25 Oktober 2009

gotong royong

Gotong Royong di Kota

Ada sejumlah pertanyaan diajukan oleh peserta dalam sebuah ‘forum dialog’ kepada saya. Saya, dalam forum yang diadakan oleh Dinas Kominfo Pemprovsu itu, kebetulan, bertindak sebagai narasumber. Selain saya ada Prof. Irmawati, psikolog dari USU, dan Dr. Zainul Fuad (dari IAIN SU menggantikan Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis yang berhalangan hadir) sebagai narasumber. Sementara Drs. Irfan Simatupang, MSi bertindak sebagai moderator. Dalam dialog bertema Pembangunan Karakter Bangsa Dalam Meningkatkan Budaya Kegotongroyongan, itu hadir sejumlah peserta dari berbagai kalangan. Di antaranya dari Forkala, FKUB, siswa SMA Negeri 7, utusan-utusan SKPD, PKK Pemprovsu dan lain-lain.

Pertanyaan yang diajukan kepada saya cukup berat juga. Misalnya soal pertalian gotong royong dengan masyarakat kota. “Konon gotong royong bersuasana ‘desa’. Apa mungkin gotong royong dilangsungkan di perkotaan?”, tanya bapak Ansari dari FKUB.

Tidak langsung saya menjawab pertanyaan ini. Diperlukan lebih dulu pemahaman konseptual tentang ‘gotong royong’. Saya setuju dengan konsep gotong royong yang digagas oleh Prof. Amri Marzali (2005). Marzali mengembangkan gagasannya dari gagasan awal Prof. Koentjaraningrat tentang gotong royong (1964); bukan dari gagasan Koentjaraningrat sesudah itu (misalnya tahun 1974).

Inti gagasannya ‘gotong royong’ tidak sama dengan ‘tolong-menolong’. Walaupun kedua-duanya merupakan kerjasama, atau kerja bersa-sama, tetapi azasnya berbeda. Tolong-menolong adalah kerjasama berasas resiprositas atau timbal-balik. Bila si A ditolong pada suatu ketika, maka pada saat itu juga timbul ‘kewajiban’ pada diri si A untuk suatu waktu di ketika yang lain nanti, Ia akan membalas/ mengembalikan pertolongan yang diberikan oleh si B.

Berbeda dengan gotong royong. Gotong royong tidak ada balas-membalasnya karena tidak jelas siapa yang akan membalas, dan kepada siapa balasan itu diberikan. Individu, dalam gotong royong, bekerja bersama untuk keperluan bersama. Tidak ada individu atau kelompok lain yang diuntungkan. Karena itu tidak ada individu yang berkewajiban membalas. Jadi, dengan demikian, kerjasama gotong royong tidak dapat dikatakan berasas resiprositas. Asasnya, merujuk Marzali, adalah komitmen kepada kelompok. Anggota kelompok merencanakan sesuatu, melakukan/ melaksanakan rencana itu, untuk menghasilkan sesuatu bagi mereka (anggota kelompok). Ini persis dengan prinsip demokrasi: dari kita, oleh kita dan untuk kita.

Partisipasi, dengan demikian, tidak bisa lepas dari konsep gotong royong. Semua orang yang disebut dan masuk sebagai ‘kita’ dalam kosa kata “dari kita”, harus semuanya terlibat dalam membuat/memutuskan sesuatu rencana. Begitu pula waktu melaksanakan rencana. Recana itu harus dilaksanakan “oleh kita” pula. Bukan oleh orang lain di luar kita. Alasannya tidak lain karena manfaat dari pelaksanaan rencana tersebut adalah “untuk kita”; bukan untuk mereka atau orang lain. “Kita” di sini tentu kita semua sebagai anggota suatu kelompok.

Kelompok, menjadi sangat penting dalam konsep gotong royong ini. Begitu pun pemimpin kelompok. Tanpa pemimpin, tidak mungkin kelompok dapat bergerak. Individu anggota kelompok tidak akan bergerak bersama-sama, bergotong royong, apabila tidak ada orang yang memandu.

Orang yang memandu gotong royong harus pemimpin yang terpercaya; dipercaya oleh warganya sebagai orang yang tidak akan mementingkan dirinya sendiri. Kalau pemimpin tidak demikian, niscaya tidak ada kesukarelaan warga untuk kerjasama membuat kerja kelompok. Gotong royong memerlukan kesukarelaan. Kerjasama tanpa kesukarelaan dapat tergelincir menjadi ‘rodi’ (kerja paksa). Sebaliknya, kerjasama penuh kesukarelaan tetapi dengan ketidaksetaraan, seumpama ‘mengabdi’ kepada duli tuanku, itupun bukanlah gotong royong. Ini lebih mirip dengan penghambaan. Dua-duanya, menurut hemat saya, masuk dalam kategori penindasan.

Kembali ke pertanyaan, apakah gotong royong dapat diterapkan di metropolitan?

Beranjak dari konsep gotong royong yang berarti kerjasama ―dari kita, oleh kita dan untuk kita― maka saya kira, gotong royong dapat diterapkan dalam masyarakat metropolitan. Sebab, gotong royong tak ubahnya seperti praktik demokrasi dan atau partisipasi. Kalau kita yakin demokrasi dan partisipasi dapat dijalankan, baik di lingkungan masyarakat pedesaan maupun di perkotaan, maka secara otomatis gotong royong pun dapat diterapkan di perkotaan. Yang penting ada kepemimpinan yang mampu menggerakkan warganya untuk bekerjasama secara sukarela demi kepentingan bersama (kelompok).

Pemerintah dan pemimpin

Mewujudkan gotong royong dewasa ini memang tidak mudah. Tantangannya yang paling utama adalah pemerintah. Pemerintah sudah terlanjur mengurus hampir semua ‘urusan bersama’ setiap kelompok. Dan oleh pemerintah ‘urusan bersama’ itu diperjual belikan (ditenderkan) pula. Jadi ‘urusan bersama’ itu bukan lagi hanya dicerabut dari kelompok, melainkan juga ‘diperjual belikan’.

Jalan, jembatan, danau, hutan dan lain-lain yang merupakan ‘kepentingan umum/bersama’ diambil alih oleh pemerintah. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dikerjakan sebagai kerja bersama oleh kelompok. Ini salah satu yang menyebabkan pudarnya gotong royong, dan ini pula yang menyebabkan sulitnya menghidupkan gotong royong di masyarakat. Kompromi antara warga dengan pemerintah, dalam arti partisipasi, untuk membuat gawe bersama belum terbangun.

Di samping itu juga menyangkut originalitas sang pemimpin kelompok. Pemimpin-pemimpin kelompok dewasa ini seringkali lahir secara instan; tidak alamiah. Intervensi pihak luar, antara lain, menjadi penyebabnya. Pihak luar berkepentingan untuk menampilkan individu tertentu menjadi pimpinan kelompok. Akibatnya sang pimpinan lebih berpihak dan mementingkan kepentingan dari luar; bukan kepentingan kelompoknya.

Akhir-akhir ini banyak pimpinan muncul karena mekanisme uang. Ia muncul karena ‘membeli’ suara konstituennya. Pemimpin macam ini tidak mungkin akan mengabdi. Tugas utamanya tentulah mengembalikan “modal” atau uang yang digunakannya untuk membeli suara. Tugas berikutnya yaitu melayani TS (Tim Sukses). Terkadang TS lebih berpengaruh dibandingkan diri pemimpin itu sendiri. Pemimpin ‘semu’ atau ‘boneka’ macam ini tidak mungkin menggerakkan gotong royong.

Pemimpin otoriter dan pemimpin karismatis, meski berbeda, namun sama-sama tidak bisa melahirkan gotong royong. Kerjasama di bawah kepemimpinan macam ini biasanya tidak memiliki kesetaraan. Orang bekerjasama hanya karena takut (terpaksa) atau karena pasrah (mengabdi) bukanlah karakter gotong royong. Gotong royong itu bernuansa demokratis.

Kota

Gotong royong ―kerjasama yang terjadi karena komitmen pada kelompok― dapat terkendala perwujudannya karena multiplisitas kenggotaan individu. Seorang individu bisa menjadi anggota sejumlah kelompok. Dan komitmen individu tersebut terhadap kelompok-kelompok yang dianggotainya, boleh jadi tidak sama. Implikasinya terhadap gotong royong juga berbeda, tergantung di kelompok mana individu bersangkutan merasa atau melihat dirinya lebih menjadi subjek (di-orang-kan).

Di kota individu-individu hidup dalam satuan-satuan sosial yang kompleks. Tinggal di lingkungan fisik dan sosial tertentu, bekerja di lingkungan sosial yang lain. Di lingkungan tempat tinggalnya, individu bersangkutan mungkin dianggap marginal; bukan penduduk inti. Sementara di tempat kerja Ia sebagai elite. Komitmennya mungkin saja lebih besar pada kelompok korporasi/kantornya ketimbang pada kelompok di lingkungan tempat tinggal. Akhirnya kontribusi atau gotong royong akan diberikan ke kantor/korporasi.

Kemurnian atau kesukarelaan bekerjasama untuk kepentingan bersama makin sulit diwujudkan karena, seperti dikatakan di muka, unsur-unsur ‘kepentingan bersama’ semakin menipis. Negara atau pemerintah mengambil terlalu banyak “urusan-urusan kelompok” menjadi “urusan pemerintah”. Di lain pihak pemerintah, dalam menjalankan tugas-tugasnya, kurang memperhatikan partisipasi. Pemerintah lebih banyak menerapkan pendekatan top-down. Aspirasi masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok kurang terakomodasi.

Bila pendekatan bottom-up dan partisipatoris dapat dijalankan dengan baik, otomatis, gotong royong sudah berjalan. Individu-individu sudah dijadikan subjek, keberadaannya diakui, ada kesetaraan, dan yang lebih penting lagi tanggung jawab atau komitmennya terhadap urusan bersama. Artinya, warga tidak hanya diperlakukan sebagai ‘ban serap’. Manakala keamanan terganggu, barulah warga dipaksa melakukan ‘jaga malam’. Mereka tidak pernah ‘terlibat’ saat merumuskan keputusan untuk mengerahkan warga melaksanakan jaga malam itu sendiri.

16 Oktober 2009

Bencana

http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=21381:pantai-barat-dan-timur-sumatera-terancam-dikepung-banjir&catid=32:sumut-dan-aceh&Itemid=58

Pantai Barat dan Timur Sumatera Terancam Dikepung Banjir
E-mail
WRITTEN BY DANIEL MANIK   
friday, 16 october 2009 09:23

Gubsu H Syamsul Arifin SE mengatakan, situasi yang berkembang di beberapa wilayah di Sumut saat ini mengindikasikan terjadinya banjir di sejumlah kawasan. Beberapa daerah, termasuk Medan dan beberapa kawasan di pantai timur maupun pantai barat Sumatera terancam "dikepung banjir".


"Namun, mencegah kepanikan yang terjadi pada warga, upaya antisipasi dini sangat diperlukan," ujar gubsu melalui kadis Kominfo Sumut, Drs H Eddy Syofian MAP, saat membuka pertemuan Kominfo/Humas se-Sumut di Hotel Sibayak Berastagi, Rabu (14/10).

 


Gubsu menegaskan, pemerintah dan semua pihak perlu melakukan antisipasi atau peringatan dini (early warning system) kepada masyarakat. Pemkab, pemko dan satkorlaknya, imbuhnya, hendaknya melakukan upaya-upaya konkrit untuk menyiasati kondisi ini.


Sebab, kata Gubsu, bencana memberikan implikasi luas yang tidak semata-mata kepada aspek human security secara umum, tetapi secara khusus terhadap social security, health security, environmental security, personal security, community security dan political security.


Mencegah besarnya dampak bencana yang timbul secara fisik maupun psikis, maka perlu disosialisasikan kepada masyarakat.


Peringatan dari ahli geologi maupun pakar lainnya tentang prediksi bencana alam diharapkan agar memicu pemerintah dan semua pihak untuk segera bertindak mengintegrasikan human security secara solid dalam penanggulangan bencana alam.


"Berbagai studi menyebutkan minimnya pengetahuan dasar tentang cara menghadapi bencana, termasuk cara penyelamatan dan tindakan darurat pasca bencana alam, merupakan salah satu faktor yang memperburuk situasi pasca bencana," ujarnya.


Dalam pertemuan tersebut, tiga nara sumber menyampaikan paparannya, masing-masing Hendra Suwarta SP SKom dari Bali Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan, Drs Fikarwin Zuska MA dari USU Medan dan Ronda Tarigan SH dari Bakesbang Pol Linmas Kabupaten Karo.

 

 DANIEL MANIK | GLOBAL | KABANJAHE

 



Bencana Alam

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31668:gubsu--pantai-barat-dan-timur-sumatera-terancam-dikepung-banjir-&catid=51:umum&Itemid=31

Gubsu : Pantai Barat dan Timur Sumatera Terancam Dikepung Banjir
Cetak Email

Berastagi, (Analisa)

Gubsu, H Syamsul Arifin SE mengatakan, situasi yang berkembang di beberapa wilayah di Sumut saat ini mengindikasikan terjadinya banjir di sejumlah kawasan.

Beberapa daerah, termasuk Medan dan beberapa kawasan di pantai timur maupun pantai barat Sumatera terancam "dikepung banjir".

"Namun, mencegah kepanikan yang terjadi pada warga, upaya antisipasi dini sangat diperlukan," ujar gubsu melalui kadis Kominfo Sumut, Drs H.Eddy Syofian M.AP, saat membuka pertemuan Kominfo/Humas se-Sumut di Hotel Sibayak Berastagi, Rabu (14/10).

Gubsu menegaskan, pemerintah dan semua pihak perlu melakukan antisipasi atau peringatan dini (early warning system) kepada masyarakat. Pemkab, pemko dan satkorlaknya, imbuhnya, hendaknya melakukan upaya-upaya konkrit untuk menyiasati kondisi ini.

Sebab, kata Gubsu, bencana memberikan implikasi luas yang tidak semata-mata kepada aspek human security secara umum, tetapi secara khusus terhadap social security, health security, environmental security, personal security, community security dan political security.

Mencegah besarnya dampak bencana yang timbul secara fisik maupun psikis, maka perlu disosialisasikan kepada masyarakat, terutama masalah human security, pencegahan secara dini (early warning system), cara-cara penyelamatan dan tindakan darurat panca bencana alam.

Peringatan dari ahli geologi maupun pakar lainnya tentang prediksi bencana alam diharapkan agar memicu pemerintah dan semua pihak untuk segera bertindak mengintegrasikan human security secara solid dalam penanggulangan bencana alam.

"Berbagai studi menyebutkan minimnya pengetahuan dasar tentang cara menghadapi bencana, termasuk cara penyelamatan dan tindakan darurat pasca bencana alam, merupakan salah satu faktor yang memperburuk situasi pasca bencana," ujarnya.

Dalam pertemuan tersebut, tiga nara sumber menyampaikan paparannya, masing-masing Hendra Suwarta,SP,S.Kom dari Bali Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan, dengan makalah berjudul "Gempa dan fenomena alam serta upaya mengantisipasinya", Drs Fikarwin Zuska MA dari USU Medan dengan judul makalah "Meningkatkan kearifan lokal dalam mengantisipasi bencana alam" dan Ronda Tarigan SH dari Bakesbang Pol Linmas Kabupaten Karo selaku Satkorlak Kabupaten Karo menyampaikan pemaparannya berjudul "Sistem dan managemen penanggulangan bencana alam di Kabupaten Karo". (ps)

 

12 Oktober 2009

Ini Medan Bung!

Kamis 8 Oktober 2009 — Admin

Gubsu Minta Kepala Daerah Deteksi Potensi Bencana


>> imbc, medan
Gubernur Sumatera Utara, H Syamsul Arifin SE mengingatkan para kepala daerah tingkat II di Sumut mendeteksi dan mendata potensi bencana alam di masing-masing daerah. Katanya, potensi bencana alam, seperti banjir, longsor dan gempa masih dimungkinkan terjadi.
"Dengan diketahuinya potensi bencana itu, akan dapat dicarikan langkah antisipasi dan pencegahan secara dini. Warga juga harus mau dipindah, jika dinyatakan wilayah tempat tinggalnya dinilai rawan bencana. Ini untuk mengantisipasi terjadinya korban lebih besar," ujar Gubsu disampaikan Kadis Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Drs H Eddy Syofian, MAP pada pembukaan Forum Dialog Tentang Penanggulangan Bencana Alam Kerjasama Antara Dinas Komunikasi dan Informatikan Provsu dengan Departemen Kominfo RI, di Hotel Dharma Deli, Medan , Kamis, (8/10).
Gubsu juga mengajak para kepala daerah dan elemen terkait meningkatkan koordinasi, bersinergis dan mensingkronkan langkah-langkah penanggulangan bencana alam, seperti Banjir Bandang di Kec. Batang Gadis, Kab. Mandailing Natal (Madina). Hal itu dimaksudkan, agar bantuan yang disalurkan tepat ke sasaran.
"Diperlukan manajemen pengelolaan bantuan bencana alam dengan baik. Tanpa manajemen yang baik, sulit bantuan bisa sampai ke sasaran," ujar Gubsu lagi.
Pada kesempatan itu, Gubsu juga mengatakan, untuk membantu korban banjir bandang dan gempa bumi Sumbar, Pemprovsu telah mengirim tim medis sebanyak 102 dokter spesialis dan umum, 160 kantong mayat, obat-obatan untuk 4.000 pasien, makanan bayi. Selain itu, membantu alat penampungan air bersih, 14 unit alat berat, air mineral, mie instan dan roti kaleng dan lainnya.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bersama pihak BUMN, BUMD, Perbankan, Pertamina, dan swasta juga menggalang dana untuk membantu korban banjir bandang Madina dan gempa Sumatera Barat dengan membuka rekening "Sumut Peduli" dengan Nomor Rek/Tab AC. 02.04.017000-0 PT Bank Sumut yang dikoordinatori Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Utara (Sekdaprovsu) RE Nainggolan.
"Pemprovsu komit membantu korban gempa bumi Sumbar. Kita telah mendirikan dua Posko Sumut peduli, yakni di Sumbar dan di Medan," papar Eddy.
Kepala Bidang Data dan Informasi Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan, Hendra Suwarta SP, S. Kom dalam pemaparannya pada Dialog Penanggulangan Bencana Alam tersebut mengatakan, Bencana bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan dapat menimpa siapa saja. Katanya, bencana alam tidak dapat dicegah datangnya. Hanya sedikit yang dapat ditanggulangi.
Katanya, untuk mengurangi resiko/dampak bencana segala upaya dan kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada saat, sebelum terjadinya bencana serta penyelamatan pada saat terjadi bencana. Berikutnya tahap rehabilitasi dan rekontruski pada saat setelah terjadi bencana.
Firman, AhMG, S.Kom, Kepala Seksi Data dan Statistik Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisikan Polonia Medan mengatakan, potensi cuaca ekstrim masih akan terjadi pada Oktober 2009. yakni curah hujan akan meningkat selama bulan tersebut. Tingginya curahnya hujan tersebut akan berdampak terjadinya banjir di sejumlah daerah di Sumut.
Kata Firman, daerah-daerah yang berpotensi banjir, longsor, petir dan aingin kencang yakni Kab. Langkat, Kota Medan, Deliserdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Tobasa, Asahan Labuhan Batu, Tapteng, Madina/ dan Tapsel. Bahkan katanya,di perairan barat Sumut gelombang bisa mencapai 3 meter.
Firman mengingatkan kepada warga yang tinggal di daerah-daerah yang berpotensi banjir, longsor dan angin kencang tersebut, agar meningkatkan kewaspadaannya. "Jika terjadi hujan selama empat hari, tingkatkanlah kewaspadaan. Sebab, banjir akan terjadi," sebutnya.
Dikatakan Firman lagi, tidaknya menentunya curah hujan di sejumlah daerah di Sumut tersebut lebih disebabkan karena pengaruh global warning. Tak menentunya curah hujan itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi disejumlah negara di Asia, seperti Fhilipina dan China. "Di Filipina tingkat curah hujan satu hari, sama dengan tingkat curah hujan sebulan pada waktu normal, sehingga terjadi banjir di mana-mana," paparnya.
Dalam Farum Dialog penanggulangan bencana kemarin, juga dibahas tentang Kearifan lokal untuk pengelolaan dan antisipasi bahaya bencana Alam. Dr Fikarwin Zuska, Dosen Departemen Antropologi USU mengatakan, studi-studi tentang masyarakat dan kebudayaan banyak menunjukan adanya pertautan yang kuat antara kebudayaan dan lingkungan alam.
Pada acara itu juga disoal tentang pemberian izin HPH (Hak Penguasaan Hutan) 100 tahun. Redikson Hutauruk, mewakili Kadis Kehutanan Sumut menjelaskan, pemberian izin HPH 100 tahun itu lebih karena usaha kayu yang dikembangkan memiliki usia lebih panjang. Karena perkembangan sebuah batang kayu itu 1 cm pertahun. Dalam waktu 50 tahun, baru bisa ditebang untuk dimanfaatkan menjadi bahan-bahan bangunan dan lainnya.
"Karena setelah kayu dipotong, pengusaha harus menanam kembali pohon yang ditumpang itu. Untuk menjadikan pohon itu besar, butuh waktu lama. Makanya, izin HPH itu diberikan panjang," paparnya.
Sahat Tarida, Advokasi Walhi Sumut menjelaskan, masyarakat Sumut masih dihadapkan pada bencana alam yang mengakibatkan korban jiwa. Katanya, bencana alam terjadi tak hanya karena siklus alam, tapi juga akibat ulah manaus

Berita Sore

sumber: http://beritasore.com/2009/04/17/sumut-barometer-keharmonisan-antar-etnis-di-indonesia/

SUMUT BAROMETER KEHARMONISAN ANTAR ETNIS DI INDONESIA

Jum, Apr 17, 2009

Medan

Medan ( Berita ) : Hubungan antar etnis/agama yang diakui cukup harmonis di Sumatera Utara (Sumut), dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia dalam menerapkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Antropolog Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Fikarwin Zuska, di Medan, Jumat [17/04] , mengatakan, hubungan harmonis antar kelompok etnis di Sumut, tidak lain karena konflik fisik antar kelompok etnis di daerah itu yang sangat multi etnis ini sangat jarang terjadi.

Walau beberapa puluh tahun lalu pernah ada konflik bernuansa kesukuan di daerah itu, misalnya revolusi sosial 1940-an di Sumatera Timur atau perang Par Utara-Selatan di Sihepeng tahun 1957, tetapi peristiwa itu tidak pernah meluas dan berkepanjangan apalagi diwariskan.

Fenomena inilah yang kemudian diterjemahkan bahwa sentimen atau loyalitas kesukuan, termasuk di dalamnya agama, asal daerah, dan bahasa tidak cukup kuat dijadikan alat oleh orang-orang tertentu untuk menggerakkan individu-individu menyerang secara fisik individu dari etnis berbeda.

"Berbagai konflik yang pernah terjadi itu selalu dapat dilokalisir menjadi konflik individual, bukan suku, agama, maupun daerah asal. Di Sumut sendiri ada beberapa etnis di antaranya Batak, Melayu, Mandailing, Karo, Simalungun dan Nias," katanya.

Kemampuan masyarakat Sumut untuk melokalisir benturan-benturan antar individu berlainan kelompok di dalam berbagai kancah sosial, inilah sebenarnya yang patut dicatat.

Kemampuan ini bukan merefleksikan bahwa kesetiaan primordial dan rasa hormat yang kuat pada kelompok primordial, makanya orang orang di Sumut tidak mau membawa-bawa kelompok etnisnya untuk dibenturkan atau berbenturan dengan kelompok etnis lain.

"Karena hasilnya hanya rugi "kalah jadi abu menang jadi arang". Lagi pula komposisi penduduk berdasarkan kelompok etnis di Sumut jumlahnya relatif berimbang sehingga membuat berbagai pihak berpikir lebih panjang untuk menyerang kelompok lain," katanya. (ant )

Dari Harian Global

Tempat Tinggal Aman dan Nyaman, Hati-hati Memasang Jeruji Rumah Anda!

Written by Ester Pandiangan

Wednesday, 04 March 2009 14:08

Nyaman dan aman. Itulah dua aspek penting dalam membuat sebuah rumah. Kenyamanan tempat tinggal mungkin tergantung dengan selera individu. Namun, tidak untuk masalah keamanan. Karena, memiliki rumah aman adalah keinginan kita semua.

Sayangnya, obsesi membuat rumah menjadi tempat tinggal yang aman kadang tidak kita pikirkan dampaknya. Pasalnya, ketatnya keamanan rumah bisa saja menjadi sebuah dilema besar bagi kita. Bukan rasa aman yang didapat, melainkan ‘maut’ siap menanti, seandainya terjadi peristiwa yang tidak kita inginkan.

Kasus kebakaran rumah (terutama berdesain ruko) yang marak terjadi akhir-akhir ini adalah contohnya. Beberapa korban tewas, salah satunya diakibatkan desain rumah yang terlalu ketat. Tidak ada sedikitpun celah untuk bisa melarikan diri. Jeruji besi yang sedianya dipasang untuk keamanan rumah, berubah menjadi sebuah ruangan bak neraka. Karena tak bisa keluar, korban pun akhirnya pingsan dan terbakar.

Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, bukan satu ring saja jeruji besi itu terpasang. Bisa sampai beberapa lapis. Dari mulai teras rumah, pintu, jendela hingga balkon. Demikian juga di ruang terbuka lainnya. Karena, disadari atau tidak, kondisi ini dapat meminimalkan gerak penghuninya bila bencana seperti kebakaran terjadi.

Bagaimana mau menyelamatkan diri jika terjebak dalam ruangan?. Jangankan untuk loncat, mencari bantuan dengan berteriak pun bukanlah hal yang mudah. Jeruji besi yang terpasang tidak memberi sedikitpun ruang untuk bisa mempertahankan diri dari kobaran api.

Menurut Aditya ST dan Anditya ST, dua kakak beradik yang berprofesi sebagai arsitektur ini, keamanan memang menjadi sebuah harga mati bagi masyarakat. Mengingat tingkat kriminalitas di kota-kota besar, seperti Medan yang makin merajalela. Sayangnya, konsep keamanan tersebut ternyata tidak mempertimbangkan dampak negatif seandainya bahaya datang dari dalam rumah.

“Terlampau banyak 'benteng pertahanan' di rumah membuat penghuni akan sedikit kelimpungan bila hendak keluar dari rumah. Pengamanan yang berlapis. Contohnya jendela yang sudah dijeruji lalu dikerangkeng lagi, justru menyukarkan penghuni seandainya bencana berasal dari dalam rumah,” papar Aditya ST, saat ditemui Global kemarin.

Menurut kedua arsitek ini, biasanya yang banyak menggunakan konsep keamanan seperti ini adalah masyarakat yang tinggal di Rumah Toko(Ruko). Desain ruko yang langsung mentok ke dinding tanpa ada selasar di belakang rumah dinilai tidak baik bila dipandang dari segi keamanan. Pasalnya, akses keluar rumah hanya satu saja yakni dari depan rumah.

Aditya mengatakan pengadaan selasar di belakang rumah toko amat penting. Sebagai 'pintu' lain sebuah rumah. Idealnya lebar selasar 1,5 hingga 2 meter. Tapi karena rasa sayang mengurangi lahan untuk dijadikan lorong kecil, kebutuhan akan selasar dikesampingkan.

Seyogianya jika bencana terjadi misalnya kebakaran, selasar dapat digunakan sebagai jalan untuk melarikan diri, keluar dari rumah. “Tapi yang kita lihat, pengembang cenderung mau hemat. Kalau lahan digunakan sebagai selasar kan mengurangi luas rumah, harganya lebih murah ketimbang rumah yang tidak ada selasarnya,” tambah Anditya.

Perlunya Tangga Darurat

Desain ruko tidak bisa disamakan dengan rumah-rumah biasa. Mulai dari segi bentuk dan fungsi sudah jauh berbeda. Apalagi ruko biasanya diapit dengan barisan ruko lainnya. Hal ini tentunya semakin mempersulit gerak penghuni. Karena itulah, jika Anda tinggal di kawasan Ruko, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan. Antara lain, tak perlu melapisi rumah dengan sedemikian banyak jeruji. Jika menginginkan demikian, lebih baik bila jeruji yang dipasang didesain dapat dibuka dari dalam tapi tidak dapat dibuka dari luar.

Tak ada salahnya penghuni rumah menyediakan tangga darurat yang diletakkan di belakang rumah. Dengan pengadaan tangga darurat menambah jalan keluar masuk rumah.

Dari segi pemilihan bahan bangunan, hindari material yang dapat menghantarkan panas. Seperti kayu, tripleks dan gypsum. Bila penghuni memang getol dengan material tersebut, tak ada salahnya melengkapi hunian dengan pengadaan tabung pemadam kebakaran.

Hati-hati memilih kontraktor. Karena kontraktor yang 'nakal' suka 'memainkan' kuantitas dan kualitas material bangunan akan mengurangi keamanan sebuah rumah.

“Sejatinya ada empat hal yang harus diperhatikan sebelum membangun sebuah rumah. Kekuatan, keawetan, keindahan dan kesehatan. Tak hanya desain saja perilaku pemilik juga harus dijaga. Seperti berhati-hati menggunakan peralatan elektronik dan kompor dan rutin mencheck listrik. Dan lagi ada baiknya setiap anggota keluarga memiliki kunci rumah,” seru Aditya memberi saran.

Sebagai Bentuk Perlindungan Diri

Penggunaan jerjak sebagai pelindungan keamanan dalam rumah sebenarnya sah-sah saja. Menurut Dr Fikarwin Zuska, dosen Antropologi USU, fenomena desain rumah yang sedemikian banyak pengamanannya seperti pemasangan jerjak dan teralis berlapis fungsi utamanya adalah sebagai upaya perlindungan diri.

Manusia selalu berelasi dengan orang lain. Berdasarkan pengalaman tersebut, membuat setiap orang untuk selalu bersikap. Dan biasanya sikap tersebut dicerminkan melalui sebuah media. Salah satunya adalah dalam bentuk desain rumah.

“Dia membuat konstruksi rumah yang kondusif baginya dan aman dari gangguan luar. Ini adalah strategi kelompok untuk survive menghadapi relasi dengan unsur di sekitarnya,” papar Fikarwin.

Teralis-teralis ataupun jeruji yang dibentuk menyerupai kerangkeng yang menudungi rumah merupakan simbol-simbol akan keadaan tidak aman. Selain karena relasi dengan lingkungan juga pengalaman terdahulu yang menghantarkan untuk memproteksi diri lebih. “Arsitektur seperti ini menjadi hambatan interaksi antara penghuni rumah dengan sekitarnya,” kata alumnus Universitas Indonesia ini.

Fikarwin menilai jika interksi sosial sudah kondusif dan dirasa aman maka arsitektur rumah yang demikian akan berubah. “Semua orang pasti ingin rumah yang mengikuti tren arsitektur. Namun, karena ingin aman terpaksa mengurangi segi estetisnya,” pungkasnya.