PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI FIELD OF OBSERVATION: Pendekatan Pluralisme Hukumð
Oleh: Fikarwin Zuska
T
|
ulisan ini menjurus
pada operasionalisasi pendekatan pluralisme hukum untuk penelitian mengenai
pengelolaan sampah kota yang saya rencanakan. Apakah pengelolaan sampah kota cukup beralasan
dipilih sebagai ‘field of observation’
dalam rangka penelitian pluralisme hukum? Apakah lapangan sosial pengelolaan
sampah kota ini
cukup akomodatif menampung luapan begitu banyak segi pemikiran yang berkembang dalam pendekatan antropologi
hukum dewasa ini? Lalu, bagaimana pengoperasiannya?
Perubahan
sosial yang cepat dan luas di masyarakat dewasa ini serta dinamika dan respon
akademik ahli-ahli antropologi hukum, tampaknya telah terefleksikan dalam
perkembangan yang semakin tajam konsep dan pendekatan pluralisme hukum. Hal ini
dapat dilihat dari semakin kuatnya
argumen-argumen yang diberikan untuk menyatakan bahwa pluralisme hukum itu
sesusungguhnya merupakan keniscayaan (Griffiths
1986a:4). Dalam semua lapangan sosial yang selalu merupakan semi-otonom (Moore 1993) itu, apapun urusan utama dan konteksnya,
pluralisme hukum adalah menjadi karakternya. Bahwa ada perbedaan
kompleksitas dari bidang sosial satu ke
bidang sosial lain, maka hal itu menurut hemat saya sangat bergantung pada siapa dan cara bagaimana melihatnya serta kait-mait dan pertalian (network) yang dapat dibangun oleh
inidividu-individu yang terlibat dalam kancah sosial dimaksud.
Penelitian
antropologi hukum yang akan saya lakukan dalam bidang sosial pengelolaan sampah kota , dalam hal ini kota Jakarta ,
diharapkan akan merefleksikan perkembangan dimaksud. Pertama-tama, karena
penelitian ini dilakukan dalam konteks perkotaan
yang kompleks; yakni sebuah kota
dari satu negara yang sama sekali tidak terisolasi dari proses-proses
globalisasi. Globalisasi adalah sebuah istilah yang, singkatnya, mengacu pada ‘the intensification of global
interconnectedness, suggesting a world full of movement and mixture, contact
and linkages, and persistent cultural interaction and exchange (Inda &
Rosaldo 2002:2). Dengan lain kata, mobilitas dan saling keterkaitan satu sama
lain menjadi ciri dunia hari ini; batas-batas semakin kabur; manusia dan budaya
dari pelbagai belahan dunia terlibat dalam kontak satu sama lain secara
mendalam dan langsung; mobilitas unsur-unsur tertentu, seperti modal, orang,
komoditas, image dan ideologi, adalah semakin bertemali dan jalin-menjalin.
Masyarakat, seperti ahli-ahli antropologi dulu pelajari, sudah nyaris tiada karena masyarakat ‘has no unified or bounded centre’ (Ahmed
& Shore 1995:21). Selain itu,
asosiasi-asosiasi sosial sangat banyak jumlahnya di dalam masyarakat, dengan
pelaku yang nyaris tumpang tindih satu sama lain. Kehidupan sosial
masyarakatnya sangat variatif, begitu banyak ragam, sehingga sulit
‘mengurungnya’ dalam sebuah definisi tunggal yang sederhana. Oleh sebab itu,
pemahaman bahwa satu kelompok dengan satu hukum atau satu kebudayaan untuk satu
kelompok, makin jauh dari kenyataan. Di sinilah pendekatan pluralisme hukum,
khususnya bidang sosial semi-otonom, sangat bisa menolong memberi pemahaman
termasuk, tentu saja, dalam bidang pengelolaan sampah kota .
Di lain
fihak, negara diwakili pemerintah sebagai perpanjangan tangannya, terlibat
penuh dalam bidang sosial pengelolaan sampah kota ini. Berbagai kebijakan dan
aturan-aturan hukum dibuat oleh negara untuk pelaksanaan pengelolaan sampah kota tersebut. Begitu
juga sistem, metode, dan perangkat teknologi, yang sebagian daripadanya diimpor
dari luar ─termasuk konsultan ahli yang harus dibayar dengan pinjaman atau
‘uang rakyat’─ diterapkan oleh pemerintah (mitra pemerintah) dan hal itu telah mempunyai riwayat
sendiri: kebanyakan gagal mencapai tujuan (lihat Cointreau 1991; Sicular 1991a,
1991b). Sejumlah orang terlibat dan dilibatkan dalam kerja pengelolaan itu,
baik dalam kapasitasnya sebagai aparatur pemerintah maupun non-pemerintah.
Kegiatan ini sudah beralangsung lama dan bahkan telah dijadikan oleh sebagian
pelaku sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah gantungan hidup.
Seiring perjalanan waktu, tantangan tugas
pengelolaan sampah kota
pun tidak semakin ringan. Di satu pihak, hal ini terjadi karena jumlah penduduk
dan sampah yang diproduksi semakin banyak. Kepadatan penduduk (jumlah orang :
luas wilayah) semakin tinggi akibat arus migrasi ke ibukota negara, yang
negaranya dibangun secara terpusat di ibukota (sentralistik). Lahan pembuangan
sampah di ibukota pun, dengan demikian, menjadi sempit dan mahal. Tanah menjadi
komoditas ekonomi dan politik, serta ajang bagi perebutan pengaruh dan
kekuasaan ─baik antara pemerintah dan penduduk maupun
antara sesama pengelola pemerintahan. Semua ini membawa dampak dan masalah bagi
pengelolaan sampah kota .
Di lain pihak, bencana alam banjir akibat
sistem pengairan dan kanalisasi yang tersumbat sampah ─di
samping pemeliharaan ekologi yang kurang
baik─ serta bencana kesehatan dan lain-lain,
mendorong sebagian warga kota
menekan pihak pengelola sampah (pemerintah) untuk bekerja (atau melayani
masyarakat) secara lebih profesional. Tekanan-tekanan yang ditujukan kepada
pemerintah ini, tidak bisa lepas dari pengaruh proses-proses globalisasi yang
di antaranya berisi isu demokratisasi, kebebasan dan Hak Azasi Manusia. Di
samping itu tentu akibat perubahan rezim dalam negeri, dari otoriter ke
demokrasi (disebut reformasi), yang
memberi kemungkinan bukan saja bagi lahirnya keberanian warga mengekspresikan
perlawanan terhadap pemerintah tetapi juga mendorong lahirnya Undang-Undang
Otonomi Daerah dan penghapusan pelbagai aturan hukum yang represif maupun yang
diskriminatif. Secara langsung atau tidak, peristiwa ini pasti membawa dampak
pada pengelolaan sampah kota
Jakarta .
Sekarang
kancah sosial pengelolaan sampah yang menjaring banyak sekali individu ini akan
dikaji untuk mengetahui apa hukum yang mengatur tindakan-tindakan mereka di sana . Asumsi pluralisme
hukum, menurut Griffiths
sebagaimana dinyatakan Moore
(2001:11) adalah bahwa: “the legal
reality anywhere is a collage of obligatory practices and norms emanating both
from governmental and non-governmental sources alike”. Jadi ada banyak
‘hukum’ yang hadir dan bekerja secara bersamaan (coexisted) dalam kancah yang sama. Bukan saja dari pemerintah
(pusat, kabupaten/kota, desa/kelurahan), tetapi juga dari sumber-sumber yang lain.
Bahkan dalam situasi sekarang, seperti dikatakan Benda-Beckmann &
Benda-Beckman (2000;2001), hukum-hukum itu bisa bersumber dari atau lahir
karena pengaruh international law, pemerintah-pemerintah
asing, organisasi-organisasi internasional (Worl Bank & IMF dan juga
perusahaan transnasional dll). Karena
itu adalah relevan dengan apa yang dikatakan Moore (2001a:1) “An analytic advance occure when attention
turn to the fact that the state was not the only source of obligatory norms,
but coexisted with many other sites where norms were generated and social
control exerted’. Moore
menambahkan, demi alasan analitis dan praktis mestinya diadakan
distingsi-distingsi untuk mengidentifikasikan asal-usul dari aturan-aturan dan
kontrol-kontrol tersebut. Dan dalam hal ini, Beckmann telah melakukan lebih
dahulu (Beckmann & Beckmann 2001) serta secara tegas pernah menyatakan
(Beckmann 1989:72) bahwa di dalam bidang
kajian antropologi pluralisme hukum maka bentuk hukum apapun pada prinsipnya
sama pentingnya, dan tidak bisa ditinggalkan dari penelitian mana pun; apakah
itu hukum adat, hukum agama atau hukum dari lembaga-lembaga negara dan ilmu
hukum
Sulit
memperkirakan sebenarnya berapa banyak sumber norma dan kontrol yang dapat
memaksakan (mewajibkan) orang-orang untuk taat dalam kancah pengelolaan sampah kota Jakarta ini. Namun secara teoritis dapat
dilacak apa antara lain yang merupakan sumber norma dan kontrol itu.
Sumber-sumber pemerintah tentu salah satu, hukum agama, adat dan sebagainya
sebagai sumber yang lainnya. Tetapi di
luar itu unit-unit sosial kecil maupun besar, dan ikatan-ikatan di antara satu
dan lain individu (orang dalam) baik formal maupun informal, berdasarkan
kontrak tertulis atau tidak, sudah sepatutnya tidak dilewatkan. Demikian pula ‘authoritative knowledge’ ─salah
satu bentuknya adalah pengetahuan yang dibuat dan digunakan pemerintah untuk
melegitimasi tindakan pemerintah[1]─ tidak bisa dilupakan. Sebab
pengetahuan ini merupakan ciri utama kultur pemerintahan dan pembangunan
kontemporer ─(pembangunan kontemporer itu adalah sebuah
lapangan tindakan dalam suatu sistem baru relasi-relasi internasional yang
tidak setara) (Moore 2001b:162).
Sebagai
individu, para pelaksana tugas-tugas pengelolaan sampah kota , berkemungkinan sekali juga mengadakan
perikatan-perikatan ─baik tertulis atau tidak─
dengan fihak-fihak lain. Apapun jenis dan bentuk perikatan itu, perlu disigi
karena kesetiaan, ketaatan dan kepatuhan pada rules of conduct dari ikatan itu, bukan mustahil akan mempengaruhi
bahkan berkonflik dengan rules of law/
rules of decission yang terkait dengan bidang sosial tempatnya bertugas.
Begitu juga keterikatan atau komitmen pada faham-faham tertentu, aturan-aturan,
isu-isu dan pengetahuan-pengetahuan yang diyakini masing-masing pelaksana, bisa
juga justeru menyebabkan rules of law dikesampingkan
implementasinya.
Penelitian
ini bertugas menyelidiki semua kemungkinan-kemungkinan yang terprediksikan
(secara teoritis), termasuk yang berdimensi transnasional itu dan juga
kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak terprediksikan (terutama oleh saya)
sekarang. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya hukum (yang
plural) itu dalam realitas, sekaligus menjelaskan mengapa realitas hukum
dimaksud terjadi demikian dan bagaimana dampaknya pada pengelolaan sampah kota Jakarta
itu sendiri. ‘Otoritas siapa pengelolaan sampah ini sebenarnya? Dan apa
yang berkuasa di sana ?’
adalah pertanyaan yang tak mungkin ditinggalkan.
Implikasi
teoritis dari penelitian ini tentu akan terbawa ke arah sana; persoalan otoritas
dan kekuasaan (power). “…much of the
debate that surrounds legal pluralism is not just an argument about words, but
is often a debate about the state of state today, one that asks where power
actually reside” (Moore 2001a:11). Otoritas, menurut satu faham, bisa
diberikan dan dipunyai oleh siapa pun, termasuk pemerintah, tetapi kukuasaan
tidak. Kekuasaan adalah authorless atau
agentless namun menggerakkan. Kuasa
atau ‘yang kuasa’ itulah yang menggerakkan. Rules
of law belum tentu kuasa menggerakkan kepatuhan bila kuasa yang lain lebih
kuat menggerakkan. Jadi ada semacam power
relations di antara pihak-pihak, dan di antara institusi-institusi, yang
melahirkan norma dan mengeluarkan kontrol sosial. Power dalam hal ini, menurut
Foucault (Patton1987:234; Cheater 1989), bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki
oleh inividu-individu atau kelompok-kelompok sosial, melainkan harus dilihat
sebagai sesuatu yang secara konstan in
play (bekerja). Power relations… are
susceptible to reversal. Jadi kalau dilihat dari sudut tindakan individu,
uang bisa lebih kuasa dari negara, presiden dan sebagainya; seks dan kecantikan
bisa lebih kuasa dari kepandaian; atau juga bisa sebaliknya. Suatu ketika
kejujuran lebih kuasa, tetapi di ketika yang lain justeru keahlian yang lebih
kuasa. Tidak ada yang permanen[2].
Inilah yang
menjadi pokok penelitian antropologi hukum tentang pengelolaan sampah kota ini. Persoalannya
bukan hanya bagaimana cara memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain,
tetapi justeru mempertanyakan apa yang para ‘pembuang sampah’ (termasuk
birokrasi pemerintah) telah lakukan/tidak lakukan serta alasan-alasan apa yang
akibatnya (mengharuskan) mereka tunduk padanya. Pertanyaan ini akan dengan
sendirinya mengarahkan peneliti untuk harus tahu (mencari tahu) apa yang sudah
dilakukan atau diputuskan menjadi dasar bagi perbuatan-perbuatannya, secara
tepat hari ini. Dari situ akan diketahui hukum-hukum apa saja yang benar-benar
‘bekerja’ mengatur perilaku individu-individu di dalam bidang sosial dimaskud.
Untuk dapat
menjawab persoalan itu, peneliti harus mengumpulkan data dengan cara menentukan
perilaku konkret apa yang akan diperhatikan. Tentu saja terdapat sejumlah tindakan konkret, di
mana orang tampak berbuat, mengerjakan beberapa pekerjaan dalam rangka
mengelola sampah kota
Jakarta , baik
langsung ataupun tidak langsung, di kantor ataupun di lapangan.
Tindakan-tindakan konkret ini tentu ada dasar dan sebab-musababnya, sehingga
perlu ditelusuri dan dikaji hingga ke belakang, oleh siapa, untuk apa dilakukan
dan mengapa? Jadi, seperti dikatakan oleh Vayda (1996:1) bahwa dalam rangka
mengumpul data, kita perlu menjadikan perilaku konkret manusia sebagai objek
utama studi kita.
DAFTAR BACAAN
Ahmed, Akbar S. & Shore, Cris N., “Introduction: Is Anthropology
Relevant to the Contemporary World?, dalam Akbar S. Ahmed dan Cris N. Shore (ed), The Future of Anthropology, Its Relevance to the Contemporary World
(London & Atlantic Highlands: Athlone 1995) hal. 12-45.
Benda-Beckmann F. von & Benda-Bechmann, Keebet von, “Jaminan Sosial, Sumber Daya Alam dan
Kompleksitas Hukum”, dalam Franz von Benda-Bechmann, Keebet von Benda-Bechmann,
& Juliette Koning (editor), Sumber
Daya Alam dan Jaminan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.:
28-31.
Benda-Beckmann F. von & Benda-Beckmann, Keebet Von., “The Law of Thing: Legalization and
De-legalization in Relationship Between The First and The Third World”,
dalam E.K.M. Masinambow, ed, Hukum dan
Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70
Prof. Dr. T.O. Ihromi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2000), hal.: 17-31.
Cheater, Angela, ‘Power in the Postmodern Era’, dalam Angela Cheater
(ed), The Anthropology of Power:
Empowerment and Disempowerment in Changing Structures (London and New York:
Routledge 1999) hal.:1-12.
Contreau, Sandra J., “Pengelolaan Limbah Padat di Negara Berkembang”,
dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah
Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia 1991), hal.: 3-12.
Griffiths, John , “What is Legal Pluralism?”, (Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, Number 24/1986),
hal.: 1-55.
Griffiths, John., ‘Recent Anthropology of Law in the Netherland and its
Historical Background’ dalam Keebet von Benda-Beckmann & Fons Strijbosch
(ed), Anthropology of Law in The Netherlands (Dordrecht-Holland/Cinnaminson-
USA: Foris Publications, 1986) hal. 11-66.
Ihromi, T.O., “Beberapa Catatan Mengenai Perkembangan Antropologi Hukum
Sebagai Disiplin Akademik di Indonesia” (Antropologi
Indonesia No.47, Th.XIII Agustus-September
1989), hal.:7-25).
Inda, Jonathan Xavier & Rosaldo, Renato,
‘Introduction to Aworld in Motion’, dalam Jonathan Xavier Inda & Renato
Rosaldo (ed) The Anthropology of Globalization
(Melden , Massachusetts ,
Oxford :
Blackwell Publisher 2002) hal: 1-36.
Koentjaraningrat, “Antropologi
Hukum” (Antropologi Indonesia No.47,
Th.XIII Agustus-September 1989),
hal.:26-34.
Max Planck Institute for Social Anthropology, “Research Programe”, http://www.eth.mpg.de/research/legal/recearchprograme.htm#towards.
Moore, Sally Falk, “Certainties Undone: fifty turbulent years of legal
anthropology, 1949-1999” The Journal of Anthropological Institute 7
(2001):95-116, To be published also in Transnational legal Processes, edited
bay Michael Likosky, Buterworth. Terdapat pada http://www.sos-net.eu.org/red&s/dhdi/amis/sally.pdf
Moore, Sally Falk, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial
Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi
(penyunting) Antropologi Hukum Sebuah
Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993), hal.: 148-193.
Moore, Sally Falk., The international production of authoritative
knowledge: The case of drought-sticken West Africa
(Ethnography vol 2(2) 2001) 161-189.
Patton, Paul, ‘Michel Foucault’, dalam Diane J.Austin-Bross,ed, Creating
Culture (Sydney, London,
Boston: Allen & Unwin 1987) hal: 226-242.
Seymour-Smith, Charlotte., Macmillan Dictionary of Anthropology
(London and Basingstoke: The Macmillan Press Ltd. 1986).
Sicular, Daniel T., “Kekuasaan dan Praktik Dalam Sistem Pemulungan di
Bandung, Jawa Barat”, dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah Padat di Indonesia: Masalah Atau
Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1991), hal.: 35-65.
Sicular, Daniel T., “Pengelolaan Limbah Padat di Indonesia” dalam
Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah
Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia 1991), hal.: 13- 34.
Vayda, Andrew P., “Actions,
Variations, and Change: The Emerging Anti-Essentialist View in Anthropology”,
dalam Robert Borofsky,ed, Assessing
Cultural Anthropology (Newyork: McGraw-Hill,Inc 1994) hal.:320-330.
Vayda, Andrew P., Methods and Explanations in the Study of Human
Actions and their Environmental Effects (Jakarta: CIFOR dan WWF 1996).
Vayda, Andrew P., Progressive Contextualization: Methods for Research
in Human Ecology, (Human Ecology Vol.11.No.3) 265-281).
ð Tulisan ini merupakan
jawaban saya atas pertanyaan tertulis co-promotor Prof. Dr. Sulistyowati
Irianto, dalam ujian kualifikasi di Program Pascasarjana Antropologi, FISIP UI
tahun 2005/2006.
[1]
Moore
(2001b:162) menambahkan bahwa pengetahuan otoritatif tidak hanya berasal dari
pemerintah: “..it would be a mistake to
imagine that there is only one form of authoritative knowledge. There are
competing and convergent forms”.
[2]
Saya tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam konseptualisasi Michael Foucault
tentang kekuasaan (power) yang mendatangkan perdebatan ini, meskipun saya
condong setuju dengannya. Kritik atas konsepsi Foucault yang inkonsisten serta
solusi bagi ketidakkonsistenan itu dapat dilihat dalam Cheater (1999:3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar