25 Oktober 2015

PEMBANGUNAN KESEHATAN·
(Kasus MCK di Sebuah Desa)

Fikarwin Zuska
(Departemen Antroplogi Sosial, FISIP-USU Medan)

Saya sebut saja namanya desa Kenangan, karena desa ini memang cukup berkesan buat saya. Saya banyak belajar mengenai proses pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, justeru dari desa ini. Desa ini terletak di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Kurang lebih 1 tahun lamanya saya dan kawan-kawan melakukan penelitian di desa itu. Penelitian yang dilakukan saat itu bermula dengan penelitian yang diorganisir oleh LIPI, yang kebetulan melibatkan saya sebagai peneliti lapangan, dalam rangka FHN (Family Health and Nutrition). Kemudian, setelah berselang 2 tahun, saya dan kawan-kawan hadir lagi di desa tersebut dengan agenda penelitian aksi mengenai kesehatan reproduksi. Penelitian terakhir ini diketuai oleh saya sendiri, di bawah skema Singarimbun Research Award PPK Universitas Gajah Mada, dengan dana berasal dari Ford Foundation tahun 1999.
            Tulisan ini tidak berkaitan dengan kedua peneltian di atas. Tulisan ini dibuat atas catatan-catatan yang boleh dibilang hanya merupakan by product dari kedua penelitian dimaksud. Banyak hal tentang desa Kenangan yang sekarang mungkin sudah berubah, dan itu tentu luput dari perhatian saya. Begitu juga dengan kelengkapan datanya, tentu saja sudah banyak yang hilang. Maklum cerita yang dinukilkan di sini sudah berlangsung sekitar 14 tahun yang lalu. Namun substansi yang ingin saya sampaikan, sejauh penglihatan saya terhadap pelaksanaan pembangunan selama ini, tampaknya tidak berubah. Intinya, pemerintah masih sangat dominan dalam menentukan proses pembangunan. Ungkapan seperti ‘pembangunan berbasis masyarakat’, itu masih sekedar jargon. ‘Perencanaan pembangunan mulai dari bawah’, yang diwujudkan misalnya melalui “Musrenbang Desa” (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa), itu pun masih sekedar formalitas. Sekedar memenuhi prosedur dan tata-urut pentahapan suatu perencanaan pembangunan, sembari melengkapi kelengkapan administratif yang dipersyaratkan oleh aturan perundang-undangan. Ruh dan semangat pelaksanaannya masih tetap ‘top-down planning’ dan ‘project oriented’.

Projek MCK
            Projek MCK yang akan saya ceritakan ini hanyalah contoh, betapa masyarakat desa tidak tahu apa yang direncanakan pemerintah untuk mereka. Kepala Desa saja terkaget-kaget ketika pada suatu sore, saat ia duduk-duduk di warung kopi sepulang dari kebun mengambil nira, seorang ibu aparat Kabupaten Tapsel menghampirinya. Sang ibu memberitahu bahwa bersama dengan kedatangannya ke desa itu, saat itu, ada kiriman yang ia bawa berupa 5 (lima) paket MCK, masing-masing paket terdiri atas: 1 buah kloset jongkok, 2 keping papan, 100 batang bata, 1 zak semen, 2 lembar seng, dan uang Rp 20.000,-. Paket ini merupakan bagian awal dari projek MCK (baca: pilot project) yang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan ―ditangani oleh Dinas Kesehatan, khususnya Bidang Kesehatan Lingkungan―  untuk maksud dan tujuan mengubah, mengganti dan sekaligus menyehatkan lingkungan fisik desa-desa yang selama ini masih menggunakan MCK-Umum tradisional. Sang ibu yang ternyata pegawai Dinas Kesehatan Tapsel itu, ingin menyerah-terimakan paket tersebut kepada Kepala Desa sore itu juga, sembari menyodorkan selembar kertas tanda terima barang untuk ditanda tangani dan distempel.
            Saya ―dengan dua orang teman saya― melihat Kepala Desa Kenangan menolak alias tidak berkenan menerima kiriman paket yang masih berada dalam truk engkel yang mengangkutnya. Berkali-kali pak Kades itu saya dengar mengatakan ‘tidak’ dalam Bahasa Sipirok kepada Ibu, yang untuk mudahnya saya sebut saja Ibu Indah. Ibu Indah pun tampak risau dan gelisah atas penolakan itu. Dia khawatir akan dimarahi atasan kalau tidak berhasil menyerahkan paket yang dia bawa, sementara saat itu  hari sudah semakin gelap. Azan Maghrib sudah dekat. Ia masih harus kembali ke rumahnya di Padang Sidimpuan. Cukup jauh dari desa Kenangan ini.
            Dalam tatapan saya, Pak Kades cukup keras hatinya untuk ditaklukkan walau oleh keluh seorang ibu yang sudah nyaris menangis. Saya melihat Pak Kades malahan pergi meninggalkan warung. Ia bergerak menuju ke arah rumahnya. Ia bermaksud pulang, tampaknya. Saya melihat Ibu Indah kecewa, tetapi tidak mau menyerah. Ibu Idah mengikuti dari belakang.
            Melihat adegan tersebut saya dan teman saya, seorang ibu juga, bermaksud untuk membantu. Kami ikuti mereka sampai ke rumah Pak Kades. Dalam hati, kami berharap Pak Kades akan lunak hatinya. Ternyata memang benar. Sesampainya di rumah, kami pun mencoba ‘nimbrung’, membujuk Pak Kades agar beliau mau menerimakan saja dan menerakan tanda tangannya di surat tanda terima yang dipegangi Ibu Indah sedari tadi. Kami hanya bilang, dengan sangat hati-hati, dan tentu saja dengan berkat kedekatan hubungan kami dengan beliau, bahwa Ibu Idah hanyalah seorang bawahan yang diperintah atasannya. “Sebagai seorang Ibu”, kata saya kepada Pak Kades, “ia sedang ditunggu oleh anak dan suaminya di rumah. Malam hari begini belum bergerak pulang ke Sidimpuan? Apa yang terjadi nanti? Besok, mungkin akan kena marah atasan lagi, kalau tugasnya tidak selesai malam ini!”. Singkat cerita, Pak Kades berkenan menerima, Ibu Indah pun lega, dan ia pulang membawa senyum.
            Diam-diam saya berfikir dan ingin bertanya kepada Pak Kades. Apa sesungguhnya alasan Pak Kades menolak projek MCK itu? Ketika hal itu saya tanyakan, jawaban yang pertama keluar dari Pak Kases adalah sebuah pertanyaan bernada gugatan:
“Apa yang salah dengan pancur (MCK Umum Tradisional) kita ini?  Apa yang kurang? Jenderal pun ada dari desa ini! Pejabat pun ada dari sini!”, tantang Pak Kades.
“Tidak perlu diubah, tidak perlu diganti.  Tidak ada masalah apa-apa sebenarnya dengan pancur. Dibilang tidak bersih, tidak sehat? Apanya yang tidak bersih? Apanya yang tidak sehat?”, tantang Pak Kades berapi-api.
“Di situ air mengalir terus-menerus. Siang malam air mengalir. Dari mana datangnya tidak sehat?”
“Orang-orang pemerintah ini sering kali buat-buat pekerjaan yang akhirnya membikin saya susah dengan warga saya”, terang Pak Kades sambil menyebut contoh-contoh projek yang sia-sia saja di desanya.    
            “Padahal”, terangnya, “warga desa ini kerabat saya semua”.
            Rupanya alasan kebersihan dan kesehatan telah diajukan oleh Ibu Indah sebagai alasan Dinas Kesehatan meluncurkan projek MCK ini. Dinas Kesehatan menilai bahwa pancur, sebagai MCK-Umum, rentan menularkan penyakit. Satu orang terkena penyakti tertentu, akan mudah menular ke orang lainnya. Selain itu, sarana umum macam itu juga cenderung tidak bersih. Sebagai tempat umum, tidak ada satu orang yang bertanggung jawab untuk membersihkannya. Dalam keadaan yang kotor seperti itu, bibit penyakit akan mudah muncul dan menyebar. Oleh sebab itu, untuk meminimalisir kemungkinan tersebut, Dinas Kesehatan meluncurkan program MCK yang bersifat pribadi (private). Masing-masing rumah memiliki MCK sendiri, seperti biasanya pola kehidupan orang-menengah-atas di kota besar, agar penyakit menular via MCK-Umum tidak pernah lagi terjadi.
            Keberatan Kepala Desa yang berikutnya bersifat teknis dan kontekstual. Keberatan ini diutarakannya dengan gaya seperti berikut:
“Caba kalian lihat rumah-rumah di desa ini. Semuanya panggung. Bagaimana mau bikin MCK dalam rumah? Di luar tidak ada tanah kosong! Jadi, secara teknis tidak bisa. Susah membuat WC dalam rumah!”, tegas Pak Kades yang ternyata semasa lajang pernah bekerja menjadi tukang bangunan hingga ke Aceh Tengah.
“Lagi pula”, terang Pak Kades dengan nada agak berbisik, “orang di sini malu kalau saat buang air ada bunyi-bunyi yang didengar anggota keluarga dari dalam WC.Itu sumbang. Malu. Gak enak didengar”, tegas beliau.  

Tacit Knowledge: Orang Sakit dan Jompo
            Apa yang diterangkan Pak Kades sebagai keberatannya atas projek MCK ini, mendorong saya untuk mencari lebih banyak lagi informasi. Suatu siang, setelah beberapa hari berselang, saya dengan sengaja bertanya kepada seorang remaja Desa Kenangan. Namanya, saya sebut saja Farhan. Ia anak seorang kepala sekolah. Bapaknya memimpin sebuah SMA Negeri yang agak jauh letaknya dari desa ini. Rumah mereka, dapat dikatakan, model baru. Terbuat dari beton, dan merapat ke tanah (depok). Secara fisik nampak masih sangat baru. Dugaan saya, rumah pak Kepsek itu pasti ada WC di dalam rumahnya. Tetapi saya tidak tahu sumber airnya. Sepengetahuan saya, sumber air hanya ada 2 selain pancur. Yang satu berupa Bak Besar di tengah-tengah desa. Airnya bersumber dari bukit sekitar. Air ini terutama sekali digunakan untuk minum. Orang datang ambil air dengan ember, untuk keperluan di rumah: minum, masak, cuci piring dan lain-lain. Sesekali, anak kecil, dimandikan ibunya di dekat bak penampungan air bersih ini.
            Sumber air lainnya berupa pancuran yang dulu pernah sangat utama kegunaannya sebelum bak besar di tengah desa dibangun. Airnya, menurut amatan saya bagus. Bening dan lancar mengalir. Rumah-rumah sekitarnya, masih lebih sering menggunakan pancuran ini ketimbang bak besar yang dibangun dengan dana Bantuan Pembangunan Desa (Bandes) itu.
            Kepada Farhan saya tanya sumber air di rumahnya. Jawabnya, seperti saya duga, mereka mengambil air minum dari Bak Besar dan ber-MCK di pancur.
“Apakah di rumah Farhan tidak ada WC?”, tanya saya.
 “Ada”, kata Farhan.  Farhan ini lulusan SMA yang saat itu sedang berada dalam pekan-pekan menunggu pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi. Ia baru saja menyelesaikan SMA-nya di dekat Sipirok.
“Airnya dari mana?”, tanya saya lagi.
Dia menjawab “tidak ada air”.
“Berati tidak dipakai WC-nya?”, tebak saya.
“Tidak”, katanya tenang. “Tidak ada yang pakai.  Orang sakit tidak ada, orang jompo juga tidak ada”, katanya lancar.
            Mendengar jawaban Farhan ini, wawasan saya jadi bertambah. Mungkin justeru inilah yang merupakan tacit knowledge, pengetahuan yang tidak sempat terungkap dalam percakapan dengan Kades sebelumnya. Bahwa WC dalam rumah, itu adalah WC bagi orang sakit dan jompo. Orang sehat, muda, ber-WC tentulah di pancur. Ini ―kalau dihubungkan dengan projek MCK― bisa saja bermakna menghinakan atau merendahkan. Pemerintah, bisa saja dianggap secara emic, merendahkan Orang Desa Kenangan sebagai orang penyakitan. Atau, kalau bukan itu, bahwa program MCK dianggap secara emic ‘tidak masuk akal’. Jalan pikirnya seperti ini, “Masak orang sehat disuruh bertingkahlaku seperti orang sakit atau jompo?”.
            Persoalan WC dalam rumah atau buang air besar dalam rumah ini ternyata memang bukan pekara sederhana bagi Orang Desa Kenangan. Mereka, bukan saja merasa sungkan, sumbang, melakukan buang air dalam rumah tapi juga tidak bisa. Secara fisik mereka tidak bisa, tidak nyaman, tidak lancar, bila buang air besar di dalam WC yang terletak di dalam rumah.
            Isteri Kepala Desa Kenangan memberi tahu saya bahwa dirinya punya adik yang tinggal di Jalan Perjuangan Medan. Sesekali Ibu Kades ini datang ke Medan, entah apa pun keperluannya, sering menginap di rumah keluarga adiknya. Setiap kali datang ke Medan, maka yang menjadi persoalan baginya, salah satunya, adalah buang air besar di WC dalam rumah. Keengganan mereka untuk buang air “dalam rumah” itu membuat ia tidak tahan berlama-lama di Medan. “Hanya 3 hari paling lama saya tahan di Medan”. “Lewat 3 hari sudah tidak enak badan saya”, katanya.
            Kebiasaan ber-MCK di Pancur, dengan air mengalir, untuk yang sudah melakukannya sejak kecil atau bertahun-tahun, memang mempunyai efek tersendiri terhadap tubuh. Tubuh menjadi akan lebih nyaman saat buang air besar dengan cara yang sama. Inilah barang kali yang dirasakan oleh Ibu Kades. Ia tidak bisa buang air besar di dalam WC yang terdapat di dalam rumah milik adiknya di Medan. Oleh sebab itu ia selalu memilih pulang lebih cepat ke kampung halaman ketimbang beralama-lama di Medan.

WC 8 Kamar
            Di Pancur ―tentu saja di Pancur khusus laki-laki― ada 8 kamar WC. Atau, dengan istilah lain, ada 8 kamar kecil. Saya tidak tahu keadaan di Pancur khusus perempuan, walaupun letaknya bersebelahan. Menurut cerita, bangunan WC di pancur yang bersebelahan tempat, itu sama bentuk dan jumlahnya. Bahan bangunannya juga sama; dari kayu. Terletak di atas parit atau tali air. Airnya mengalir walaupun tidak deras. Tapi cukup untuk menghanyutkan kotoran (tinja) yang jatuh. Terkadang jatuh bersahut-sahutan: plung, plung, pluunggg ―seakan berirama.
            Kedelapan kamar WC itu saling bergandengan. Dinding penyekat antara satu dengan yang lain hanya setengah. Kalau orang yang menggunakan sedang jongkok, kepala orang yang sebelah-menyebelah, itu kelihatan. Terkadang kalau didongakkan lebih tinggi, bisa saling melihat wajah. Itulah sebabnya, mereka bisa bercerita atau ngobrol bersama sambil buang air. Kalau ceritanya asyik, mereka bisa berlama-lama di dalam WC. Apalagi biasanya dibarengi dengan rokok. “Merekok sambil buang air besar, memang sangat asyik. Apalagi sambil ngobrol dengan yang di sebelah, itu bisa lama siapnya”, kata Opung J. Pane kepada saya. Opung ini memang jago cerita. Ia pernah lama marantau di Jakarta, saat muda. Saya betah tinggal selama penelitian di rumahnya.
            Kendati saya tidak mengerti benar apa yang mereka bincangkan saat itu, tapi saya sempat menyimak satu dua kata yang bisa saya mengerti. Mereka ada di kamar nomor 2 dan 3, sedangkan saya di kamar nomor 4. Pagi itu orang tidak sedang ramai, saat saya buang air besar. Saya duluan masuk. Mereka berdua menyusul, setelah keduanya menyelesaikan sholat subuh lebih dulu di mushalla yang terletak di dekat masjid. Dari luar mereka berdua sudah memulai cerita, dan terus berlanjut sampai di dalam WC. Saya tidak tahu kapan berakhir ceritanya karena saya sudah ke luar duluan. Tapi, seperti saya katakan tadi, saya tidak terlalu mengerti apa yang mereka bahas. Namun kesannya normal-normal saja. Kata-kata yang saya dengar cukup penting kelihatannya adalah mengenai gula merah. Membuat dan menjual gula merah memang salah satu mata pencarian penduduk Desa Kenangan ini. Di banyak rumah saya melihat orang memasak nira dalam kuali-besi-ukuran-besar. Bahan bakarnya kayu. Orang desa itu bilang soban untuk menyebut kayu api. Kayu api diperoleh dari hutan sekitar. Umumnya dicari oleh kaum perempuan, dan sebelum dipergunakan  kayu api di simpan di bawah kolong rumah. Rumah yang kolongnya penuh soban, dan soban-nya tersusun rapi, lurus-lurus, itu ―pada zaman dahulu― menjadi simbol yang menandakan gadis di rumah itu sangat rajin. Gadis macam itulah yang menjadi preferensi oleh para tetua yang sedang mencari jodoh bagi anak lelaki mereka.
            Peristiwa di dalam WC ini, sebagai suatu peristiwa sosial, pasti akan hilang kalau MCK-Umum yang disebut pancur ini jadi digantikan oleh WC pribadi yang ditempatkan di rumah-rumah. Di dalam setting desa Kenangan sebelum reformasi 1998, saat media massa dan teknologi komunikasi belum serami sekarang, peristiwa sosio-biologis di WC cemplung 8 kamar itu sangat penting. Saya katakan penting tidak lain karena arena ini berfungsi sebagai wahana tukar-menukar informasi pagi untuk orang-orang yang akan bekerja tani hari itu. Tidak gampang mencari substitusinya, manakala pancur dihancurkan demi program/proyek MCK rumahan yang dirancangkan Dinas Kesehatan Kabupaten Tapsel. Hal serupa tentu berlaku pada pancur perempuan yang juga berfungsi antara lain untuk tempat saling tukar informasi mengenai berbagai hal yang disukai atau biasa dilakukan oleh perempuan di desa itu.
            Kebiasaan lain yang juga akan hilang kalau pancur sudah tiada, yaitu kebiasaan para bapak-bapak menjelang mandi sore hari. Dari rumah masing-masing, mereka tidak langsung menuju pancur. Mereka mampir atau berhenti sejenak di setiap titik orang atau anak-anak berkumpul di sepanjang jalan. Dengan stelan sarung se-lutut, timba/ gayung di tangan yang satu dan rokok di tangan yang lain, serta handuk di leher, ia berenti sejenak sembari menyapa orang atau anak-anak. Tawa-canda, itu ciri khasnya. Tidak kurang 15 menit habis waktu untuk proses menuju pancur. Padahal, kalau berjalan langsung tanpa singgah kiri-kanan,  ia hanya menghabiskan waktu 2-3 menit. Ini adalah laku yang mencerminkan keakraban dan  kebersamaan di antara sesama warga. Ada yang harus di sapa, diakrabi, supaya kehidupan sosial itu terasa hangatnya sampai ke dalam hati.


           


           
           



· Makalah dibacakan dalam ULTAH Antropologi FISIP USU, 21 November 2013