Pemilihan umum yang lalu kian menunjukkan, demokrasi kita belum menjadi kebudayaan.
Mengikuti pendapat Alexis de Tocquiville (1952[1835]), Democracy in America, demokrasi adalah seperangkat nilai dan keyakinan yang terkandung dalam pikiran warga negara mengenai kesetaraan hak-hak mereka—dimaksud secara implisit tak lain adalah kebudayaan—maka demokrasi kita masih jauh dari cita-cita itu.
Dalam pengertian itu, demokrasi yang kini kita pahami masih demokrasi teknis, mekanistik, dan superfisial. Yang terjadi adalah demokrasi sekadar tempelan nama, direduksi menjadi uang dan kursi, koalisi pura-pura, slogan-slogan, janji-janji kosmetik, dan dominannya kepentingan kelompok elite politik. Ditengarai ada dua wajah politik yang kontras dan dominannya pluralisme budaya dalam kehidupan bangsa kita sebagai pencetus utama fenomena ini.
Jarak yang jauh antara elite politik dan rakyat pemilih menampilkan dua wajah politik berbeda. Elite politik menampilkan perilaku berubah-ubah, tidak konsisten, selama masa menuju pemilu dan sesudahnya. Rencana koalisi yang dikabarkan melalui media cetak dan elektronik berubah-ubah setiap saat. Hampir tiap hari menjelang pemilu lalu, halaman depan koran menampilkan foto dua ketua umum partai berbeda-beda (bahkan diketahui selama ini berseberangan) saling berkunjung. Mereka berdampingan sambil bersalaman seolah menunjukkan kemauan untuk berkoalisi. Pascapemilu, tampilan foto-foto ini berganti topik dengan isu pemilu presiden dan wakil presiden, tetapi dengan pola kelakuan elite yang sama.
Di kalangan rakyat pemilih, muncul kebingungan, khususnya karena kian tidak jelas bagi mereka calon anggota legislatif mana yang akan mereka pilih. Tidak hanya karena sebagian besar calon anggota legislatif tidak dikenal, tetapi juga sang caleg umumnya mengandalkan kampanye tokoh-tokoh puncak partai alias mereka tidak berkampanye sendiri dengan pemikiran dan program mereka.
Banyak warga berjubel di depan papan yang memasang gambar partai dan caleg pada tempat pemungutan suara (TPS) tanggal 9 April lalu, bingung untuk memilih siapa dan partai apa.
Dalam pluralisme kebudayaan, tiap kebudayaan dipandang otonom dan ditanggapi apa adanya sehingga kebudayaan yang dominan dianggap selayaknya dominan karena pendukungnya yang mungkin lebih banyak. Hal ini sudah ditengarai hampir seabad lalu oleh JS Furnivall (1938), ahli kebijakan ekonomi Hindia Belanda, dalam The Netherlands Indies: A Study in Political Economy.
Dalam pikiran bangsa kita yang majemuk, hadir kotak-kotak kebudayaan yang tegas batas-batasnya dan kerap diwarnai stereotip dan prasangka. Kotak-kotak kebudayaan itu tidak hanya berbasis etnik atau agama, tetapi juga kepentingan politik berjangka pendek maupun panjang. Hal ini mewujudkan wawasan pikiran yang sempit karena kurangnya ruang berpikir tentang keberadaan pihak lain di luar kelompok sendiri. Terbentuknya banyak partai politik adalah salah satu indikasi.
Pluralisme kebudayaan adalah tantangan besar dalam membangun demokrasi. Demokrasi adalah proses kebudayaan yang menuntut keyakinan tiap warga negara untuk saling menghargai, membangun, dan memelihara toleransi, kesediaan untuk menerima kebenaran pihak lain, dan mengaku kalah dalam pemilu jika memang kalah.
Demokrasi bukan konsep hitam-putih, tetapi proses dialog antarkebudayaan. Mewujudkan demokrasi dalam pluralisme kebudayaan itu amat mungkin karena banyak bangsa lain yang juga pluralistik berhasil membangun demokrasi.
Fenomena menjelang dan pascapemilu lalu menunjukkan, kita masih jauh dari budaya demokrasi yang dicitakan. Mungkin kita baru sebatas membaca sebagian buku teks tentang demokrasi Barat dan mempraktikkannya di negeri ini dan merasa seolah kita sudah mempraktikkan demokrasi. Kita baru sebatas menafsirkan demokrasi sebagai proporsi jumlah kursi di DPR dan rakyat datang ke TPS mencontreng gambar partai dan calon anggota legislatif.
Padahal, demokrasi sebagai kebudayaan adalah suatu sistem nilai dalam pikiran dan kehidupan tentang bagaimana memandang orang lain dalam kesetaraan, menghargai hak orang lain seperti menghargai hak sendiri, yang memandang negeri ini sebagai tempat kehidupan yang sama bagi tiap warga. Demokrasi sebagai suprastruktur, bukan sekadar infrastruktur dan struktur belaka. Kontras-kontras dalam politik tentu kontraproduktif bagi pembangunan demokrasi.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/05/02581875/politik.dalam.pluralisme.budaya
What can you do with the new Windows Live? Find out