Gotong Royong di Kota
Ada sejumlah pertanyaan diajukan oleh peserta dalam sebuah ‘forum dialog’ kepada saya. Saya, dalam forum yang diadakan oleh Dinas Kominfo Pemprovsu itu, kebetulan, bertindak sebagai narasumber. Selain saya ada Prof. Irmawati, psikolog dari USU, dan Dr. Zainul Fuad (dari IAIN SU menggantikan Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis yang berhalangan hadir) sebagai narasumber. Sementara Drs. Irfan Simatupang, MSi bertindak sebagai moderator. Dalam dialog bertema Pembangunan Karakter Bangsa Dalam Meningkatkan Budaya Kegotongroyongan, itu hadir sejumlah peserta dari berbagai kalangan. Di antaranya dari Forkala, FKUB, siswa SMA Negeri 7, utusan-utusan SKPD, PKK Pemprovsu dan lain-lain.
Pertanyaan yang diajukan kepada saya cukup berat juga. Misalnya soal pertalian gotong royong dengan masyarakat kota. “Konon gotong royong bersuasana ‘desa’. Apa mungkin gotong royong dilangsungkan di perkotaan?”, tanya bapak Ansari dari FKUB.
Tidak langsung saya menjawab pertanyaan ini. Diperlukan lebih dulu pemahaman konseptual tentang ‘gotong royong’. Saya setuju dengan konsep gotong royong yang digagas oleh Prof. Amri Marzali (2005). Marzali mengembangkan gagasannya dari gagasan awal Prof. Koentjaraningrat tentang gotong royong (1964); bukan dari gagasan Koentjaraningrat sesudah itu (misalnya tahun 1974).
Inti gagasannya ‘gotong royong’ tidak sama dengan ‘tolong-menolong’. Walaupun kedua-duanya merupakan kerjasama, atau kerja bersa-sama, tetapi azasnya berbeda. Tolong-menolong adalah kerjasama berasas resiprositas atau timbal-balik. Bila si A ditolong pada suatu ketika, maka pada saat itu juga timbul ‘kewajiban’ pada diri si A untuk suatu waktu di ketika yang lain nanti, Ia akan membalas/ mengembalikan pertolongan yang diberikan oleh si B.
Berbeda dengan gotong royong. Gotong royong tidak ada balas-membalasnya karena tidak jelas siapa yang akan membalas, dan kepada siapa balasan itu diberikan. Individu, dalam gotong royong, bekerja bersama untuk keperluan bersama. Tidak ada individu atau kelompok lain yang diuntungkan. Karena itu tidak ada individu yang berkewajiban membalas. Jadi, dengan demikian, kerjasama gotong royong tidak dapat dikatakan berasas resiprositas. Asasnya, merujuk Marzali, adalah komitmen kepada kelompok. Anggota kelompok merencanakan sesuatu, melakukan/ melaksanakan rencana itu, untuk menghasilkan sesuatu bagi mereka (anggota kelompok). Ini persis dengan prinsip demokrasi: dari kita, oleh kita dan untuk kita.
Partisipasi, dengan demikian, tidak bisa lepas dari konsep gotong royong. Semua orang yang disebut dan masuk sebagai ‘kita’ dalam kosa kata “dari kita”, harus semuanya terlibat dalam membuat/memutuskan sesuatu rencana. Begitu pula waktu melaksanakan rencana. Recana itu harus dilaksanakan “oleh kita” pula. Bukan oleh orang lain di luar kita. Alasannya tidak lain karena manfaat dari pelaksanaan rencana tersebut adalah “untuk kita”; bukan untuk mereka atau orang lain. “Kita” di sini tentu kita semua sebagai anggota suatu kelompok.
Kelompok, menjadi sangat penting dalam konsep gotong royong ini. Begitu pun pemimpin kelompok. Tanpa pemimpin, tidak mungkin kelompok dapat bergerak. Individu anggota kelompok tidak akan bergerak bersama-sama, bergotong royong, apabila tidak ada orang yang memandu.
Orang yang memandu gotong royong harus pemimpin yang terpercaya; dipercaya oleh warganya sebagai orang yang tidak akan mementingkan dirinya sendiri. Kalau pemimpin tidak demikian, niscaya tidak ada kesukarelaan warga untuk kerjasama membuat kerja kelompok. Gotong royong memerlukan kesukarelaan. Kerjasama tanpa kesukarelaan dapat tergelincir menjadi ‘rodi’ (kerja paksa). Sebaliknya, kerjasama penuh kesukarelaan tetapi dengan ketidaksetaraan, seumpama ‘mengabdi’ kepada duli tuanku, itupun bukanlah gotong royong. Ini lebih mirip dengan penghambaan. Dua-duanya, menurut hemat saya, masuk dalam kategori penindasan.
Kembali ke pertanyaan, apakah gotong royong dapat diterapkan di metropolitan?
Beranjak dari konsep gotong royong yang berarti kerjasama ―dari kita, oleh kita dan untuk kita― maka saya kira, gotong royong dapat diterapkan dalam masyarakat metropolitan. Sebab, gotong royong tak ubahnya seperti praktik demokrasi dan atau partisipasi. Kalau kita yakin demokrasi dan partisipasi dapat dijalankan, baik di lingkungan masyarakat pedesaan maupun di perkotaan, maka secara otomatis gotong royong pun dapat diterapkan di perkotaan. Yang penting ada kepemimpinan yang mampu menggerakkan warganya untuk bekerjasama secara sukarela demi kepentingan bersama (kelompok).
Pemerintah dan pemimpin
Mewujudkan gotong royong dewasa ini memang tidak mudah. Tantangannya yang paling utama adalah pemerintah. Pemerintah sudah terlanjur mengurus hampir semua ‘urusan bersama’ setiap kelompok. Dan oleh pemerintah ‘urusan bersama’ itu diperjual belikan (ditenderkan) pula. Jadi ‘urusan bersama’ itu bukan lagi hanya dicerabut dari kelompok, melainkan juga ‘diperjual belikan’.
Jalan, jembatan, danau, hutan dan lain-lain yang merupakan ‘kepentingan umum/bersama’ diambil alih oleh pemerintah. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dikerjakan sebagai kerja bersama oleh kelompok. Ini salah satu yang menyebabkan pudarnya gotong royong, dan ini pula yang menyebabkan sulitnya menghidupkan gotong royong di masyarakat. Kompromi antara warga dengan pemerintah, dalam arti partisipasi, untuk membuat gawe bersama belum terbangun.
Di samping itu juga menyangkut originalitas sang pemimpin kelompok. Pemimpin-pemimpin kelompok dewasa ini seringkali lahir secara instan; tidak alamiah. Intervensi pihak luar, antara lain, menjadi penyebabnya. Pihak luar berkepentingan untuk menampilkan individu tertentu menjadi pimpinan kelompok. Akibatnya sang pimpinan lebih berpihak dan mementingkan kepentingan dari luar; bukan kepentingan kelompoknya.
Akhir-akhir ini banyak pimpinan muncul karena mekanisme uang. Ia muncul karena ‘membeli’ suara konstituennya. Pemimpin macam ini tidak mungkin akan mengabdi. Tugas utamanya tentulah mengembalikan “modal” atau uang yang digunakannya untuk membeli suara. Tugas berikutnya yaitu melayani TS (Tim Sukses). Terkadang TS lebih berpengaruh dibandingkan diri pemimpin itu sendiri. Pemimpin ‘semu’ atau ‘boneka’ macam ini tidak mungkin menggerakkan gotong royong.
Pemimpin otoriter dan pemimpin karismatis, meski berbeda, namun sama-sama tidak bisa melahirkan gotong royong. Kerjasama di bawah kepemimpinan macam ini biasanya tidak memiliki kesetaraan. Orang bekerjasama hanya karena takut (terpaksa) atau karena pasrah (mengabdi) bukanlah karakter gotong royong. Gotong royong itu bernuansa demokratis.
Kota
Gotong royong ―kerjasama yang terjadi karena komitmen pada kelompok― dapat terkendala perwujudannya karena multiplisitas kenggotaan individu. Seorang individu bisa menjadi anggota sejumlah kelompok. Dan komitmen individu tersebut terhadap kelompok-kelompok yang dianggotainya, boleh jadi tidak sama. Implikasinya terhadap gotong royong juga berbeda, tergantung di kelompok mana individu bersangkutan merasa atau melihat dirinya lebih menjadi subjek (di-orang-kan).
Di kota individu-individu hidup dalam satuan-satuan sosial yang kompleks. Tinggal di lingkungan fisik dan sosial tertentu, bekerja di lingkungan sosial yang lain. Di lingkungan tempat tinggalnya, individu bersangkutan mungkin dianggap marginal; bukan penduduk inti. Sementara di tempat kerja Ia sebagai elite. Komitmennya mungkin saja lebih besar pada kelompok korporasi/kantornya ketimbang pada kelompok di lingkungan tempat tinggal. Akhirnya kontribusi atau gotong royong akan diberikan ke kantor/korporasi.
Kemurnian atau kesukarelaan bekerjasama untuk kepentingan bersama makin sulit diwujudkan karena, seperti dikatakan di muka, unsur-unsur ‘kepentingan bersama’ semakin menipis. Negara atau pemerintah mengambil terlalu banyak “urusan-urusan kelompok” menjadi “urusan pemerintah”. Di lain pihak pemerintah, dalam menjalankan tugas-tugasnya, kurang memperhatikan partisipasi. Pemerintah lebih banyak menerapkan pendekatan top-down. Aspirasi masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok kurang terakomodasi.
Bila pendekatan bottom-up dan partisipatoris dapat dijalankan dengan baik, otomatis, gotong royong sudah berjalan. Individu-individu sudah dijadikan subjek, keberadaannya diakui, ada kesetaraan, dan yang lebih penting lagi tanggung jawab atau komitmennya terhadap urusan bersama. Artinya, warga tidak hanya diperlakukan sebagai ‘ban serap’. Manakala keamanan terganggu, barulah warga dipaksa melakukan ‘jaga malam’. Mereka tidak pernah ‘terlibat’ saat merumuskan keputusan untuk mengerahkan warga melaksanakan jaga malam itu sendiri.
Gotong royong memang sangat sulit ditemukan di kota-kota. Apaligi di kota Metropolitan di mana orang-orang sudah lebih bersifat individualisme dan sibuk akan dirinya sendiri dan tidak lagi memiliki rasa kekeluargaan (fraternity) terhadap orang sekitarnya. Serta meanggap segala sesuatu bisa diselesaikan dengan uang. Dalam bahasa Batak sering disebut " Hepeng do Mangatur i sude"
BalasHapusBapak bilang tadi bahwa gotong royong sama dengan praktek demokrasi atau partisipasi. Yang masih saya kurang paham adalah tentang partisipasi yang bagaimana yang harus kita terapkan dan kita laksanakan di kota???
" Hepeng do Mangatur i sude"
BalasHapus