MASALAH PENEGAKAN HUKUM: ANTARA CONCERN DAN RESISTENSI¨
Oleh: Fikarwin Zuska
Ada satu pertanyaan yang belum pernah bisa tuntas dijawab oleh kita bangsa Indonesia si penganut faham unifikasi hukum ini sejak lama sekali. Pertanyaan itu ialah mengapa hukum yang kita maksudkan, yaitu hukum negara, sulit sekali menegakkannya di dalam kehidupan masyarakat?
Di mana-mana kita kita selalu sering melihat, mendengar dan membaca berita tentang keetidakberhasilan aparat negara menegakkan hukum negara secara konsisten dan merata di segala lapisan masyarakat. Tulisan ini ingin coba jawab pertanyaan itu dari perspektif pluralism hukum. Tapi sebelumnya kita ulas sedikit jawaban-jawaban yang sudah ada atas pertanyaan itu.
Tidak Concern
Jawaban kita selama ini atas pertanyaan dimaksud adalah karena orang-orang yang ditugasi untuk menegakkan hukum negara tidak bias dipercaya kemampuannya, kredibilitasnya, dan juga integritas serta dedikasinya terhadap bangsa dan negara. Jawaban ini mempunyai spektrum sangat luas, dan apabila dikaji lebih dalam maka kita akan bertemu dengan bermacam-macam fakta.
Misalnya, beberapa waktu yang lalu sebuah media nasional secara khusus menurunkan tulisan perihal gaji para penegak hukum yang sangat rendah (terutama hakim); jauh timpang dengan penghasilan para pengacara yang sangat mencengangkan. Di lain pihak, lanjut tulisan itu, pendidikan para penuntut umum (jaksa) dan hakim dibandingkan pendidikan para pengacara juga demikian. Hakim lebih rendah pendidikannya. Bahkan katanya, pendidikan khusus menjadi hakim pun belum pernah ada di negeri ini. Semua hal ini menyebabkan hukum negara sulit bisa ditegakkan.
Penjelasan ini masih bisa diperluas lagi pada kemungkinan adanya usaha dari para penegak hukum kita untuk mengembalikan biaya atau perongkosan yang pernah mereka keluarkan waktu mau diangkat menjadi penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan status pegawai negeri atau penegak hukum, dulu --mudah-mudahan sekarang tidak--- sebahagian orang perlu mengeluarkan ‘uang pelican’ yang jumlahnya bisa sebesar beberapa puluh kali gaji.
Seorang ayah di sebuah desa pernah menyatakan dirinya terpaksa jual sawah untuk ‘biaya’ putra sulungnya masuk (menjadi pegawai) sebuah istansi penegak hukum. Kini, kata sang ayah, ia meminta putranya itu untuk membiayai sekolah adik-adiknya --sebagai kompensasi-- akibat terjualnya sawah gantungan keluarga karena kepentingan dia. Sebagai putra yang baik harapan orang tua dan saudara-saudaranya, si putra saban bulan harus mengirim sejumlah uang untuk menyekolahkan adik-adiknya.
Bahkan kata si ayah, si putra dengan cepat bisa membelikan ayahnya kebun sebagai pengganti sawahnya yang lenyap dulu. Jadi dalam kasus ini hukum negara tidak bisa tegak karena concern petugas bukan pada penegakan hukum tetapi mengembalikan investasi dan mencari untung.
Kalaulah kasus seperti ini banyak jumlahnya, bagaimana si penegak hukum kita bisa berbuat lurus dalam tugas? Sejak dari awal dia sudah dicaatut oleh orang-orang yang mungkin menjadi atasannya; yaitu orang yang senantiasa melakukan WASKAT atas dirinya. Kemudian ia juga harus mengangkat kembali ‘batang terendam’ dari ayah yang memberinya ongkos masuk kerja. Gaji tidak akan cukup untuk memenuhi semua itu. Putra harus bermain agar pendapatan di luar gaji bisa untuk memulangkan semua yang terutang. Belum lagi aspirasi si si putra sendiri, yang tentu lebih meningkat, setidaknya untuk isteri dan anaknya agar bisa mengikuti perkembangan zaman.
Resistensi
Jawaban kedua, berkenaan dengan pertanyaan tak bisa ditegakkannya hukum negara, adalah perihal resistensi dari sistem-sistem hukum yang lain. Meski secara resmi negara kita menganut faham unifikasi hukum namun realitasnya adalah pluralism hukum. Tidak hanya satu sistem hukum yang bekerja mengatur aktivitas dan hubungan-hubungan manusia di masyarakat. Kenyataan menunjukkan di samping hukum negara, terdapat juga hukum-hukum lain seperti hukum adat, hukum agama, dan juga hukum internasional.
Bahkan menurut ahli antropologi hukum Frans & Keebet von Benda-Bechmann (2001), ada lagi sistem hukum yang disebutnya hukum hybrid law (hukum himbrida) dan juga hukum yang disebutnya unnamedlaw (hukum tak bernama). Hukum-hukum ini sama-sama bekerja (koeksisten) mengatur aktivitas dan hubungan-hubungan manusia, sehingga terjadilah forum shopping dan shopping forum.
Istilah ‘dame-dame’ yang kita kenal dalam rangka penyelesaian suatu persoalan hukum di masyarakat kita misalnya, adalah contoh dari hukum hybrid atau unnamed law tadi. Hukum-hukum ini menjadi pesaing hukum negara. Orang diharapkan untuk memilih (shopping), misalnya dalam kasus razia di jalan raya, apakah mau memakai hukum negara atau atau ‘dame-dame’. Petugas sering tawarkan pilihan itu, baik secara terang-terangan atau terselubung.
Biasanya, kalau kita mau cepat, kita akan pilih ‘dame-dame’ dengan konsekwensi kita member uang sebesar atau kurang sedikit dari jumlah denda tilang resmi kepada petugas. Sebagian orang mungkin ‘ngomel’ diperlakukan dengan cara seperti ini, tapi sebagian lagi maklum saja. Supir kendaraan umum atau pebisnis biasanya lebih suka pilih ‘dame-dame’. Pertimbangannya adalah cepat tuntas, tidak berlama-lama tempuh prosedur dan lagi pula belum tentu akan adil kalau dibawa ke pengadilan. Tidak jarang orang merasa mekanisme ‘dame-dame’ ini lebih adil, sehingga tak heran bila Marc Galanter (1993), seorang ahli antropologi hukum, mengatakan keadilan ada di berbagai ruang: “Keadilan tidak hanya ada di pengadilan”, kata Galanter menegaskan.
Fenomena hukum hybrid atau unnamed law ini mencerminkan tidak berjalannya hukum negara secara penuh. Hanya sebagian dari hukum negara dipakai, yaitu diakuinya petugas berhak merazia para pengendara, dan pengendara menghadapi petugas perazia yang dilengkapi atribut resmi itu (beberapa saat) secara formal. Selebihnya akan berlangsung dengan tatacara non-formal atau bahkan informal. Inilah yang dikatakan Moore (1993) bahwa di dalam kenyataan hukum negara itu hanya sebagai kerangka hubungan atau latarbelakang. Isi dari kerangka itu diatur dengan aturan-aturan yang berasal dari aturan-aturan non-legal atau bahkan illegal. Moore mengungkapkan gejala semacam ini justeru terjadi di kota New York saat ia mengkaji bidang social semi otonom pada salah satu industri pakaian gaun di sana.
Berbeda dari hubungan antara hukum hybrid dan hukum negara, maka hubungan hukum negara dan hukum adat serta hukum agama justeru lebih jelas cirri resistensinya. Sebagai contoh kita ambil saja contoh dalam bidang hak kepemilikan atas sumberdaya alam hutan. Antara hutan dan manusia, dalam hukum adat telah diatur hubungannya. Kemudian setelah lahir negara, hubungan yang sama diatur lagi. Negara mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandug di dalamnya dikuasai oleh negara dan dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejak itu lahirlah Undang-Undang Pokok Kehutanan yang lebih rinci mengatur hubungan manusia dengan hutan. Tanpa manusia sekitar hutan (kalangan adat) tahu rencana pengundangannya, negara diam-diam memberangus konstruksi adat tentang hubunganmanusia dan hutan melalui Undang-Undang.
Konflik tak dapat dihindari ketika undang-undang diterapkan. Walau lembaga atau organisasi-organisasi adat sudah dititadakan dan diganti dengan desa, namun adat ¾sebagai hukum¾ tidak bisa begitu mudah dihilangkan. Ia hidup dalam batin masyarakat yang mendukungnya. Ia muncul dan bekerja kapan pun diperlukan, sementara undang-undang negara tidak pernah membatin di sanubari kelompok masyarakat tersebut. Konsekwensi dari pemaksaan dan sebaliknya perlawanan dari hukum adat, maka sekarang kita bisa saksikan hutan-hutan kita hancur berantakan seperti barang yang tidak bertuan. Tidak rakyat, tidak HPH, dan tidak aparat, semuanya bermain menghancurkan hutan untuk kepentingan pribadi.
Baru saja sebuah media local memberitakan satu bentuk hukum hybrid atau unnamed law yang sesungguhnya ikut memporak porandakan hutan di Tapteng, yaitu “stabil”. Entah dari mana istilah stabil ini berasal ¾sebab di daerah Tapsel juga ada istilah ini digunakan untuk maksud yang sama¾ yakni praktik suap yang dilakukan oleh pengusaha pencuri kayu kepada segenap aparat terkait di Tapteng agar pencuriannya sukses. Permainan ini, menurut penulis, terjadi karena pengebirian hukum adat atas hutan oleh hukum negara. Rakyat tidak bisa mencegah karena takut dituduh main hakim sendiri.
Ketidakpastian
Sisi lain dari pluralisme hukum adalah keetidakpastian hukum akibat tidak jelasnya hukum mana yang harus diacu untuk menangani sesuatu persoalan. Ketidakjelasan ini membuka peluang orang untuk melakukan shopping. Indira Simbolon (1994) pernah menelaah persoalan Inti Indorayon dari sudut penggunaan acuan hukum untuk mendapatkan sukses. Simbolon menyebutkan suatu saat Inti Indorayon Utama (IIU) gunakan hukum adat untuk dapatkan tanah dan menagkis serangan perempuan, maka di saat lain mereka gunakan hukum negara untuk mempertahankan tanahnya.
Dalam kasus perambahan Suaka Marga Satwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, ketidakpastian hukum juga terjadi. Ada kebingungan pada sementara pejabat untuk menindak perambah kerena kenyataannya perambahan itu didukung oleh Kepala Desa untuk kepentingan warganya. Semua sistem hukum tampaknya dimungkin penggunaannya, sehingga tidak dapat dihendari terjadinya konflik. Petugas tidak bisa konsisten mengacu hanya pada satu sistem hukum saja, walaupun kekonsistenan itu selalu disebutkan dalam retorika. Tidak mudah melenyapkan hukum-hukum lain selain hukum negara karena hukum hukum-hukum lain itu juga berfungsi mengatur kehidupan manusia dan bahkan akarnya ada di masyarakat.
Melihat kompleksnya persoalan dalam penegakan hukum di masyarakat ini tampaknya kita perlu membangun suatu pemahaman bahwa ketidakpastian adalah hakekat dari kehidupan bermasyarakat. Meski kita selalu berusaha menuju suatu kepastian, namun ketidakpastianlah yang akan selalu kita dapatkan. Ketidakpastian ini tampaknya lebih dapat dikelaola di dalam kesatuan-kesatuan sosial yang lebih kecil. Dalam kesatuan-kesatuan yang besar, ketidakpastian akan bertambah besar dan makin sulit mengelolanya. Ini terjadi karena ragam hukum yang ada dalam satu kesatuan yang besar lebih banyak sedangkan dalam kestuan yang kecil ragam huku itu lebih sedikit.
Tapi akhir-akhir ini bidang-bidang sosial yang kecil, seumpama hubungan antara suami dan isteri, pun sudah dimasuki oleh banyak sekali hukum. Hubungan suami isteri saat ini dimasuki oleh negara; diatur bila dan berap sebaiknya anak buah kasih mereka.
Begitu juga konvensi-konvensi internasional, juga masuk di wilayh ini dan membawa misi menghapus kekerasan dengan usulan mengadakan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semoga UU itu nanti tidak seperti UU kehutanan melabrak hukum adat dan agama yang sudah lebih dahulu mengatur hubungan suami isteri. Dan yang penting juga penegak hukum bisa melaksanakan undang-undang ini tanpa distorsi.
¨ Tulisan ini pernah dimuat di Harian Realitas, 14 Mei 2002, halaman 4. Nampaknya isi tulisan ini masih tetap relevan dengan situasi hari ini; situasi di mana kita menyaksikan kasus Gayus keluar masuk rumah tahanan, kasus Kasiyem (joki narapidana), dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar