25 Juli 2015

PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI FIELD OF OBSERVATION: Pendekatan Pluralisme Hukumð

Oleh: Fikarwin Zuska

T
ulisan ini menjurus pada operasionalisasi pendekatan pluralisme hukum untuk penelitian mengenai pengelolaan sampah kota yang saya rencanakan. Apakah pengelolaan sampah kota cukup beralasan dipilih sebagai ‘field of observation’ dalam rangka penelitian pluralisme hukum? Apakah lapangan sosial pengelolaan sampah kota ini cukup akomodatif menampung luapan begitu banyak segi pemikiran  yang berkembang dalam pendekatan antropologi hukum dewasa ini? Lalu, bagaimana pengoperasiannya?
Perubahan sosial yang cepat dan luas di masyarakat dewasa ini serta dinamika dan respon akademik ahli-ahli antropologi hukum, tampaknya telah terefleksikan dalam perkembangan yang semakin tajam konsep dan pendekatan pluralisme hukum. Hal ini dapat dilihat  dari semakin kuatnya argumen-argumen yang diberikan untuk menyatakan bahwa pluralisme hukum itu sesusungguhnya merupakan keniscayaan (Griffiths 1986a:4). Dalam semua lapangan sosial yang selalu merupakan semi-otonom (Moore 1993) itu,  apapun urusan utama dan konteksnya, pluralisme hukum adalah menjadi karakternya. Bahwa ada perbedaan kompleksitas  dari bidang sosial satu ke bidang sosial lain, maka hal itu menurut hemat saya sangat bergantung pada siapa dan cara bagaimana melihatnya serta kait-mait dan pertalian (network) yang dapat dibangun oleh inidividu-individu yang terlibat dalam kancah sosial dimaksud.
Penelitian antropologi hukum yang akan saya lakukan dalam bidang sosial pengelolaan sampah kota, dalam hal ini kota Jakarta, diharapkan akan merefleksikan perkembangan dimaksud. Pertama-tama, karena penelitian ini dilakukan dalam konteks perkotaan yang kompleks; yakni sebuah kota dari satu negara yang sama sekali tidak terisolasi dari proses-proses globalisasi. Globalisasi adalah sebuah istilah yang, singkatnya, mengacu pada ‘the intensification of global interconnectedness, suggesting a world full of movement and mixture, contact and linkages, and persistent cultural interaction and exchange (Inda & Rosaldo 2002:2). Dengan lain kata, mobilitas dan saling keterkaitan satu sama lain menjadi ciri dunia hari ini; batas-batas semakin kabur; manusia dan budaya dari pelbagai belahan dunia terlibat dalam kontak satu sama lain secara mendalam dan langsung; mobilitas unsur-unsur tertentu, seperti modal, orang, komoditas, image dan ideologi, adalah semakin bertemali dan jalin-menjalin. Masyarakat, seperti ahli-ahli antropologi dulu pelajari, sudah nyaris tiada karena masyarakat ‘has no unified or bounded centre’ (Ahmed & Shore 1995:21). Selain itu, asosiasi-asosiasi sosial sangat banyak jumlahnya di dalam masyarakat, dengan pelaku yang nyaris tumpang tindih satu sama lain. Kehidupan sosial masyarakatnya sangat variatif, begitu banyak ragam, sehingga sulit ‘mengurungnya’ dalam sebuah definisi tunggal yang sederhana. Oleh sebab itu, pemahaman bahwa satu kelompok dengan satu hukum atau satu kebudayaan untuk satu kelompok, makin jauh dari kenyataan. Di sinilah pendekatan pluralisme hukum, khususnya bidang sosial semi-otonom, sangat bisa menolong memberi pemahaman termasuk, tentu saja, dalam bidang pengelolaan sampah kota.
Di lain fihak, negara diwakili pemerintah sebagai perpanjangan tangannya, terlibat penuh dalam bidang sosial pengelolaan sampah kota ini. Berbagai kebijakan dan aturan-aturan hukum dibuat oleh negara untuk pelaksanaan pengelolaan sampah kota tersebut. Begitu juga sistem, metode, dan perangkat teknologi, yang sebagian daripadanya diimpor dari luar ─termasuk konsultan ahli yang harus dibayar dengan pinjaman atau ‘uang rakyat’ diterapkan oleh pemerintah (mitra pemerintah) dan hal itu telah mempunyai riwayat sendiri: kebanyakan gagal mencapai tujuan (lihat Cointreau 1991; Sicular 1991a, 1991b). Sejumlah orang terlibat dan dilibatkan dalam kerja pengelolaan itu, baik dalam kapasitasnya sebagai aparatur pemerintah maupun non-pemerintah. Kegiatan ini sudah beralangsung lama dan bahkan telah dijadikan oleh sebagian pelaku sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah gantungan hidup.
Seiring perjalanan waktu, tantangan tugas pengelolaan sampah kota pun tidak semakin ringan. Di satu pihak, hal ini terjadi karena jumlah penduduk dan sampah yang diproduksi semakin banyak. Kepadatan penduduk (jumlah orang : luas wilayah) semakin tinggi akibat arus migrasi ke ibukota negara, yang negaranya dibangun secara terpusat di ibukota (sentralistik). Lahan pembuangan sampah di ibukota pun, dengan demikian, menjadi sempit dan mahal. Tanah menjadi komoditas ekonomi dan politik, serta ajang bagi perebutan pengaruh dan kekuasaan baik antara pemerintah dan penduduk maupun antara sesama pengelola pemerintahan. Semua ini membawa dampak dan masalah bagi pengelolaan sampah kota.
Di lain pihak, bencana alam banjir akibat sistem pengairan dan kanalisasi yang tersumbat sampah di samping pemeliharaan ekologi  yang kurang baik serta bencana kesehatan dan lain-lain, mendorong sebagian warga kota menekan pihak pengelola sampah (pemerintah) untuk bekerja (atau melayani masyarakat) secara lebih profesional. Tekanan-tekanan yang ditujukan kepada pemerintah ini, tidak bisa lepas dari pengaruh proses-proses globalisasi yang di antaranya berisi isu demokratisasi, kebebasan dan Hak Azasi Manusia. Di samping itu tentu akibat perubahan rezim dalam negeri, dari otoriter ke demokrasi (disebut reformasi),  yang memberi kemungkinan bukan saja bagi lahirnya keberanian warga mengekspresikan perlawanan terhadap pemerintah tetapi juga mendorong lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah dan penghapusan pelbagai aturan hukum yang represif maupun yang diskriminatif. Secara langsung atau tidak, peristiwa ini pasti membawa dampak pada pengelolaan sampah kota Jakarta.   
Sekarang kancah sosial pengelolaan sampah yang menjaring banyak sekali individu ini akan dikaji untuk mengetahui apa hukum yang mengatur tindakan-tindakan mereka di sana. Asumsi pluralisme hukum, menurut Griffiths sebagaimana dinyatakan Moore (2001:11) adalah bahwa: “the legal reality anywhere is a collage of obligatory practices and norms emanating both from governmental and non-governmental sources alike”. Jadi ada banyak ‘hukum’ yang hadir dan bekerja secara bersamaan (coexisted) dalam kancah yang sama. Bukan saja dari pemerintah (pusat, kabupaten/kota, desa/kelurahan), tetapi juga dari sumber-sumber yang lain. Bahkan dalam situasi sekarang, seperti dikatakan Benda-Beckmann & Benda-Beckman (2000;2001), hukum-hukum itu bisa bersumber dari atau lahir karena pengaruh international law, pemerintah-pemerintah asing, organisasi-organisasi internasional (Worl Bank & IMF dan juga perusahaan transnasional dll). Karena itu  adalah relevan  dengan apa yang dikatakan Moore (2001a:1) “An analytic advance occure when attention turn to the fact that the state was not the only source of obligatory norms, but coexisted with many other sites where norms were generated and social control exerted’. Moore menambahkan, demi alasan analitis dan praktis mestinya diadakan distingsi-distingsi untuk mengidentifikasikan asal-usul dari aturan-aturan dan kontrol-kontrol tersebut. Dan dalam hal ini, Beckmann telah melakukan lebih dahulu (Beckmann & Beckmann 2001) serta secara tegas pernah menyatakan (Beckmann 1989:72) bahwa  di dalam bidang kajian antropologi pluralisme hukum maka bentuk hukum apapun pada prinsipnya sama pentingnya, dan tidak bisa ditinggalkan dari penelitian mana pun; apakah itu hukum adat, hukum agama atau hukum dari lembaga-lembaga negara dan ilmu hukum
Sulit memperkirakan sebenarnya berapa banyak sumber norma dan kontrol yang dapat memaksakan (mewajibkan) orang-orang untuk taat dalam kancah pengelolaan sampah kota Jakarta ini. Namun secara teoritis dapat dilacak apa antara lain yang merupakan sumber norma dan kontrol itu. Sumber-sumber pemerintah tentu salah satu, hukum agama, adat dan sebagainya sebagai sumber yang lainnya.  Tetapi di luar itu unit-unit sosial kecil maupun besar, dan ikatan-ikatan di antara satu dan lain individu (orang dalam) baik formal maupun informal, berdasarkan kontrak tertulis atau tidak, sudah sepatutnya tidak dilewatkan. Demikian pula ‘authoritative knowledgesalah satu bentuknya adalah pengetahuan yang dibuat dan digunakan pemerintah untuk melegitimasi tindakan pemerintah[1] tidak bisa dilupakan. Sebab pengetahuan ini merupakan ciri utama kultur pemerintahan dan pembangunan kontemporer (pembangunan kontemporer itu adalah sebuah lapangan tindakan dalam suatu sistem baru relasi-relasi internasional yang tidak  setara) (Moore 2001b:162).
Sebagai individu, para pelaksana tugas-tugas pengelolaan sampah kota, berkemungkinan sekali juga mengadakan perikatan-perikatan baik tertulis atau tidak dengan fihak-fihak lain. Apapun jenis dan bentuk perikatan itu, perlu disigi karena kesetiaan, ketaatan dan kepatuhan pada rules of conduct dari ikatan itu, bukan mustahil akan mempengaruhi bahkan berkonflik dengan rules of law/ rules of decission yang terkait dengan bidang sosial tempatnya bertugas. Begitu juga keterikatan atau komitmen pada faham-faham tertentu, aturan-aturan, isu-isu dan pengetahuan-pengetahuan yang diyakini masing-masing pelaksana, bisa juga justeru menyebabkan rules of law dikesampingkan implementasinya. 
Penelitian ini bertugas menyelidiki semua kemungkinan-kemungkinan yang terprediksikan (secara teoritis), termasuk yang berdimensi transnasional itu dan juga kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak terprediksikan (terutama oleh saya) sekarang. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya hukum (yang plural) itu dalam realitas, sekaligus menjelaskan mengapa realitas hukum dimaksud terjadi demikian dan bagaimana dampaknya pada pengelolaan sampah kota Jakarta  itu sendiri. ‘Otoritas siapa pengelolaan sampah ini sebenarnya? Dan apa yang berkuasa di sana?’ adalah pertanyaan yang tak mungkin ditinggalkan.  
Implikasi teoritis dari penelitian ini tentu akan terbawa ke arah sana; persoalan otoritas dan kekuasaan (power). “…much of the debate that surrounds legal pluralism is not just an argument about words, but is often a debate about the state of state today, one that asks where power actually reside” (Moore 2001a:11). Otoritas, menurut satu faham, bisa diberikan dan dipunyai oleh siapa pun, termasuk pemerintah, tetapi kukuasaan tidak. Kekuasaan adalah authorless atau agentless namun menggerakkan. Kuasa atau ‘yang kuasa’ itulah yang menggerakkan. Rules of law belum tentu kuasa menggerakkan kepatuhan bila kuasa yang lain lebih kuat menggerakkan. Jadi ada semacam power relations di antara pihak-pihak, dan di antara institusi-institusi, yang melahirkan norma dan mengeluarkan kontrol sosial. Power dalam hal ini, menurut Foucault (Patton1987:234; Cheater 1989), bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki oleh inividu-individu atau kelompok-kelompok sosial, melainkan harus dilihat sebagai sesuatu yang secara konstan in play (bekerja). Power relations… are susceptible to reversal. Jadi kalau dilihat dari sudut tindakan individu, uang bisa lebih kuasa dari negara, presiden dan sebagainya; seks dan kecantikan bisa lebih kuasa dari kepandaian; atau juga bisa sebaliknya. Suatu ketika kejujuran lebih kuasa, tetapi di ketika yang lain justeru keahlian yang lebih kuasa. Tidak ada yang permanen[2].
Inilah yang menjadi pokok penelitian antropologi hukum tentang pengelolaan sampah kota ini. Persoalannya bukan hanya bagaimana cara memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi justeru mempertanyakan apa yang para ‘pembuang sampah’ (termasuk birokrasi pemerintah) telah lakukan/tidak lakukan serta alasan-alasan apa yang akibatnya (mengharuskan) mereka tunduk padanya. Pertanyaan ini akan dengan sendirinya mengarahkan peneliti untuk harus tahu (mencari tahu) apa yang sudah dilakukan atau diputuskan menjadi dasar bagi perbuatan-perbuatannya, secara tepat hari ini. Dari situ akan diketahui hukum-hukum apa saja yang benar-benar ‘bekerja’ mengatur perilaku individu-individu di dalam bidang sosial dimaskud.
Untuk dapat menjawab persoalan itu, peneliti harus mengumpulkan data dengan cara menentukan perilaku konkret apa yang akan diperhatikan. Tentu  saja terdapat sejumlah tindakan konkret, di mana orang tampak berbuat, mengerjakan beberapa pekerjaan dalam rangka mengelola sampah kota Jakarta, baik langsung ataupun tidak langsung, di kantor ataupun di lapangan. Tindakan-tindakan konkret ini tentu ada dasar dan sebab-musababnya, sehingga perlu ditelusuri dan dikaji hingga ke belakang, oleh siapa, untuk apa dilakukan dan mengapa? Jadi, seperti dikatakan oleh Vayda (1996:1) bahwa dalam rangka mengumpul data, kita perlu menjadikan perilaku konkret manusia sebagai objek utama studi kita. 




DAFTAR BACAAN



Ahmed, Akbar S. & Shore, Cris N., “Introduction: Is Anthropology Relevant to the Contemporary World?, dalam Akbar S. Ahmed dan Cris N. Shore (ed), The Future of Anthropology, Its Relevance to the Contemporary World (London & Atlantic Highlands: Athlone 1995) hal. 12-45.
Benda-Beckmann F. von & Benda-Bechmann, Keebet von,  “Jaminan Sosial, Sumber Daya Alam dan Kompleksitas Hukum”, dalam Franz von Benda-Bechmann, Keebet von Benda-Bechmann, & Juliette Koning (editor), Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.: 28-31.
Benda-Beckmann F. von & Benda-Beckmann, Keebet Von., “The Law of Thing: Legalization and De-legalization in Relationship Between The First and The Third World”, dalam E.K.M. Masinambow, ed, Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O. Ihromi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2000), hal.: 17-31.
Cheater, Angela, ‘Power in the Postmodern Era’, dalam Angela Cheater (ed), The Anthropology of Power: Empowerment and Disempowerment in Changing Structures (London and New York: Routledge  1999) hal.:1-12.
Contreau, Sandra J., “Pengelolaan Limbah Padat di Negara Berkembang”, dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1991), hal.: 3-12.
Griffiths, John , “What is Legal Pluralism?”, (Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, Number 24/1986), hal.: 1-55.
Griffiths, John., ‘Recent Anthropology of Law in the Netherland and its Historical Background’ dalam Keebet von Benda-Beckmann & Fons Strijbosch (ed), Anthropology of Law in The Netherlands (Dordrecht-Holland/Cinnaminson- USA: Foris Publications, 1986) hal. 11-66.
Ihromi, T.O., “Beberapa Catatan Mengenai Perkembangan Antropologi Hukum Sebagai Disiplin Akademik di Indonesia” (Antropologi Indonesia No.47, Th.XIII Agustus-September  1989), hal.:7-25).
Inda, Jonathan Xavier & Rosaldo, Renato, ‘Introduction to Aworld in Motion’, dalam Jonathan Xavier Inda & Renato Rosaldo (ed) The Anthropology of Globalization (Melden, Massachusetts, Oxford: Blackwell Publisher 2002) hal: 1-36.
Koentjaraningrat, “Antropologi Hukum” (Antropologi Indonesia No.47, Th.XIII Agustus-September  1989), hal.:26-34.
Max Planck Institute for Social Anthropology, “Research Programe”,  http://www.eth.mpg.de/research/legal/recearchprograme.htm#towards.
Moore, Sally Falk, “Certainties Undone: fifty turbulent years of legal anthropology, 1949-1999” The Journal of Anthropological Institute 7 (2001):95-116, To be published also in Transnational legal Processes, edited bay Michael Likosky, Buterworth. Terdapat pada http://www.sos-net.eu.org/red&s/dhdi/amis/sally.pdf  
Moore, Sally Falk, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi (penyunting) Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993), hal.: 148-193.
Moore, Sally Falk., The international production of authoritative knowledge: The case of drought-sticken West Africa (Ethnography vol 2(2) 2001) 161-189.
Patton, Paul, ‘Michel Foucault’, dalam Diane J.Austin-Bross,ed, Creating Culture (Sydney, London, Boston: Allen & Unwin 1987) hal: 226-242.
Seymour-Smith, Charlotte., Macmillan Dictionary of Anthropology (London and Basingstoke: The Macmillan Press Ltd. 1986).
Sicular, Daniel T., “Kekuasaan dan Praktik Dalam Sistem Pemulungan di Bandung, Jawa Barat”, dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1991), hal.: 35-65.
Sicular, Daniel T., “Pengelolaan Limbah Padat di Indonesia” dalam Thomas B. Outerbridge, penyunting, Limbah Padat di Indonesia: Masalah Atau Sumber Daya? (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1991), hal.: 13- 34.
Vayda, Andrew P., “Actions, Variations, and Change: The Emerging Anti-Essentialist View in Anthropology”, dalam Robert Borofsky,ed, Assessing Cultural Anthropology (Newyork: McGraw-Hill,Inc 1994) hal.:320-330.
Vayda, Andrew P., Methods and Explanations in the Study of Human Actions and their Environmental Effects (Jakarta: CIFOR dan WWF 1996).
Vayda, Andrew P., Progressive Contextualization: Methods for Research in Human Ecology, (Human Ecology Vol.11.No.3) 265-281).




ð Tulisan ini merupakan jawaban saya atas pertanyaan tertulis co-promotor Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, dalam ujian kualifikasi di Program Pascasarjana Antropologi, FISIP UI tahun 2005/2006.
[1] Moore (2001b:162) menambahkan bahwa pengetahuan otoritatif tidak hanya berasal dari pemerintah: “..it would be a mistake to imagine that there is only one form of authoritative knowledge. There are competing and convergent forms”.
[2] Saya tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam konseptualisasi Michael Foucault tentang kekuasaan (power) yang mendatangkan perdebatan ini, meskipun saya condong setuju dengannya. Kritik atas konsepsi Foucault yang inkonsisten serta solusi bagi ketidakkonsistenan itu dapat dilihat dalam Cheater (1999:3).