30 Desember 2011

NU dan Muhammadiyah

SIKAP NU DAN MUHAMMADIYAH

Tentang

Doa Bersama Lintas Agama, Natal Bersama, Ucapan Selamat Natal, Menjaga Gereja, dll.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rahmatan Lil-‘Alamin dan Toleransi

Oleh: Muhammad Idrus Ramli

(Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr PWNU Jawa Timur)

Umat Islam tentu meyakini misi rahmatan lil-‘alamin, sebab istilah rahmatan lil-‘alamin telah dinyatakan oleh al-Qur’an. Istilah rahmatan lil-‘alamin dipetik dari salah satu ayat al-Qur’an, “Ma maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS al-Anbiya’ : 107).

Dalam ayat itu, rahmatan lil-‘alamin secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad saw. Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi saw sebagai rasul, kecuali karena kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw, maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat tersebut tidak sempurna.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi saw, pakar dalam Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang beriman kepada Nabi saw, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi saw, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.” Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya, al-Durr al-Mantsur.

Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-‘alamin telah menjadi karakteristik Nabi saw dalam dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi saw menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim).

Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-‘alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi saw. Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-‘alamin dengan sikap toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-‘alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi saw, yakni penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.

Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil-‘alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri. Misalnya, memberikan khotbah dalam acara kebaktian agama lain, menjaga keamanan tempat ibadah agama lain dan acara ritual agama lain, atau doa bersama lintas agama dengan alasan itu adalah “Islam rahmatan lil-‘alamin. Kegiatan-kegiatan semacam itu justru mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam.

Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-‘alamin, Nabi saw diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-‘aalamiin(pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam). “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. al-Furqan : 1). “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28). Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-‘alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-‘alamin.

Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapatdisampaikan kepada umat lain, jika komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik. Karena itu, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim. Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.

Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka. Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Ma’idah : 2).

Doa Lintas Agama

Doa bersama lintas agama, dewasa ini juga agak marak dilakukan. Sebagian beralasan Islam rahmatan lil-‘alamin. Padahal, karakterrahmatan lil-‘alamin, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan doa bersama lintas agama. Sebagaimana dimaklumi, doa merupakan inti dari pada ibadah (mukhkhul ‘ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan. Tidak jarang, seorang Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan memperoleh pertolongan agar segera keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap agar Allah segera mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati, memperbanyak ibadah, bersedekah, bertaubat dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam hal ini, semakin baik jika ia memohon doa kepada orang-orang saleh yang dekat kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam oleh para ulama fuqaha dalam bab shalat istisqa’ (mohon diturunkannya hujan) dalam kitab-kitab fiqih.

Ada dua pendapat di kalangan ulama fuqaha, tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa bersama dalam shalat istisqa’.Pertama, menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali), tidak dianjurkan dan makruh menghadirkan non Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat Islam, maka itu tidak berhak dilarang.

Kedua, menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa’, karena mereka tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa’ ditujukan untuk memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat ulama fuqaha dalam kitab-kitab fiqih. Maka, jika doa diharapkan mendatangkan rahmat dari Allah, sebaiknya didatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan mendatangkan orang-orang yang yang jauh dari kebenaran.

Forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar NU di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan, bahwa Doa Bersama Antar Umat Beragama hukumnya haram. Diantara dalil yang mendasarinya: Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232: “Wa laa yajuuzu an-yuammina ‘alaa du’aa-ihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal kaafiri ghairul maqbuuli.” (Lebih jauh, lihat: Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534). (Wallahu a’lam). (***)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tasรขmuh: Dulu dan Kini

Oleh: Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.

Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

Baik secara konsep maupun aplikasi dalam sejarah, Islam mengajarkan toleransi yang luhur atas dasar tanggungjawab di hadapan Allah SWT. Al-Quran mengajarkan: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tak kan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”( QS Al-Baqarah:256). Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am:108)

Prinsip-prinsip keadilan dan apresiasi yang tinggi terhadap fakta pluralitas masyarakat telah menjadikan masyarakat profetik Madinah tampil melampaui zamannya yang sarat dengan tribalisme Arab. Terhadap hak-hak non muslim dzimmi, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa menzalimi non muslim yang terikat perjanjian dengan Islam, menghinakannya, membebaninya di luar batas kemampuannya, atau mengambil hartanya tanpa kerelaannya maka, akulah lawannya pada hari kiamat kelak” (HR Abu Dawud). “Barangsiapa membunuh sesorang dari ahli dzimmah, ia takkan mendapatkan wangi surga, padahal wanginya bisa didapatkan dari jarak perjalanan selama tujuhpuluh tahun”(HR.Nasa’i).

Sikap toleran dan ketegasan dalam prinsip-prinsip Islam pernah ditunjukkan oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah yang kini memasuki usianya ke-102 tahun. Afiliasi dan keberpihakannya kepada Islam sangatlah jelas. Dalam konteks hubungan antar agama dan umat beragama beliau bukanlah pengusung faham Pluralisme ataupun sekularisme. Bahkan menurut Alwi Shihab, Muhammadiyah didirikan justeru sebagai respon terhadap praktek keagamaan yang menyimpang, gerakan Kristenisasi dan gerakan Freemason yang mengusung slogan kebebasan dengan jargonnya : liberty, egality dan fraternity.(Alwi Shihab:1998).

Tidak dinafikan, KH Ahmad Dahlan merupakan sosok yang berpikiran maju, terbuka dan toleran. Hal tersebut membuat Dokter Soetomo, seorang elite priyayi Jawa dan salah seorang pemimpin Budi Utomo kepincut dengan Muhammadiyah dan bersedia menjadi advisor Hooft Bestuur Muhammadiyah masa itu. Beliau juga sering berdialog pemuka agama Kristen. Diantaranya ialah; Pastur van Lith, Pastur van Driesse dan Domine Bekker. Keterbukaan beliau memang luar biasa, namun perlu dicatat secara adil sikap tegas KH Ahmad Dahlan dalam beraqidah.

Dalam dialognya bersama KH Ahmad Dahlan, Domine Bekker selalu berbelit-belit dan tidak mau mengakui kekalahannya dan akhirnya pendiri Muhammadiyah ini mengajukan tantangan kepada pemuka Kristen untuk keluar dari agama masing-masing lalu mencari dan menyelidiki agama masing-masing. Demikian pula dialog terbuka Kyai Dahlan dengan seorang pemuka gereja, Dr. Lamberton yang akhirnya berujar, ”Maaf, saya tetap berpegang kepada agama jang dipeluk oleh nenek mojang saya, karena ini menjadi kewajiban saya.(Yusron Asrofi:Kyai AhmadDahlan: Pemikiran & Kepemimpinannya, 2005).

Pada 1969, tokoh Muhammadiyah KH Ahmad Azhar Basyir, MA menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta. Secara tulus Kyai Azhar Basyir menyampaikan ucapan terima kasih, bahkan merasa mendapat kehormatan dengan undangan dari Institusi Katolik tersebut. Ketika itu, Kyai Azhar Basyir menyampaikan ceramah dengan judul: “Mengapa Muhammadiyah Muhammadijah berjuang menegakkan tauhid jang murni?”.

Kata Sang Kyai, “Karena Muhammadijah yakin benar-benar, dan ini adalah keyakinan seluruh umat Islam, bahwa tauhid jang murni adalah ajaran Allah sendiri. Segala ajaran jang bertendensi menanamkan kepercayaan “Tuhan berbilang” bertentangan dengan ajaran Allah. Dan oleh karena keyakinan “Tuhan berbilang” itu menyinggung keesaan Tuhan jang mutlak, maka keyakinan “Tuhan berbilang” itu benar-benar dimurkai Allah. Tauhid murni mengajarkan keesaan Tuhan secara mutlak. Kepercayaan bahwa sesuatu atau seseorang selain Allah mempunjai sifat ke-Tuhanan, disebut “syirik”. Syirik adalah perbuatan dosa terbesar jang tidak diampuni Allah.”

Sikap toleran, keterbukaan dan keteguhan iman KH Ahmad Dahlan, dan KH Ahmad Azhar Basyir terbaca di atas seharusnya menjadi referensi keteladanan yang otentik dalam merumuskan sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia, terkhusus Pimpinan dan warga Persyarikatan Muhammadiyah. Segala hal yang potensial meruntuhkan bangunan aqidah dan iman seorang muslim mesti disikapi secara tegas, adil dan beradab. Ketegasan sikap secara beradab dalam menjaga akidah umat Islam, tidak perlu dirisaukan. Apalagi disalahpahami sebagai sikap ekslusif yang akan melahirkan radikalisme keagamaan.

Tentang ucapan “Selamat hari Natal” dan hukum mengikuti Perayaan Natal Bersama, umpamanya, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerbitkan fatwa yang persis sama dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Di antara kandungan Fatwa tersebut ialah: “Umat Islam diperbolehkan untuk bekerjasama dan bergaul dengan umat-umat agama-agama dalam masalah-masalah keduniaan serta tidak boleh mencampuradukkan agama dengan aqidah dan peribadatan agama lain seperti meyakini Tuhan lebih dari satu, Tuhan mempunyai anak dan Isa Al-Masih itu anaknya. Orang yang meyakininya dinyatakan kafir dan musyrik. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan. Dalam konteks ini, perayaan Natal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkara-perkara akidah tersebut di atas. Karenanya, mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Demikian pula mengucapkan Selamat Natal merupakan bagian langsung dari perkara syubuhat yang dianjurkan untuk tidak dilakukan.(Fatwa-Fatwa Tarjih, Cetakan VI, 2003, hal. 209-210).

Di antara keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang termuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah, No 01/2010-2015 Syawwal 1431/September 2010, hal. 238 dinyatakan sebagai berikut: “Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme, dan relativisme. Karena itu, umat Islam diajak untuk memahami kemajemukan agama dan keberagamaan dengan mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi (hidup berdampingan secara damai). Dengan tetap meyakini kebenaran agamanya masing-masing, setiap individu bangsa hendaknya menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Pemerintah diharapkan memelihara dan meningkatkan kehidupan beragama yang sehat untuk memperkuat kemajemukan dan persatuan bangsa.”

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, Pedoman Hidup Islami (PHI) bagi warga Muhammadiyah menuntunkan bahwa, Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim, dalam hubungan ketetanggaan...Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsi-prinsip yang diajarkan Agama Islam. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar