08 Juli 2018


LIBUR LEBARAN: SAMPAH DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Oleh: Fikarwin Zuska

                Libur Lebaran 2018 ini aku sempat mengunjungi secara singkat dan secara sepintas melihat-lihat beberapa kota dan tempat wisata di Provinsi Sumatera Utara. Mulai dari Kota Medan, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, Kota Sibolga, Kota Pandan (Tapanuli Tengah), Kota Padang Sidimpuan, Kota Kecamatan Sipirok (Kabupaten Tapanuli Selatan), Kota Kecamatan Porsea (Kabupaten Toba Samosir), Air Terjun Ponot (Kabupaten Asahan), Pulu Raja (Asahan), Kota Kisaran dan seterusnya kembali lagi ke Medan. Jarak jalan yang ditempuh, menurut Google Map, adalah sepanjang 909 kilometer. Apa yang dilihat? Yang dilihat, sebenarnya, sangat banyak. Tetapi khusus untuk tulisan ini, sesuai judulnya, kutujukan pada sampah dan tali-temalinya. Budaya dan kebijakan, sebagai aku dari kalangan antropolog, tentu tidak bisa lepas dari mempertimbangkannya dalam analisis. Termasuk, tentu saja, kesejahteraan.
                Kuawali tulisan ini dari kesejahteran sosial masyarakat penduduk negeri ini. Apakah mungkin, jika tidak banyak orang yang sejahtera, akan terselenggara acara mudik lebaran? Kalau di Jawa, lihat saja siaran televisi, orang nampak berbondong-bondong dengan berbagai macam barang bawaan. Baik barang maupun orang, banyak sekali jumlahnya; melimpah ruah rasanya. Segala macam moda transportasi ada, dan semuanya padat. Darat, laut maupun udara.  Dari yang paling mahal hingga yang paling murah harganya, semuanya ada dan melimpah-limpah.  “Uang dari mana?”, tanyaku sering dalam hati. Dan, selalu kujawab sendiri: “itu pertanda rakyat makin sejahtera”. Orang melarat, tentu tidak bisa mudik. Mudik itu mahal ongkosnya. Meski selalu ada yang menyediakan tiket gratis untuk beberapa kalangan, namun biaya-mudik lainnya per orang bisa lebih mahal lagi: untuk pakaian baru, makanan di jalan, oleh-oleh dan ang paw di kampung halaman. Buat item-item ini belum ada darmawan yang mau turun tangan. Saya tidak tahu kalau para peserta Pilkada, mungkin ada yang ‘berinvestasi’ untuk mengatasi hal ini.
                Gajala mudik lebaran ini sudah berlangsung lama. Selama gejala itu masih ada dan terus bertahan, tidak mungkin bisa dibantah, bahwa itu refleksi kesejahteraan penduduk. Makin marak pelaksanaannya, makin sejahtera pulalah rakyat yang merayakannya. Tahun ini libur lebaran cukup panjang. Orang mudik punya waktu lebih leluasa (fleksibel). Kemacetan (atau desak-desakan), sesuai logika, sudah pasti berkurang. Terlebih akses jalan tol tahun ini sudah lebih memadai dari tahun-tahun sebelumnya. Ruas jalan tol makin banyak, dan panjang. Alternatif lalu-lintas menjadi lebih luas. Ini pun, tentu saja, cermin dari kesejahteraan yang meningkat. Tetapi, kemacetan secara sporadis masih saja terjadi sebagaimana dilaporkan oleh media televisi nasional.
                Pemudik di Kota Medan juga turut merasakan nikmatnya mudik melalui tol tahun ini. Menjelang lebaran, tol dari Medan ke Bandara Kualanamu terbuka. Begitu juga tol dari Medan menuju ruas tol Lubuk Pakam- Sei Rampah, sudah bisa dilalui. Aneka masalah seputar kemacetan yang makin mendera Kota Medan akhir-akhir ini, dengan dibukanya tol, sedikit teratasi. Hanya, sesuai amatan sepintas, sampai hari Minggu 17 Juni 2018 kemarin, pengendara yang memanfaatkan tol, masih banyak yang tidak memiliki Kartu Tol. Mereka masih membayar cash di pintu keluar. Akibatnya tidak terhindari penumpukan kendaraan. Pada hari pertama lebaran, 15 Juni 2018, kendaraan mengular sampai lebih satu kilometer di pintu keluar tol Sei Rampah. Di dalam antrian inilah saya mulai melihat kelakuan norak pengendara/penumpang mobil: buang sampah di jalan tol. Banyak sekali serakan sampah yang dicampakkan oleh penumpang mobil sesaat mereka mengantri di pintu tol. Ada botol  bekas minuman, kotak dan puntung rokok, serta plastik-plastik bekas kemasan atau kantong plastik. Merek mobil, yang mencerminkan kekayaan pemiliknya, tidak berhubungan dengan kelakuan pemilik membuang sampah. Pemilik mobil mewah atau bukan mobil mewah, sama saja: sama-sama norak tak tahu aturan, dari dalam mobil lemparkan sampah ke jalan.
                Pukul 02.00 WIB saya dan keluarga tiba di Kota Sibolga. Tidak menyangka kalau orang akan memenuhi hotel-hotel di sana. Beberapa hotel yang kami datangi dini hari itu, termasuk hotel yang pemiliknya sudah kami minta tolong membantu, tetap saja penuh. Maka kami pelan-pelan berjalan menuju Pandan, ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah, sembari melirik dan bertanya ke hotel-hotel yang terdapat di sepnjang jalan. Jawabnya sama: sudah penuh. Untung ada satu hotel di Desa Kalangan yang menyatakan masih ada kamar. Demi agar bisa tidur sejenak, dapat mandi, sikat gigi serta buang air, kamar dengan “tarif lebaran” seakan bintang tiga tetapi fasilitas sangat kurang, itu pun terpaksa dibayar. Tidak ada pilihan. Kamar mandi sangat sempit, sulit jongkok, dan yang paling parah, dindingnya sangat jorok penuh bercak tanda tidak pernah digosok/disikat. Jika dihubungkan dengan adanya sepasang insan yang check in bersama dengan kami ―tanpa luggage― tetapi 1-2 jam kemudian mereka check out, maka sulit mengusir kesan bahwa hotel ini tergolong hotel “kitik-kitik”; disewa jam-jaman oleh mereka yang sedang syahwat-an sehingga tidak memerlukan kamar mandi bersih.  
                Dari hotel ini kami bertolak ke pantai.  Imajinasi tentang pantai telah memanggil kami datang pada pekan liburan lebaran 2018 ini. Sebab, menurut apa yang ada dalam bayangan, Pantai Barat Sumatera memiliki panorama indah dan lebih berpasir ketimbang Pantai Timur. Sehingga, kalau nanti akan bermain-main pasir dan air laut di pantai yang terus didesir oleh gelombang Samudera Hindia itu, maka lelah berjalan seharian menuju lokasi itu pun akan sirna. Ayunan di kendaraan saat melewati tikungan yang tak kunjung henti antara Tarutung dan Sibolga sepanjang 61 km, itupun akan pupus. Namun, karena pantai penuh sesak oleh pengunjung dan sampah hari sebelumnya juga masih bergelimpangan di sana, akhirnya kami hanya singgah sejenak mengambil foto. Meski para turist guide (tepatnya pengemudi boat) berkali-kali membujuk kami untuk nyebrang dengan boat yang mereka kemudikan ke pulau Poncan, tentu dengan tarif di luar kemampuan saku, dan saya tetap tidak yakin akan menemukan pantai bersih di sana. Alasannya, orang yang diangkut ke sana, saya yakini seragam budayanya dengan yang tidak nyebarang.  Di samping itu penanganan sampah di sana pun masih tak meyakinkan saya: entah ada atau tidak ada penanganannya. Dari pada kecewa, atau sedih melihat destinasi yang bagus tetapi tak diurus, padahal dijangkau dengan biaya besar, saya berketetapan hati untuk meninggalkan saja pantai Bosur dan Pandan Tapanuli Tengah. Kami bergerak menuju Padangsidimpuan, salah satu Kota Besar di Selatan Tapanuli.
Suasana Lebaran hari ke dua di sepanjang jalan menuju Sidimpuan sungguh terasa. Desa-desa yang dilewati ramai dengan mobil-mobil parkir, yang menjadi pertanda pemudik ada di sana. Anak-anak yang mengenakan baju baru, baju lebaran, dengan tembakan (senjata mainan) di tangan, tidak henti tembak-tembakan dengan anak sebayanya yang kebetulan melintas. Orang-orang dewasa, laki perempuan, mengenakan busana-muslim tampak dari tampilannya, datang bersilaturrahmi ke rumah-rumah sanak saudara. Riang gembira sangat dominan menyertai hari Idul Fitri ini. Muda-mudi yang menggunakan sepeda motor, hilir mudik, dan sangat sering kelihatan agak ugal-ugalan mengemudikan kendaraannya, sehingga terkesan tidak berhati-hati. Kesan ‘mentang-mentang orang setempat lalu berkendara sesuka hati’ itu sangat kuat tertangkap dalam laku perbuatan mereka. Melaju di tengah-tengah jalan, berhenti juga di tengah jalan. Tidak mau minggir walau diklakson. Sangat jarang pemotor yang mengenakan helm, bahkan banyak yang melaju di jalan tanpa plat nomor polisi.
                Kota Padangsidimpuan relatif sepi saat itu. Toko-toko nyaris tutup seluruhnya. Penjual makanan menumpuk di seputuar pusat perbelanjaan Ramayana, kota itu. Di sini banyak pedagang yang menjual makanan seperti sate, kue pancung, mie bakso, martabak, gorengan dan lain-lain. Pada hari itu, sudah ada juga pedagang yang menjual pakaian. Toko kelontong pun ada yang buka, dan penjaganya mengenakan busana muslim yang agak khas lebaran. Kami makan di kawasan ini, di sebuah warung makan bernama Mila Karmila. Tak kami sangka di sini ada makanan khas berupa soto yang cukup asik bagi saya dan keluarga. Suiran ayam sedikit, ada bihun, tauge, potongan tomat, tahu, kentang, telur, serta daun bawang dan seledri ditambah bawang goreng plus kerupuk. Wadahnya adalah piring kaca cekung dan bukan mangkuk seperti banyak terdapat di mana-mana. Soal rasa memang klasik. Maklum, yang meracik juga nenek-nenek. Pelayan warung yang berusia muda, tampaknya hanya melihat si nenek meracik sambil membantu-bantu apa yang diminta oleh nenek. Sempat saya dengar si nenek bicara dengan tamu, dan Ia menggunakan bahasa Jawa. Orang Jawa, seperti diketahui, sudah lama ada dan tersebar luas di Sumatera, termasuk Padangsidimpuan. Oleh sebab itu akulturasi Jawa-Angkola, sepertinya terpancar pada rasa soto yang asin, pedas, tetapi tetap tersedia kecap manis dan saus sebagai penyedap rasa.
                Sesepi-sepinya Kota Padangsidimpuan (16/6/18) dari hiruk-pikuk orang dan kendaraan, sebenarnya tetap saja ramai. Hanya saja ramainya orang dan kendaraan yang ada itu tidak menyebabkan kemacetan. Dengan keadaan agak lengang macam itu, pemandangan lebih leluasa. Di sinilah saya melihat banyak tumpukan ―kalau tidak boleh disebut gunungan― sampah. Nyaris di setiap pangkal gang atau jalan, terdapat onggokan sampah yang cukup tinggi. Ada kesan sudah cukup lama tidak ditangani. Libur lebaran (11/6/2018) barangkali menjadi alasannya. Perlu digarsibawahi para pekerja di kedinasan pemerintah sudah bersemangat libur sejak dari Jum’at (8/6/18). Tapi apakah karena libur panjang lalu sampah boleh dibiarkan bertumpuk-tumpuk mengotori wajah kota? Ini mis-management namanya. Manajemen mestinya tidak demikian. Berikan tugas kepada mereka yang tidak berlebaran untuk bekerja menangani sampah yang menghasilkan bau, kotor dan penyakit itu. Sampah tidak boleh dibiarkan menumpuk atau terserak dalam waktu lama.  Selain jelek, jorok dan tidak rapi, juga rawan penyakit. Namun kenyataan memang demikian. Liburan lebaran tahun 2012 saya juga mendapati banyak tumpukan sampah di kota ini.

               
    Perjalanan dilanjutkan ke Sipirok. Di jalan, yang saya tidak tahu namanya, terdapat tempat rekreasi. Orang ramai sekali berhenti di situ, di pondok-pondok kecil yang leluasa memandang hamparan sawah semi-kuning yang indah. Nun di sana ada bukit-bukit berlapis diselimuti awan tipis, dan gerimis membuat hati dan tubuh terasa sejuk. Sangat kompatibel rasanya jika suasana alamiah ini dipadu dengan hidangan makanan dan minuman hangat. Namun itu hanya dibayangan saja karena kami merasa akan terlalu lama menunggu giliran mengingat banyaknya pengunjung yang mengantri.  Kami cukup melihat dan mengambil foto buat kenangan, dan selanjutnya berangkat meneruskan perjalanan ke Sipirok.

Hujan gerimis menyertai perjalanan ini. Doa rerumputan yang kuning meranggas diterpa panas jelang lebaran kemarin, yang minta agar mereka dicurahi hujan, sepertinya sudah mulai terkabul meski hujan masih enggan turun lebat. Sejuk pegunungan tambah terasa di badan. Jalan berkelok mendaki terus dilalui, hingga tak terasa melewati gerbang Hotel Tor Sibohi yang pernah begitu tertanam dibenakku untuk kuinapi barang sebentar. Semua yang pernah ingat Gubsu Raja Inal Siregar, putra Sipirok yang melontarkan jargon Martabe (Marsipature Huta na Be), itulah yang mewujudkan hotel dengan desain yang indah meski kini mulaui renta itu.
Kubelokkan arah kemudi ke kiri agar singgah sebentar di Hotel Tor Sibohi. Ada maksud di hati untuk bermalam di hotel yang berdiri di punggung bukit dengan pemandangan indah panorama alam, tetapi setelah ditanyai ke petugas, jawabnya sama dengan yang sudah-sudah: maaf sudah penuh. Akhirnya, sesuai niat semula, cukup melihat pemandangan dari restorannya yang klasik sembari mencicipi kopi Sipirok dan goreng pisang kepok yang amat lezat. Hingga mentari hilang, barulah pinus dan pepohonan yang asri, itu lenyap dari pemandangan. Saat di mana kopi tegukan terakhir, dan makanan di meja sudah ludes, kami bergerak melanjutkan petualangan.
Kota Sipirok tidak lagi jauh rasanya, lampu-lampu sudah kelihatan. Makanan yang kuiklankan ke istri dan anak, seperti sudah ada di mulut. “Daging bakar itu ya Pa”, kata anakku. Memang itulah salah satu hal yang membuatku ingin datang lagi ke Sipirok. Bagiku, makanan tersebut, sangat cocok di lidah. Ada bawang iris, ada cabai giling halus, dan jeruk nipis. Ciirrr...liur mengambang di lidah, setiap kali itu kubayangkan. Kucari-cari warung tempatku pertama kali mencicipi makanan ini tahun 1999, dan terus berlanjut hingga tahun 2001, karena Sipirok menjadi tempat penelitianku. Tak kelihatan olehku, di mana warung itu berada. Bolak-balik aku ke arah yang dulu aku sangat kenal, tetapi juga tidak kutemukan. Mau bertanya, aku juga enggan karena apa yang kudapati sekarang jauh berbeda dari bayanganku. Perubahan lingkungan fisik agaknya ikut membuat kebingungan ini terjadi. Begitu juga mungkin karena gelap malam hari. Akhirnya, kami makan makanan lain di warung yang lain, yang kusangka enak, rupanya sangat tidak enak menurut lidahku yang tradisionalist ini. Berbeda apa yang disantap dengan apa yang dibayangkan.
Tidak aku lupa untuk melihat-lihat tempat yang kini ternyata sudah bertuliskan Alun-Alun Sipirok. Warung rempah-rempah tempat aku dulu membeli ikan sale dan madu sudah tidak ada lagi. Bangunan pasar reot dan kumuh itu sudah diratakan dan disulap menjadi taman. Di situ sekarang anak-anak bermain, beristirahat, sambil  bercengkerama. Di situ ada tempat duduk, ada tanaman yang menghiasi kota. Tetapi, hal yang salalu membuat saya bertanya, kenapa kotor? Kenapa sampah harus berserak-serak di tempat itu? Begitu pun di jalan, tempat parkiran. Luar biasa banyaknya sampah bertebaran. Tidak berlebih kalau saya mengatakan malam itu, saya sedang berjalan di atas sampah. Tak ada yang peduli. Orang yang ada di sana malam itu, sama sekali tidak menggubris kotornya pemandangan karena sampah. Seolah-olah itu sudah biasa; bahkan sudah seharusnya kotor demikian. Kutinggalkan malam itu Sipirok dengan catatan kurang elok. Bukan lantaran kecewa tak bertemu daging bakar, tetapi lebih karena sampah yang dibiarkan mengotori lingkungan. 
Di kawasan Aek Latong, tempat di mana selalu tercium aroma belerang, tidak hujan. Kendaaraan pun tidak antri. Meski aspal jalan merekah, yang rekahnya membuat PUPR repot dari dulu untuk menutup dan menimbun, kendaran berjalan relatif lancar. Beberapa anak muda, seperti biasa, selalu mengadakan sesuatu seakan di sana ada keadaan yang kurang baik. Mereka memandu mobil-mobil yang akan menanjak, dan memberi aba-aba untuk mobil yang menurun. Jika tidak hujan,jalan seperti malam ini misalnya, sebetulnya kendaaran lewat saja dengan lancar. Tetapi entah kenapa ada saja sesuatu yang merintangi. Kali ini ada pagar bambu yang membuat jalan menjadi satu jalur. Kendaraan harus bergantian lewat. Pemuda-pemuda tadi, sambil memandu dan menengadahkan wadah kosong ke supir-supir kendaraan, memberikan jasanya kepada pengendara. Tidak ada tarif tetap berapa harus diberi oleh setiap supir. Yang penting, supir semestinya memberi. Berapa pun boleh saja diberi.
Penglihatanku sepintas, tidak ada yang gawat yang harus dicegah dengan pagar bambu setengah badan jalan tadi. Kalau boleh saya menduga, pagar itu sengaja dibuat untuk mempersempit jalur kendaraan, agar kendaraan lewat satu-satu. Sengaja diciptaan kerja agar terkesan seperti dibutuhkan oleh pengendara. Dengan kerja yang ‘tak semestinya’ itu, mereka dapat mengumpul uang dari semua kendaraan yang lewat malam itu. Cara macam ini sudah mentradisi di mana-mana di negeri tercinta ini. Tidak ada yang kuasa untuk mengatasinya. Siapa yang mau dan berani melaksanakan ‘pengumpulan uang melalui jasa kepalsuan’ ini, maka dia akan melakukannya. Predikat Pemuda Setempat (PS) sudah cukup kuat untuk melegitimasi perbuatan itu. Di Sumut, PS amat sangat berjaya. Tangan hukum positip atau hukum negara tidak berlaku atau lumpuh saat berhadapan dengan institusi PS. Di sini, yang berlaku non-state law yang sifatnya hibrida. Bukan dari adat saja, juga bukan dari agama saja. Ini hukum sangat situasional, kontekstual, campuran apik dari segala norma dan sumber hukum yang ada, termasuk dari hukum ‘rimba’.
Ruas jalan Sipirok – Porsea, kira-kira 141 kilometer, melalui sedikitnya 3 tempat yang cukup penting di kawasan ini, yaitu Tarutung, Siborongborong dan Balige. Beberapa hotel lama dan baru, ada di tempat-tempat ini. Di hari 2 lebaran, saat kami ingin beristirahat malam, tidak ada juga tempat tersedia untuk kami. Betul-betul aku heran. Pelataran hotel penuh kendaraan pribadi. Sungguh banyak orang yang berlibur, mengarungi jalan-jalan yang ada, memanfaatkan libur lebaran. Bukankah ekonomi sedang sulit? Ataukah ini gembar-gembor politisi menjelang Pilpres saja? Saya tidak tahu menjawabnya secara ilmiah, tapi dapat merasakan bahwa apabila ekonomi sulit, maka tidaklah mungkin seramai dan sesemarak ini orang mengisi liburannya. Tempat-tempat orang berjualan (bekerja mencari duit) kebanyakan tutup. Padahal, seliweran orang yang padat ini, kalau mau dimanfaatkan oleh yang butuh untuk cari uang melalui jualan makanan, sangatlah potensial. Tetapi nyatanya mereka liburan dan membelanjakan duitnya.
Pengalaman kami tahun 2012, nginap di SPBU, terulang lagi. Anak saya bilang nginap di Hopert (Hotel Pertamina). Tepatnya di SPBU Porsea. Tidak sedikit juga orang berisitrahat di sini. Puluhan mobil dan juga sepeda motor menghentikan kendaraanya di sini sampai pagi, ditemani ninuman instan yang dijual di supermarket yang terdapat di SPBU tersebut. Kami memilih Porsea sebagai tempat istirahat karena ada maksud akan ke Air Terjun Ponot. Sesuai informasi yang kami dapat dari GoogleMap, serta dengan tanya sana-sini, jalur terdekat ke Ponot melalui Jalan Sigura-gura yang pangkalnya ada di Porsea. Subuh sebelum berangkat, kami singgah di Masjid Raya Posea untuk Sholat dan berbasuh: Sikat gigi dan cuci muka. Tidak perlu mandi. Lepas itu, masuk warung, cari sarapan. Letaknya, lagi-lagi, dekat SPBU. Kami ke sana, dan ternyata di warung yang “tak berdinding” ini ada beberapa keluarga pelancong yang bermalam. Tempatnya tentu tidak baik-baik amat, namun cukup keren karena ada balai-balai, ada tikar dan bisa selonjor. (Selonjor adalah posisi sangat istimewa untuk traveling yang panjang).