06 Juni 2011

SUDAKO DAN CALON MAHASISWA

Secara resmi sebutannya Angkot; singkatan dari Angkutan Kota. Sehari-hari, kalau di Medan, orang masih banyak menyebut Sudako dari pada angkot. Yang menggunakan istilah angkot, itu boleh dibilang betul-betul 'orang masa kini'. Bukan orang lama di Medan. Orang lama selalu memanggil moda angkutan kota sejenis minibus, itu Sudako. Tak peduli di badan minibus itu tertera merek perusahaanya Nasional, Rahayu, Desamaju dan sebagainya. Kalau mau tahu merek perusahaan angkutan dimaksud, Orang Medan sering tanya begini: "Naik sudako apa tadi?" Padahal 'sudako' itu sendiri, konon, nama sebuah perusahaan angkutan kota di Medan. Merek itu termasuk yang pertama muncul dalam sejarah angkot di Medan. Warna catnya kuning.

Seperti di kota-kota besar lainnya, Sudako cukup merajai jalanan kota. Siang malam berlalu-lalang melayani penumpangnya. Ugal-ugalan, kerap menjadi julukan supirnya. Kebut-kebutan, nyrempet, dan seterusnya, itu kegiatan sehari-hari. Biang kerok pembuat macet pun sering dialamatkan padanya. Tapi apa pun ceritanya, banyak sekali warga kota Medan bergantung kepada Sudako. Tak terkecuali mahasiswa yang baru tiba dari 'kampung halaman' untuk menyambung kuliah di Medan. Ke mana-mana pergi, mereka masih sering naik sudako.

Berikut ini adalah cerita yang saya dengar siang tadi dari Zul Fadlin, saat kami melintas di Jalan Halat, Medan. Dia, pada tahun 1999/2000 pernah kos di kawasan ini dengan status “Belajar sambil mencaari kerja”. Menurut dia, cerita mengenai seorang calon mahasiswa baru ini adalah pengalaman yang ia sendiri terlibat di dalamnya.

Calon mahasiswa baru ini tidak asing naik kendaraan penumpang umum. Waktu masih di 'kampung halaman' juga sering naik angkot, pabila 'kreta'-nya sedang tidak ada. Sangking seringnya naik angkot di sana, banyak supir yang berhasil dia kenal. Lagi pula, supir angkot di 'kampungnya' lazim beramah-tamah sambil mengemudi dengan penumpang. Kesan ini dia bawa terus hingga ke Medan: Ada ramah tamah dan basa-basi antara supir aangkot dengan penumpangnya.

Suatu hari sepulang dari sebuah tempat, ia berpikir akan membayari ongkos dua teman lain yang telah mau menemani dan mengantar-antarkan dirinya sebagai penunjuk jalan di Medan. Ia tidak mau memberati kawannya yang sudah berbaik hati, mengantar dan memberinya tumpangan 'kamar kos' sebelum ada kepastian diterima sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri. Dengan senang hati, ketika temannya mengetuk atap sudako memberi tanda kepada supir bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan, cepat-cepat mahasiswa ini turun dan mengambil uang dari saku; uang yang sudah dia persiapkan sejak semula.

Kawannya bilang: "Gak usah woi......ini aja", saat kawannya menangkap gelagat bahwa calon mahasiswa baru ini kepingin membayar sendiri semua perongkosan mereka. Dengan sigap, ia menjawab: "nggak-enggak! Biar aku yang bayar!", sambil bergegas ke pintu samping kiri supir.

Supir-supir sudako di Medan --meski ada ketentuan seperti tertera pada stiker yang tertempel di dinding 'kabin penumpang': "Bayarlah dengan uang pas, jauh dekat sama saja"-- mereka tidak menerapkan aturan itu. Aturan yang berlaku adalah tiap penumpang yang turun dan ketika ia datang mau membayar ongkos kepada supir, Supir selalu bertanya kepadanya: "Dari mana tadi?"

Jawaban penumpang atas pertanyaan itu akan menentukan berapa besar ongkos yang harus dibayar oleh penumpang. Jadi, tidak cuma nyetir, lihat spion kiri kanan belakang, salip, tekan klakson, rem, berenti dan teriak-teriak menawari jasa angkutan kepada orang yang berdiri di kanan-kiri jalan, melainkan juga menanyai penumpang yang turun: "Dari mana tadi?"

Tak terbayangkan memang capeknya seorang supir sudako. Panas terik kota Medan seringkali membuat kulit wajanya pun "hangus" sebelah. Keringatnya bercucuran, yang sebentar-sebentar diseka dengan handuk yang dia gantungkan di lehernya. Barangkali atas alasan capek, lelah, panas macam itulah, supir sudako di Medan tidak seramah supir angkot di 'kampung'. Sedikit-sedikit emosi.

Itulah yang terjadi ketika calon mahasiswa ini mau bayar ongkos. Saat ditanya oleh supir: "dari mana tadi?", sang mahasiswa menjawab dengan ramah:

"enggak ada, cuma dari rumah kawan tadi belajar"

"Bukan itu maksudku", jawab supir agak pelan.

"Ya, dari rumah kawan. Ini kan mau ujian", kata mahasiswa balik meyakinkan.

"Hadoooooh, maksudku naiknya dari mana?", senggak sang Supir

"Ah, gitu. Tunggu kalau gitu! Kutanya dulu sama kawan", kata mahasiswa sambil berlalu.

"Uuuuhhhh itu aja .......", kata Supir setengah berteriak.

4 komentar:

  1. Ah ada saja bang fikar,,,jadi ingat nostalgia pertama ke medan,,,tahun 2004. salam kenal bang...

    BalasHapus
  2. Salam kenal kembali. Apa cerita tahun 2004, bagi dong?

    BalasHapus
  3. Saya pernah mengalami perisitwa yang sangat menyakitkan hati, sewaktu menumpang 'sudaco' trayek 'sambo'- 'mongosidi'. Waktu itu, baru pulang dari Kosulat Jepang di Jl.Suryo12 mengambil bea-siswa dengan teman saya Sukandi (Alumni Fakultas Ekonomi-USU). Di tengah perjalanan, persisnya di Jl.Palang Merah, naiklah empat orang penumpang. Mereka menghimpit-himpit kami. Saya pun tidak sadar..., dan baru saja naik 'sudaco, empat orang penumpang tadi, minta berhenti. Begitu mereka turun..., tampak mereka merasa gembira sekali.
    Sampai di stasiun 'sudaco', di Jl.Sambo, barulah saya sadar....ternyata uang bea-siswa di kantongku telah lenyap....Alangkah sedihnya saya. Ongkos pulang kerumahpun tidak ada. Karena saya pikir, dengan bea-siswa itu saya nanti punya ongkos ke Kedai Durian, ternyata telah raib dari kantong. Untung saja, teman saya Sukandi memberikan saya untuk ongkos. Alangkah sedih....

    BalasHapus
  4. haha, jadi kebiasaan di kampung kalo sudako itu gak pake nomor bang tapi langsung aja bertulis tempat tujuannya,,misal kalo mau ke kekebayakan tinggal liat aja sudako yang bertulis kebayakan diatasnya,,,nah pada masih beberapa hari di medan, pacar teman saya ngabari kalo orang tuanya di medan dan hari itu juga kembali ke Aceh, dan lagi di terminal. jadi saya dan teman saya ga tau terminal dimana, tanya punya tanya ternyata berlokasi di gajah mada, nah baru bingung ke gajah mada naik apa. dan kebetulan melintaslah sudako yang bertulis gajah mada,,,ow ini angkot gajah mada kata saya, lantas kamipun menumpang tanpa banyak tanya kami ikuti saja kemana arahnya. hingga pada pemberhentian terakhir kami tidak menemukan dimana terminal gajah mada itu,..kalo ke gajah mada bukan naik ini kata bang sopir setelah kami tanyakan, dan bertemu dengan calon mertuapun nihil bang, karena ketika tiba di gajah mada bus udah berangkat bang,,,

    BalasHapus