29 Mei 2011

BUS MEDAN TANAH KARO 3

Seorang bapak yang ber-Pakaian Seragam Harian sebuah instansi pemerintah yang berkedudukan di Kabanjahe, yang duduk sebangku dengan saya, sudah lebih setahun belakangan ini lalu lalang Medan Kabanjahe. Pagi hari berangkat dari Medan ke Kabanjahe dan sore hari kembali lagi ke Medan. Semua jenis moda angkutan darat yang melayani jalur ini telah ia coba. "Semuanya ada kelebihan dan kekuarangan", ungkapnya. Tak diragukan lagi tentunya pengalaman hari-hari sang Bapak berada dalam bus yang berjalan di atas aspal yang katanya "sebentar diperbaiki, sebentar terkelupas".

Sarjana Pertanian jebolan IPB puluhan tahun silam, ini bercerita bahwa air adalah salah satu faktor paling jago membuat aspal terkelupas dan berlobang. "Air itu kalau terus-terusan menggenang di jalan, itu bisa mempercepat kerusakan jalan", terangnya. Padahal daerah tempat aspal rusak yang sedang kami bicarakan, itu merupakan daerah 'penghasil' air yang sangat banyak. Truk-truk tangki pengangkut air isi ulang ke Medan dan sekitarnya, yang kebanyakan namanya ke-Inggris-Ingrisan seperti "............ Water", dan "..........Water", itu semua mengambil air dari sini: Sembahe - Bandarbaru. Termasuk PDAM Tirtanadi; sumber airnya antara lain berasal dari kawasan ini.

Penglihatan sepintas saya dari dalam bus, air yang melimpah ruah, itu ke luar begitu saja dari selang-selang dan pipa-pipa yang dibuat sedemikian rupa agar bisa 'dikucurkan' langsung ke dalam truk tangki. Banyak air terbuang-buang, mengalir di permukaan tanah, dan melintasi jalan aspal. Begitu juga air dari selang-selang plastik yang disediakan oleh pengelola warung atau tempat parkir kendaraan truk atau mobil niaga lainnya, itu juga mengalir ke jalan. Sehabis disemprotkan ke kaca, bodi, atau bahkan ke roda kendaraan yang kotor atau yang panas tromolnya gara-gara kebanyakan nge-rem, itu semua mengalir ke tempat yang rendah melalui jalan-jalan aspal. Dalam hati saya bertanya, "kenapa air dibiarkan berjalan di jalan kendaraan? Enak aja ini air! Bagaimana nanti kalau kendaraan juga berjalan melalui saluran air?", bisik-bisik saya di dalam hati.

Pertanyaan itu tentu mudah menjawabnya. Jawabnya adalah ketiadaan parit. Atau kalau mau lebih gagah, sistem drainase jalan tidak berfungsi. Tidak susah membuktikan ini. Di banyak titik kita bisa lihat, parit kering tetapi jalan aspal berair.

Karingnya parit jalan tentu tidak salah, karena sebagian hanya dimaksudkan untuk menyalurkan air hujan. Yang menjadi soal adalah bila parit-parit itu buntu. Tidak nyambung antara ruas yang satu ke ruas yang lain. Atau boleh jadi karena semak (belukar) hidup dalam parit. Pemandanagan macam ini pun sering kelihatan di beberapa titik. Kita gak tahu persis kenapa ini bisa terjadi. Dugaan kita tentu karena terlalu lama tidak dibersihkan. Pertanyaan kemudian, siapa yang mau membersihkan? Aduhhhhh panjang kali kalau mau dibahas. Saya takut nanti ada yang tersinggung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar