, ikut mempercepat perubahan laku perbuatan sebagian penduduk Baleatu BAB sembarangan di alam.

Terinjak Pincang
Masih di sekitar tahun 1970-an, saat aku pertama kali diajak ―entah pun juga barangkali mengikut alias ngintil― Bapak bertugas ke pesisir Aceh, di situlah pertama kali aku melihat pantai, dan laut dengan air asin. Di kampungku hanya ada ‘Laut Tawar’, tak lain sebuah danau yang untuk ukuran orang di kampungku dipandang sangat besar. Udara pantai yang panas, membuat tubuhku sangat berkeringat, mataku silau akibat cahaya matahari menerpa pasir pantai. Tapi gelombang laut yang menghempas pantai tiada henti, yang belum pernah kulihat di kampungku, itu tak dapat menahan rasa inginku untuk berlari mendekat. Kubiarkan kakiku diterpa ombak agar basah dan sedikit dingin. Pasir-pasir kucoba-coba untuk dimainkan sampai akhirnya basah semua pakaian yang kukenakan.
Beberapa peringatan dari orang-orang dewasa yang menemani Bapak tidak terlalu kufahami saat itu. Salah satunya, kata dia, “awas kaca lunak, kalau terinjak pincang!”. Tak dapat kumaklumi kata-kata itu, sampai akhirnya benar kurasakan. Ternyata, orang-orang sekitar pantai buang hajat di tepi laut. Sebelum gelombang-pasang menghanyutkan, ‘si kuning’ itu sempat mengering. Kalau terinjak kaki, langsung pincang karena dalamannya yang masih basah membuat telapak kaki malas merapat ke tanah. Pada saat itu kotoran manusia akibat BAB sembarangan di tepi pantai memang sangat banyak. Tak terpikir olehku saat itu jika rumah-rumah penduduk di sekitar pantai tidak memiliki jamban.   

Shock
                Tahun 1994 aku melakukan penelitian di sebuah desa di kaki Hutan Damar di daerah Krui, Lampung Barat. Aku tiba di desa itu senja hari. Tak ada seorang pun yang aku kenal. Begitu turun dari kendaraan angkutan umum trip terakhir di rute itu, aku mencari rumah Kepala Desa. Kutanya kepada orang-orang yang kutemui, lalu kuikuti arahannya, hingga akhirnya aku menemukan rumah tersebut. Aku dipersilahkan naik ke rumah panggung milik Pak Kades, yang saat itu ternyata ia sedang bersama dengan Pak Sekdes dan salah seorang pengurus pemerintahan desa. Kunyatakan maksud dan kedatanganku, serta kuutarakan dari mana asal kedatanganku. Muncul berbagai tanya-jawab, termasuk ihwal tempat tinggalku selama di desa tersebut. Pak Haederus, nama Kades itu, menyuruhku tinggal di rumah Pak Sekdes saja karena di rumah Sekdes ada kamar kosong. Lebih dari itu bahwa di rumah pak Sekdes ada anak lajang yang bisa menemaniku. Namanya Herri, kelas 2 Sekolah Menengah Atas.
                Dengan senang hati arahan pak Kades kuterima. Rasa was-was, takut bakal tak ada tempat tinggal, yang bergelayut di benakku sejak kemarin,  terjawab sudah. Aku langsung dibawa oleh pak Sekdes ke rumahnya. Bapak bernama Ali Bakri ini sangat baik, isteri dan anak-anaknya juga sangat ramah. Malam itu juga aku diperkenalkan, dihidang makan, di bawah cahaya lampu minyak. Lepas makan dan berbasa-basi sebentar aku dipersilahkan naik ke loteng, menuju kamar yang akan kutempati berdua Herri. Lelah seharian membuatku cepat terlelap, dan pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan keluar dari kamar. Kuperhatikan denyut kehidupan desa dari jendela ruang tamu dengan leluasa: di depan rumah ada sungai kecil (siring, kata orang setempat); di seberangnya ada sawah yang terhampar luas, satu-dua rumah muncul di tengah-tengahnya; dan jauh di ujung sana tampak hijauan yang menyejukkan mata (itulah rupanya yang kemudian aku kenal sebagai kebun damar alias repong).  
                Sekitar pukul 07.00 Wib aku mencoba turun melalui tangga yang terdapat di samping. Tangga rumah ini ada belokan dan langsung ke luar (halaman) rumah. Sambil melihat ke sana ke mari, pak Ali Bakri ―yang kemudian kusapa Udo (abang)― nongol dari pintu depan lantai bawah rumah. Seperti bapak-bapak lainnya, dia mengenakan kain sarung. Sambil menyalakan rokok masing-masing, kami bercakap-cakap. Belum ngopi, belum sarapan, kami sembari berjalan perlahan bergerak ke arah rumah kades. Di bagian samping rumah Kades kulihat sudah ada beberapa bapak-bapak, ngobrol sambil berdiri dengan Kades. Kami datang dan ikut nimbrung bercerita. Aku tentu tidak tahu apa yang mereka cakapkan. Aku hanya memperlihatkan sikap hormat saja, mendengarkan percakapan di antara mereka.
                Aku memperhatikan Sungai Way Laai yang mengalir deras dengan riam serta batu-batu yang cukup besar. Kudengarkan gemercik air sungai yang sendu. Asalnya tak jauh dari tempat kami berdiri. Bahkan, ada satu anak sungai ―siring kata orang sana― yang letaknya lebih dekat lagi dengan tempat kami berdiri pagi itu. Itu pun mengeluarkan bunyi gemerincing yang menghadirkan haru. Tapi yang kemudian membuatku terbelalak di situ ada titi kayu buat melintas ke areal kebun damar (repong). Ibu-ibu yang akan pergi ke ladang, banyak lewat dari titi itu. Setiap yang lewat selalu disapa atau menyapa bapak-bapak yang berdiri. Basa-basi menanyakan sesuatu. Termasuk ketika, tiba-tiba, pak Kades mengangkat sarungnya, lalu jongkok di titi yang dilewati itu, dan ternyata ia buang hajat di situ. Bapak-bapak yang lain, yang sedari tadi bercerita dengannya, tidak bereaksi apa-apa. Mereka terus saja bercerita. Tidak merasa ada sesuatu yang aneh. Bahkan pak Kades yang lagi buang hajat itu pun masih saja sempat menyapa ibu-ibu yang lewat. Terus terang aku shock melihat adegan Pak Kades buang hajat di ruang umum seperti ini. “Tidak sopan, tidak senonoh”, kataku dalam hati.  
                Ternyata yang aneh justeru aku. Buang air besar di desa ini memang demikian caranya. Satu dan lain orang yang sedang buang hajat di batu-batu di sungai, saling bercerita; ketawa dan bercakap-cakap. Yang satu sedang buang hajat, yang lain tidak, itupun bisa saling bercakap-cakap. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Maka, waktu pertama kali aku melakukannya, meski sempat ditunda-tunda, akupun merasa canggung. Aku harus memakai kain sarung terlebih dahulu. Aku tidak boleh mengenakan jeans, atau celana pendek. Adegan jongkok buang hajat tanpa mengenakan sarung bisa timbul aib. Sarunglah satut-satunya pakaian yang paling fleksibel untuk keperluan begini. Untuk yang pertama kulakukan, sarung milikku terpaksa basah kena air sungai. Masih untung kain sarung tidak kena unsur yang lainnya.

Wajah Membiru
                Setelah satu bulan aku berada di desa, datang temanku seorang mahasiswi S1 yang juga masuk dalam rombongan peneliti Antropologi Ekologi UI untuk memahami Pengelolaan Hutan Damar Krui. Sebelumnya ia meneliti kegiatan prosessing damar mata kucing di gudang-gudang damar di Kota Kecamatan, Krui. Sekarang giliran dia menelusuri proses produksi damar mulai dari hulu (desa).
Tidak ada persoalan pada awal dia tiba. Dia dengan senang hati tinggal di desa melakukan penelitian. Persoalan muncul perlahan-lahan dalam dirinya, terutama ketika ia harus BAB. Di mana ia akan melakukannya? Di rumah keluarga tempatnya tinggal, tidak ada fasilitas WC. Warga rumah, seperti penduduk lainnya, melakukan BAB di sungai. Itulah yang dia tidak bisa lakukan. Dia tidak mampu BAB di ruang terbuka. “Malu, dilihat orang”, katanya. Akibatnya ia menahan sakit (kebelet) hingga tiga hari. Dalam pandanganku, wajahnya sampai berwarna biru. Biru karena menahan kebelet berlama-lama.
                Semua perempuan di desa ini BAB di pinggir sungai. Coba kamu pelajari bagaimana mereka bisa seperti itu. Lalu coba kamu perhatikan, adakah orang ―baik laki-laki atau perempuan― yang dengan sengaja melihat-lihat orang lain sedang BAB?”, terangku padanya. “Tidak, kan? Tidak!”, kataku berulang-ulang untuk meyakinkannya. Akhirnya, dia memberanikan diri. Diam-diam ia mengikuti cara-cara orang setempat BAB di sungai. “Pakai kain sarung. Itu kuncinya”, kataku.  Aduh, akhirnya berakhir juga penderitaan ini”, katanya melaporkan ‘prestasinya’ kepadaku. “Orang sini tidak melihat aneh orang BAB di sungai”, tambahnya. Sejak itu, normalitas kehidupannya mulai berjalan. Dengan normalitas itu dia dapat melanjutkan penelitiannya.

Penutup
                Persoalan yang sempat teramati olehku sejak 1970-an, itu ternyata belum rampung hingga kini di seluruh negeri. Paling tidak seperti yang sedang dan akan ditulis oleh 2 orang mahasiswa yang sedang kubimbing di atas. Tempat kasusnya memang di pedesaan sehingga orang yang membaca hasilnya nanti, terkhusus yang membaca sepintas, mungkin akan berkata: “di kampung kayak gitu, ya biasa lah”. Ini sesungguhnya salah. Di salah satu sudut, katakanlah pinggiran, Kota Medan, praktik buang air besar di sungai masih berlangsung. Fany, bakas mahasiswaku, yang skripsinya aku bimbing mengenai program sanitasi, menyebut   pesismismenya setelah meneliti. Gab antara masyarakat dengan inovator program masih ada; ketidaksesuaian teknologi dengan lingkungan dan kebutuhan belum sesuai, ditambah pula proses sosialisasi dan pendampingan yang kurang mendalam.
                Sebagai orang yang meyakini bekerjanya relasi-kekuasaan dalam segala kancah sosial, aku cukup yakin bila pemerintah, dalam hal ini orang-orang (petugas) yang menjalankan fungsi pemerintahan di lapangan, itu persisten dengan visi-misi pemerintahan, perubahan perilaku BABS pasti bisa terjadi. Kampungku sudah tamat dengan masalah itu sejak tahun 1980-an. Memang bukan hanya karena pemerintah, tapi ke-agency-an anggota masyarakat dalam memodernisir diri ―terutama melalui pendidikan sekolah sebelum dekade itu― pun sangat menentukan.
               









               
               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar