LIBUR LEBARAN: SAMPAH DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Oleh: Fikarwin Zuska
Libur Lebaran 2018 ini aku
sempat mengunjungi secara singkat dan secara sepintas melihat-lihat beberapa
kota dan tempat wisata di Provinsi Sumatera Utara. Mulai dari Kota Medan, Kota
Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, Kota Sibolga, Kota Pandan (Tapanuli
Tengah), Kota Padang Sidimpuan, Kota Kecamatan Sipirok (Kabupaten Tapanuli
Selatan), Kota Kecamatan Porsea (Kabupaten Toba Samosir), Air Terjun Ponot
(Kabupaten Asahan), Pulu Raja (Asahan), Kota Kisaran dan seterusnya kembali lagi
ke Medan. Jarak jalan yang ditempuh, menurut Google Map, adalah sepanjang 909
kilometer. Apa yang dilihat? Yang dilihat, sebenarnya, sangat banyak. Tetapi
khusus untuk tulisan ini, sesuai judulnya, kutujukan pada sampah dan
tali-temalinya. Budaya dan kebijakan, sebagai aku dari kalangan antropolog,
tentu tidak bisa lepas dari mempertimbangkannya dalam analisis. Termasuk, tentu
saja, kesejahteraan.
Kuawali tulisan ini dari
kesejahteran sosial masyarakat penduduk negeri ini. Apakah mungkin, jika tidak
banyak orang yang sejahtera, akan terselenggara acara mudik lebaran? Kalau di
Jawa, lihat saja siaran televisi, orang nampak berbondong-bondong dengan
berbagai macam barang bawaan. Baik barang maupun orang, banyak sekali jumlahnya;
melimpah ruah rasanya. Segala macam moda transportasi ada, dan semuanya padat.
Darat, laut maupun udara. Dari yang
paling mahal hingga yang paling murah harganya, semuanya ada dan
melimpah-limpah. “Uang dari mana?”,
tanyaku sering dalam hati. Dan, selalu kujawab sendiri: “itu pertanda rakyat
makin sejahtera”. Orang melarat, tentu tidak bisa mudik. Mudik itu mahal
ongkosnya. Meski selalu ada yang menyediakan tiket gratis untuk beberapa
kalangan, namun biaya-mudik lainnya per orang bisa lebih mahal lagi: untuk pakaian
baru, makanan di jalan, oleh-oleh dan ang
paw di kampung halaman. Buat item-item ini belum ada darmawan yang mau
turun tangan. Saya tidak tahu kalau para peserta Pilkada, mungkin ada yang
‘berinvestasi’ untuk mengatasi hal ini.
Gajala mudik lebaran ini sudah
berlangsung lama. Selama gejala itu masih ada dan terus bertahan, tidak mungkin
bisa dibantah, bahwa itu refleksi kesejahteraan penduduk. Makin marak
pelaksanaannya, makin sejahtera pulalah rakyat yang merayakannya. Tahun ini
libur lebaran cukup panjang. Orang mudik punya waktu lebih leluasa (fleksibel).
Kemacetan (atau desak-desakan), sesuai logika, sudah pasti berkurang. Terlebih
akses jalan tol tahun ini sudah lebih memadai dari tahun-tahun sebelumnya. Ruas
jalan tol makin banyak, dan panjang. Alternatif lalu-lintas menjadi lebih luas.
Ini pun, tentu saja, cermin dari kesejahteraan yang meningkat. Tetapi,
kemacetan secara sporadis masih saja terjadi sebagaimana dilaporkan oleh media
televisi nasional.
Pemudik di Kota Medan juga turut
merasakan nikmatnya mudik melalui tol tahun ini. Menjelang lebaran, tol dari
Medan ke Bandara Kualanamu terbuka. Begitu juga tol dari Medan menuju ruas tol
Lubuk Pakam- Sei Rampah, sudah bisa dilalui. Aneka masalah seputar kemacetan
yang makin mendera Kota Medan akhir-akhir ini, dengan dibukanya tol, sedikit
teratasi. Hanya, sesuai amatan sepintas, sampai hari Minggu 17 Juni 2018
kemarin, pengendara yang memanfaatkan tol, masih banyak yang tidak memiliki
Kartu Tol. Mereka masih membayar cash
di pintu keluar. Akibatnya tidak terhindari penumpukan kendaraan. Pada hari
pertama lebaran, 15 Juni 2018, kendaraan mengular sampai lebih satu kilometer
di pintu keluar tol Sei Rampah. Di dalam antrian inilah saya mulai melihat
kelakuan norak pengendara/penumpang
mobil: buang sampah di jalan tol. Banyak sekali serakan sampah yang dicampakkan
oleh penumpang mobil sesaat mereka mengantri di pintu tol. Ada botol bekas minuman, kotak dan puntung rokok, serta
plastik-plastik bekas kemasan atau kantong plastik. Merek mobil, yang
mencerminkan kekayaan pemiliknya, tidak berhubungan dengan kelakuan pemilik membuang
sampah. Pemilik mobil mewah atau bukan mobil mewah, sama saja: sama-sama norak
tak tahu aturan, dari dalam mobil lemparkan sampah ke jalan.
Pukul 02.00 WIB saya dan
keluarga tiba di Kota Sibolga. Tidak menyangka kalau orang akan memenuhi hotel-hotel
di sana. Beberapa hotel yang kami datangi dini hari itu, termasuk hotel yang
pemiliknya sudah kami minta tolong membantu, tetap saja penuh. Maka kami pelan-pelan
berjalan menuju Pandan, ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah, sembari melirik dan
bertanya ke hotel-hotel yang terdapat di sepnjang jalan. Jawabnya sama: sudah
penuh. Untung ada satu hotel di Desa Kalangan yang menyatakan masih ada kamar.
Demi agar bisa tidur sejenak, dapat mandi, sikat gigi serta buang air, kamar
dengan “tarif lebaran” seakan bintang tiga tetapi fasilitas sangat kurang, itu
pun terpaksa dibayar. Tidak ada pilihan. Kamar mandi sangat sempit, sulit
jongkok, dan yang paling parah, dindingnya sangat jorok penuh bercak tanda
tidak pernah digosok/disikat. Jika dihubungkan dengan adanya sepasang insan
yang check in bersama dengan kami
―tanpa luggage― tetapi 1-2 jam
kemudian mereka check out, maka sulit
mengusir kesan bahwa hotel ini tergolong hotel “kitik-kitik”; disewa jam-jaman
oleh mereka yang sedang syahwat-an sehingga tidak memerlukan kamar mandi
bersih.
Dari hotel ini kami bertolak ke
pantai. Imajinasi tentang pantai telah
memanggil kami datang pada pekan liburan lebaran 2018 ini. Sebab, menurut apa
yang ada dalam bayangan, Pantai Barat Sumatera memiliki panorama indah dan lebih
berpasir ketimbang Pantai Timur. Sehingga, kalau nanti akan bermain-main pasir
dan air laut di pantai yang terus didesir oleh gelombang Samudera Hindia itu, maka
lelah berjalan seharian menuju lokasi itu pun akan sirna. Ayunan di kendaraan
saat melewati tikungan yang tak kunjung henti antara Tarutung dan Sibolga
sepanjang 61 km, itupun akan pupus. Namun, karena pantai penuh sesak oleh pengunjung
dan sampah hari sebelumnya juga masih bergelimpangan di sana, akhirnya kami
hanya singgah sejenak mengambil foto. Meski para turist guide (tepatnya pengemudi boat) berkali-kali membujuk kami
untuk nyebrang dengan boat yang
mereka kemudikan ke pulau Poncan, tentu dengan tarif di luar kemampuan saku, dan
saya tetap tidak yakin akan menemukan pantai bersih di sana. Alasannya, orang
yang diangkut ke sana, saya yakini seragam budayanya dengan yang tidak
nyebarang. Di samping itu penanganan sampah
di sana pun masih tak meyakinkan saya: entah ada atau tidak ada penanganannya.
Dari pada kecewa, atau sedih melihat destinasi yang bagus tetapi tak diurus,
padahal dijangkau dengan biaya besar, saya berketetapan hati untuk meninggalkan
saja pantai Bosur dan Pandan Tapanuli Tengah. Kami bergerak menuju Padangsidimpuan,
salah satu Kota Besar di Selatan Tapanuli.
Sesepi-sepinya Kota
Padangsidimpuan (16/6/18) dari hiruk-pikuk orang dan kendaraan, sebenarnya
tetap saja ramai. Hanya saja ramainya orang dan kendaraan yang ada itu tidak
menyebabkan kemacetan. Dengan keadaan agak lengang macam itu, pemandangan lebih
leluasa. Di sinilah saya melihat banyak tumpukan ―kalau tidak boleh disebut
gunungan― sampah. Nyaris di setiap pangkal gang atau jalan, terdapat onggokan
sampah yang cukup tinggi. Ada kesan sudah cukup lama tidak ditangani. Libur
lebaran (11/6/2018) barangkali menjadi alasannya. Perlu digarsibawahi para
pekerja di kedinasan pemerintah sudah bersemangat libur sejak dari Jum’at
(8/6/18). Tapi apakah karena libur panjang lalu sampah boleh dibiarkan
bertumpuk-tumpuk mengotori wajah kota? Ini mis-management namanya. Manajemen
mestinya tidak demikian. Berikan tugas kepada mereka yang tidak berlebaran
untuk bekerja menangani sampah yang menghasilkan bau, kotor dan penyakit itu. Sampah
tidak boleh dibiarkan menumpuk atau terserak dalam waktu lama. Selain jelek, jorok dan tidak rapi, juga
rawan penyakit. Namun kenyataan memang demikian. Liburan lebaran tahun 2012
saya juga mendapati banyak tumpukan sampah di kota ini.
Kubelokkan arah
kemudi ke kiri agar singgah sebentar di Hotel Tor Sibohi. Ada maksud di hati
untuk bermalam di hotel yang berdiri di punggung bukit dengan pemandangan indah
panorama alam, tetapi setelah ditanyai ke petugas, jawabnya sama dengan yang
sudah-sudah: maaf sudah penuh. Akhirnya, sesuai niat semula, cukup melihat
pemandangan dari restorannya yang klasik sembari mencicipi kopi Sipirok dan
goreng pisang kepok yang amat lezat. Hingga mentari hilang, barulah pinus dan
pepohonan yang asri, itu lenyap dari pemandangan. Saat di mana kopi tegukan
terakhir, dan makanan di meja sudah ludes, kami bergerak melanjutkan
petualangan.
Tidak aku lupa
untuk melihat-lihat tempat yang kini ternyata sudah bertuliskan Alun-Alun
Sipirok. Warung rempah-rempah tempat aku dulu membeli ikan sale dan madu sudah
tidak ada lagi. Bangunan pasar reot dan kumuh itu sudah diratakan dan disulap
menjadi taman. Di situ sekarang anak-anak bermain, beristirahat, sambil bercengkerama. Di situ ada tempat duduk, ada
tanaman yang menghiasi kota. Tetapi, hal yang salalu membuat saya bertanya,
kenapa kotor? Kenapa sampah harus berserak-serak di tempat itu? Begitu pun di
jalan, tempat parkiran. Luar biasa banyaknya sampah bertebaran. Tidak berlebih
kalau saya mengatakan malam itu, saya sedang berjalan di atas sampah. Tak ada
yang peduli. Orang yang ada di sana malam itu, sama sekali tidak menggubris
kotornya pemandangan karena sampah. Seolah-olah itu sudah biasa; bahkan sudah
seharusnya kotor demikian. Kutinggalkan malam itu Sipirok dengan catatan kurang
elok. Bukan lantaran kecewa tak bertemu daging bakar, tetapi lebih karena
sampah yang dibiarkan mengotori lingkungan.
Di kawasan Aek
Latong, tempat di mana selalu tercium aroma belerang, tidak hujan. Kendaaraan
pun tidak antri. Meski aspal jalan merekah, yang rekahnya membuat PUPR repot dari
dulu untuk menutup dan menimbun, kendaran berjalan relatif lancar. Beberapa
anak muda, seperti biasa, selalu mengadakan sesuatu seakan di sana ada keadaan
yang kurang baik. Mereka memandu mobil-mobil yang akan menanjak, dan memberi
aba-aba untuk mobil yang menurun. Jika tidak hujan,jalan seperti malam ini
misalnya, sebetulnya kendaaran lewat saja dengan lancar. Tetapi entah kenapa
ada saja sesuatu yang merintangi. Kali ini ada pagar bambu yang membuat jalan
menjadi satu jalur. Kendaraan harus bergantian lewat. Pemuda-pemuda tadi,
sambil memandu dan menengadahkan wadah kosong ke supir-supir kendaraan,
memberikan jasanya kepada pengendara. Tidak ada tarif tetap berapa harus diberi
oleh setiap supir. Yang penting, supir semestinya memberi. Berapa pun boleh saja
diberi.
Penglihatanku
sepintas, tidak ada yang gawat yang harus dicegah dengan pagar bambu setengah
badan jalan tadi. Kalau boleh saya menduga, pagar itu sengaja dibuat untuk
mempersempit jalur kendaraan, agar kendaraan lewat satu-satu. Sengaja diciptaan
kerja agar terkesan seperti dibutuhkan oleh pengendara. Dengan kerja yang ‘tak
semestinya’ itu, mereka dapat mengumpul uang dari semua kendaraan yang lewat
malam itu. Cara macam ini sudah mentradisi di mana-mana di negeri tercinta ini.
Tidak ada yang kuasa untuk mengatasinya. Siapa yang mau dan berani melaksanakan
‘pengumpulan uang melalui jasa kepalsuan’ ini, maka dia akan melakukannya.
Predikat Pemuda Setempat (PS) sudah cukup kuat untuk melegitimasi perbuatan
itu. Di Sumut, PS amat sangat berjaya. Tangan hukum positip atau hukum negara tidak
berlaku atau lumpuh saat berhadapan dengan institusi PS. Di sini, yang berlaku non-state law yang sifatnya hibrida.
Bukan dari adat saja, juga bukan dari agama saja. Ini hukum sangat situasional,
kontekstual, campuran apik dari segala norma dan sumber hukum yang ada,
termasuk dari hukum ‘rimba’.
Ruas jalan Sipirok
– Porsea, kira-kira 141 kilometer, melalui sedikitnya 3 tempat yang cukup
penting di kawasan ini, yaitu Tarutung, Siborongborong dan Balige. Beberapa
hotel lama dan baru, ada di tempat-tempat ini. Di hari 2 lebaran, saat kami
ingin beristirahat malam, tidak ada juga tempat tersedia untuk kami.
Betul-betul aku heran. Pelataran hotel penuh kendaraan pribadi. Sungguh banyak
orang yang berlibur, mengarungi jalan-jalan yang ada, memanfaatkan libur
lebaran. Bukankah ekonomi sedang sulit? Ataukah ini gembar-gembor politisi
menjelang Pilpres saja? Saya tidak tahu menjawabnya secara ilmiah, tapi dapat
merasakan bahwa apabila ekonomi sulit, maka tidaklah mungkin seramai dan sesemarak
ini orang mengisi liburannya. Tempat-tempat orang berjualan (bekerja mencari
duit) kebanyakan tutup. Padahal, seliweran orang yang padat ini, kalau mau
dimanfaatkan oleh yang butuh untuk cari uang melalui jualan makanan, sangatlah
potensial. Tetapi nyatanya mereka liburan dan membelanjakan duitnya.
Pengalaman kami
tahun 2012, nginap di SPBU, terulang lagi. Anak saya bilang nginap di Hopert
(Hotel Pertamina). Tepatnya di SPBU Porsea. Tidak sedikit juga orang
berisitrahat di sini. Puluhan mobil dan juga sepeda motor menghentikan
kendaraanya di sini sampai pagi, ditemani ninuman instan yang dijual di
supermarket yang terdapat di SPBU tersebut. Kami memilih Porsea sebagai tempat
istirahat karena ada maksud akan ke Air Terjun Ponot. Sesuai informasi yang
kami dapat dari GoogleMap, serta dengan tanya sana-sini, jalur terdekat ke
Ponot melalui Jalan Sigura-gura yang pangkalnya ada di Porsea. Subuh sebelum
berangkat, kami singgah di Masjid Raya Posea untuk Sholat dan berbasuh: Sikat
gigi dan cuci muka. Tidak perlu mandi. Lepas itu, masuk warung, cari sarapan.
Letaknya, lagi-lagi, dekat SPBU. Kami ke sana, dan ternyata di warung yang “tak
berdinding” ini ada beberapa keluarga pelancong yang bermalam. Tempatnya tentu tidak
baik-baik amat, namun cukup keren karena ada balai-balai, ada tikar dan bisa
selonjor. (Selonjor adalah posisi sangat istimewa untuk traveling yang
panjang).